5

383 138 207
                                    

Flashback ON

Juli 2004

Kehilangan sosok seorang Ayah untuk selamanya adalah suatu pukulan yang  sangat berat. Rasanya, bagai sebuah mimpi buruk yang meninggalkan luka  mendalam untuk orang yang ditinggalkan. Tanpa kompromi, seketika semua harapan sirna, serta mengubah keseluruhan hidup secara paksa. Tentunya perasaan pilu itu tidak hanya berlangsung sehari atau dua hari saja, tapi akan terus berlanjut tanpa tahu kapan berakhirnya.

Hal itulah yang dirasakan Lukas pada malam itu, tepatnya setelah satu bulan kepergian Ayahandanya tercinta.

Sebagai seorang anak laki-laki pertama, selain harus berjuang untuk menguatkan hatinya sendiri, ia juga harus bisa menjadi penguat untuk sang Ibu dan Adik perempuannya yang juga mengalami patah hati terberat sebagai seorang perempuan.

Kepergian Ayah Lukas yang mendadak karena sebuah kecelakaan mobil, membuat keluarga Lukas yang sebelumnya hangat, ceria, dan penuh tawa, kini berubah menjadi nelangsa. Terlebih sang Ibu yang kini lebih sering menghabiskan waktu di kamar untuk meratapi kesedihannya.

"Bu, Ibu harus kuat, Bu. Harus ikhlas." ujar Lukas yang berjongkok disamping pinggiran tempat tidur Ibunya, seraya mengusap  lengan sang Ibu dengan lembut. Sekuat tenaga ia mencoba menguatkan hati sang Ibu yang kini berbaring di ranjang dengan posisi miring, membelakangi Lukas.

Sayangnya tak ada jawaban dari sang Ibu. Yang ada hanya suara isak tangis dengan wajah yang bersembunyi dibalik guling, yang dipeluknya. Tentu saja situasi itu semakin membuat hati Lukas tersayat, nyaris frustasi.

"Ayah pasti akan sedih kalau lihat Ibu seperti ini." Lukas masih berusaha menenangkan Ibunya, yang kali ini membuahkan sedikit respon dari sang Ibu. Tanpa memalingkan wajah, perlahan Ibu Lukas meraih dan  menggenggam tangan Lukas yang masih menempel di lengannya.

"Kasih Ibu waktu ya, Nak." ucap Ibunya lirih, dengan suara bergetar. Lukas menggertakan gigi, menahan frustasi. Keningnya mengerut, tatapannya sendu, dengan air mata yang mengambang dan siap untuk tumpah."

"Lukas dan Dinda sangat butuh Ibu." pungkas Lukas dengan suara tak kalah bergetar, sembari berdiri, menegakkan badan, kemudian perlahan menarik tangan dari genggaman sang Ibu. Harapannya cuma satu, semoga sang Ibu segera sadar bahwa masih ada dia dan sang Adik sangat membutuhkan sandaran di masa sulitnya saat ini.

Susah payah Lukas berusaha menahan air mata di pelupuk matanya, namun akhirnya gagal. Air matanya terlalu banyak untuk dibendung, sehingga kini meluap dan membanjiri kedua pipinya.

Selanjutnya, Lukas yang sudah tak mampu berkata-kata lagi, hanya bisa menghela napas panjang, sebelum akhirnya memilih berjalan meninggalkan sang Ibu dengan langkah gontainya.

Selang beberapa menit kemudian, Lukas mengunci diri di kamarnya. Mencoba mencerna cobaan hidup terberat yang melanda keluarganya.

Dengan pipi yang masih basah, ia melangkahkan kaki ke arah meja belajar, menarik kursi untuk duduk, kemudian menenggelamkan wajahnya pada pangkuan kedua tangannya yang ia lipat di atas meja.

Sejenak ia memberikan waktu khusus untuk dirinya meluapkan segala kesakitan dan kerapuhannya. Baginya tragedi dalam keluarganya saat ini bukan hanya merenggut sosok seorang Ayah, namun juga menghilangakan  separuh jiwa dari Ibunya, yang sampai saat ini belum bisa meneriman kenyataan. Ditengah wajahnya yang memanas, dadanya yang sesak, ia pun hanya bisa menangis sejadi-jadinya.

Tiga Puluh Satu Hari (with Ketos)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang