26

131 4 1
                                    

Jikustik - Maaf

******

"Dia itu bukan siapa-siapa gue, tapi hati gue kok sakit banget ya, waktu lihat dia boncengan mesra sama cewek lain? Sahabat bukan. Pacar apalagi. Tapi kalau ingat kejadian tadi kenapa gue kesel banget? Gue pengen marah! Padahal kalau dipikir-pikir gue gak ada hak buat marah. Tapi sumpah...!!Rasanya saat ini gue bener-bener pengen nampol muka Lukas, walaupun gue sempat mikir mukanya terlalu ganteng buat gue kasih bogem mentah. Dan Dewi___, gak tau kenapa saat ini gue juga pengen jambak rambut Dewi. Padahal gue bakal berdosa banget kalau harus ngelucuti kerudung yang menutupi mahkotanya. Kenapa harus Dewi coba?Kenapa harus dia? Orang yang selama ini gue benci setengah mati karena sikapnya yang kayak ular, di balik komuknya yang sok polos? Bentar lagi gue beneran gila deh kayaknya."

Tanpa mengganti seragam sekolah, Gendis terlihat menengkurapkan badannya di atas kasur. Sesekali meremas sarung bantal, bahkan layaknya anak kecil kakinya sesekali meronta seolah mengisyaratkan perasaannya yang terbelunggu atas kekecewaan yang ia rasakan.

Sesaat aksi brutalnya yang melampiaskan kekesalan pada bantal, dan guling, akhirnya terhenti ketika terdengar suara knop pintu kamarnya yang terbuka oleh tangan seseorang.

"Ndis...kamu kenapa?" suara sang Mama diikuti Gendis yang tersentak, dengan kepala yang menengok ke arah sumber suara.

Gendis tak langsung menjawab. Dengan wajah kacau dan rambut yang terikat  berantakan, ia lantas menegakkan badan dan mengambil posisi duduk di atas kasurnya.

"Gak kenapa-kenapa kok Mah,"ujarnya seadanya.

"Beneran?" tanya Bu Diana pelan, dengan tatapan keheranan.

Gendis mengangguk. Ia tak yakin ingin menceritakan kejadian dan hal yang ia rasakan saat ini kepada sang Mama. Seperti ingin butuh privasi, ia memilih mengunci rapat-rapat mulutnya seraya menetralkan emosinya yang saat ini meletup-letup seperti air yang mendidih.

Meskipun Bu Diana tak begitu yakin dengan anggukan kepala sang anak, Bu Diana yang peka, pada akhirnya menahan rasa keingintahuannya untuk sesaat.

"Mandi dulu gih! Habis itu makan. Mamah udah masak tumis pakcoy kesukaan kamu."

"Iya Mah. Habis ini Gendis mandi." jawab Gendis dengan senyum simpul yang ia paksakan.

Bu Diana pun kemudian membalikkan badan untuk meninggalkan Gendis. Namun baru satu langkah kakinya  terayun, ia kembali melemparkan pandangan ke arah Gendis untuk memastikan kondisi putri sematawayangnya itu.

Secepat kilat Gendis kembali melemparkan senyum paksa yang memperlihatkan deretan giginya, ketika tatapan penuh selidik Bu Diana membidiknya. Sekuat tenaga ia berusaha menutupi rasa kacau yang mengusik hati dan pikirannya. Pokoknya sang Mama gak boleh tahu tentang masalah pribadi yang sedang ia alami. Apalagi ini menyangkut dengan urusan lawan jenisnya. Baginya ini adalah sebuah hal rahasia.

Di menit berikutnya senyum Gendis berangsur pudar setelah Bu Diana benar-benar pergi meninggalkan kamarnya. Helaan napas berat pun keluar dari mulutnya seraya kembali merebahkan badan dengan asal. Untuk beberapa detik ia memejamkan mata. Pelan-pelan ia mencoba mencerna semua hal yang mengganggu akal sehatnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 08 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tiga Puluh Satu Hari (with Ketos)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang