1. Gia

54 18 201
                                    

Duduk di ayunan tempat kami biasa bermain, kupandang gadis di samping dengan rasa penasaran. Gadis itu tak seperti biasanya. Memang, dia itu sudah pendiam sejak awal, tetapi tak membuka percakapan apa pun kendati sudah duduk selama sepuluh menit membuatku keheranan.

"Ada apa mengajakku duduk di sini? Tumben, biasanya ngajak makan," tanyaku setengah bergurau.

Sembari menunggu jawabannya, aku mulai mengayunkan kaki. Deru angin pelan yang menerpa ketika tubuh mulai melambung membuat rasa gerah yang sempat terasa mulai memudar.

Dia masih diam, membuat diriku yang menunggu jawaban mulai gelisah. "Gita Anindya Akshara, ada apa? Kalau kamu nggak ngomong aku pulang, nih."

Kuancam demikian, entah kenapa wajah Gia malah semakin murung. Dia ribut memilin-milin ujung kaosnya, sembari kaki berbalut sandal itu mendorong pelan ayunan.

Kulirik sekali lagi dia, sebelum menghembuskan napas pelan. Ah, sudahlah, lebih baik aku tak memaksanya. Toh, sudah mau malam.

"Ya sudah deh, kalau gak mau ngomong sekarang. Kamu bilang kalau sudah siap aja. Aku pulang duluan ya. Sudah mulai gelap, nanti dicari Mama."

Anggukan dari Gia membuatku bangkit. Kulambaikan tangan singkat sebelum berbalik meninggalkan taman, pulang ke bangunan hangat bernama rumah.

Selama di jalan, berbagai macam pikiran random melintas di benakku. Akan tetapi, dari segala benang kusut tersebut, tindakan tak biasa Gialah yang paling mengganggu.

"Sebaiknya kutanyakan saja pada Mama di rumah nanti. Mungkin Mama tahu," gumamku sembari mempercepat langkah.

Malamnya, sembari membantu Mama memasak, aku memberanikan diri untuk bertanya. Perlahan tapi pasti, kujelaskan sikap aneh Gia dari sudut pandangku hari ini.

Selesai menjelaskan, Mama malah mengajukan pernyataan yang membuatku terdiam.

"Apa maksud Mama?" beoku bingung tanpa mendapat jawaban.

Pada akhirnya, aku tak mendapat apa-apa. Makan malam kali ini pun terasa hambar, padahal menunya adalah makanan kesukaanku.

Pertanyaan yang kuajukan pada Gia Belum mendapat jawaban, tetapi kini aku malah makin bingung gara-gara kalimat Mama barusan. Ah, aku menyesal sudah tidak sabaran dan bertanya pada Mama. Jadi kena getahnya deh.

Apa ya, kira-kira maksudnya?

Oke, tenang Cassandra. Jangan pusing duluan. Mari kita simak kembali apa yang sudah terjadi seharian ini pelan-pelan.

Tadi pagi, Gia bersikap seperti biasanya. Dia datang ke rumah dengan senyuman, mengajakku berangkat sekolah bersama.

Selama di sekolah juga tidak ada yang aneh, kan? Gia tetap murah senyum pada semua orang dan punya porsi makan raksasa.

Akan tetapi, jika diingat, ada yang berbeda sedikit. Anak itu minta diantar ke TU, katanya mau meminjam raport. Ah, itu tidak aneh. Gia, kan, anak pintar. Mungkin raportnya mau dipakai buat daftar lomba seperti biasa.

Kemudian saat pulang sekolah tadi, kami berpisah karena Gia harus pergi les. Ini juga masih biasa saja. Setiap minggunya, ada tiga hari kami tidak pulang bersama karena Gia les. Tidak mungkin anak itu sedih gara-gara tidak pulang bersama.

Setelah pulang, kami tidak bertemu sepanjang siang. Aku tidur siang, sementara Gia, mungkin, sedang belajar di tempat lesnya. Kami baru bertemu lagi tadi sore gara-gara anak itu mendadak muncul di depan rumah.

Saat menjemput, wajah Gia masih biasa saja, riang dan murah senyum. Dia meminta izin pada Mama, mengajakku ke taman dekat rumah kami. Di sana, kami tidak melakukan apa pun selain bermain ayunan.

Kalau dipikir, Gia sepertinya ingin mengatakan sesuatu, tapi dia terlihat ragu. Dari sanalah, keanehan Gia mulai terlihat. Aku tidak berani memaksa, takut Gia tidak nyaman. Pada akhirnya aku pulang, dan berakhir seperti sekarang.

Ah ... sudahlah. Aku menyerah. Berpikir memang bukan keahlianku. Lebih baik aku tidur.

Selamat malam Bulan, selamat malam Bintang. Semoga besok semua beban ini hilang.

***

Paginya, ketika hendak keluar aku tak mendapati Gia dengan pakaian santainya. Dirinya malah menggunakan baju bebas yang selalu dipakai ketika akan pergi jauh.

"Mau pergi?" tanyaku polos. Mata Gia tampak bengkak, jadi secara tak sadar kuusap jemari ke sana. "Ini matanya bengkak. Kamu sakit?"

Gia menggeleng sebagai jawaban. "Semalam aku nonton film sedih, jadi nangis sampai tertidur."

Mendengar jawabannya, aku geleng kepala. Kebiasaan buruknya yang suka begadang nonton film ini benar-benar harus dibenahi.

"Sudah berapa kali kubilang, sih? Jangan begadang, kau itu, kan, punya asma. Nanti kalau kambuh, bagaimana?" omelku kesal.

Gia tertawa lepas kemudian. "Astaga, coba lihat dirimu. Kau marah saat aku begadang menonton film, tapi kau sendiri begadang untuk belajar. Apa bedanya, Cass?"

Kupalingkan kepala, rasanya wajahku panas mendengar ucapannya. "Y-ya abis, aku perlu belajar buat bisa masuk ke SMP yang kamu inginkan. Soalnya kan tingkatanmu beda, Gi."

Lagi-lagi Gia tertawa. Astaga, anak ini. Tidak ada habisnya ya, dia meledekku.

"Kalau tidak sanggup, jangan memaksa masuk sana, lah," katanya enteng dengan nada meremehkan.

"Enak aja, aku sanggup tahu!" Wajahku sepertinya sudah sangat merah sekarang. Ah, biarlah. Enak saja meremehkanku.

Senyum Gia hilang setelah mendengar balasanku. Dia menghela napas sebentar sebelum memandang lurus padaku.

"Cass, ada yang ingin aku bilang."

"Apa? Tidak biasanya kau izin saat ingin bicara," balasku berusaha mencairkan suasana.

Sayang, usahaku gagal. Raut Gia tetap serius, jadi kuputuskan untuk ikut serius kali ini.

"Aku ... akan pindah ke kota lain hari ini."

"Hah? Apa? Tolong ulangi lagi." Tampaknya telingaku sudah sangat kotor, sampai tak mendengar jelas ucapannya.

Gia tersenyum, tapi matanya tampak akan kembali menangis. "Aku ... akan pindah ke kota lain, hari ini."

"Kau tak bercanda kan, Gia? Kok ... tiba-tiba?"

Ini terlalu mendadak. Gia tidak cerita apa pun padaku. Harusnya ... kalau ini memang benar, Gia mengatakan sesuatu.

Gia menggeleng, kepalanya tertunduk saat membalas ucapanku. "Tentu tidak. Aku juga dapat kabarnya mendadak. Papa perlu pindah karena urusan pekerjaan. Hanya itu yang kutahu."

Aku syok. Gia akan pindah, padahal kami sudah bersama sejak masih belum taman kanak-kanak.

Untuk sesaat, kami sama-sama diam. Gia sibuk menunduk, memilin pakaiannya seperti biasa. Sementara aku ... entahlah. Aku masih syok.

Hahaha ... aku ini lucu sekali, ya?

Lihatlah, Cass. Lihat betapa tidak pedulinya kau. Gia sudah bersikap aneh sejak kemarin, mengapa aku tidak bisa memprediksi ini?

"Cass, kau ... tidak marah, kan?"

"Marah? Tidak. Aku tak marah. Aku hanya ...," ucapanku terputus. Pipiku mulai basah, Gia yang menyaksikan segera memelukku erat. Tak lama, isakan terdengar.

Tidak, aku tak ingin berpisah.

"T-ak bisakah kamu tetap di sini? Tinggal sama kami saja, Mama pasti mau kok."

"Maaf, Cass."

Ya, itulah akhirnya. Akhir pertemuan kami yang berujung perpisahan. Sehat-sehat, ya, sahabatku.

*****

Limited You [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang