3. Dia yang Jauh (Gia)

29 13 163
                                    

Dia memandangi sekitar dengan netra gelapnya. Banyak anak yang satu usia dengan dirinya sedang bermain bersama. Ada yang memainkan balok warna-warni, menggambar, bahkan membentuk lingkaran sembari tertawa. Sedang dirinya, mengamati dari sudut paling jauh kerumunan, terasing dari segala kemerlap kegembiraan.

"Kamu nggak ikutan main?" Suara manis dan pandangan penasaran gadis yang tubuhnya lebih kecil dari miliknya membuat dia menoleh. Digelengkannya kepala, membuat gadis mungil itu malah semakin mendekatinya.

"Kalau begitu, main sama Cassa, yuk!" Gadis cilik itu menariknya keluar dari sudut ruangan, membawanya ke bawah kilauan cahaya. Teman pertamanya, Cassandra Anastasia Putri. Anak seusianya yang terlihat terlalu menyilaukan bahkan untuk dirinya jangkau.

Apalah seorang Gita Anindya Akshara, gadis cilik yang tak memiliki teman juga sikap yang ceria. Dia hanya bayangan, tersembunyi di balik sang Kakak dan orang tua. Anak yang tak bisa apa-apa, meski kata yang lain dia sempurna.

****

"Tata, kamu tak ingin pergi sekolah sekarang?" Suara berat dari kosen pintu membuat aku yang baru membuka mata mendelik sekejap. Seenaknya saja dia masuk ke kamarku.

"Kak, berapa kali harus kuingatkan, jangan masuk ke kamarku. Gini-gini aku anak gadis," ketusku kemudian beranjak dari posisi rebahan. Sang kakak yang baru kutegur hanya mendelik sekejap.

"Kalau bukan karena Bunda, mana sudi aku membuka pintu dan membangunkanmu. Sudah, sana siap-siap." Dengan itu anak tinggi tersebut meninggalkan kamarku.

Sudahlah. Pagi-pagi tak ada gunanya memikirkan sikap kurang ajar seorang pemuda yang masih menganggap adiknya anak SD. Tanpa banyak tunda aku bersiap-siap, tak lupa jepitan yang beberapa bulan lalu Cassa kirimkan kupakai. Jepitan bermotif bunga dengan dominasi warna biru, gadis satu itu selalu tahu warna kesukaanku. Sebelum pergi, kubuka laci meja rias, ada banyak foto di sana. Gadis dengan hela cokelat tengah tersenyum sembari memakai jepitan serupa denganku.

Ah, aku menunggu balasannya lagi. Kapan ya dia membalas? Walau sebenarnya kemarin suratku baru kukirim, sih.

"Gita! Turun sekarang!" teriakan Bunda membuatku tersadar, dengan tergesa aku mengambil tas kemudian turun dengan langkah tergesa. Ah, Bunda pasti marah, dia kan tidak suka telat masuk kantor.

Selama tiga puluh menit aku hanya diam di bus. Tak kupedulikan Kakakku yang seperti orang gila karena mengajakku bercakap. Salah siapa masuk ke kamar gadis tanpa izin, rasakan balas dendamku kali ini.

"Hei, kau mendengarkan nggak sih?" Dia masih tak menyerah. Membuatku hampir kehabisan rasa sabar. Kami memang sekolahnya berdekatan, Bunda dan Ayah sengaja memilih sekolah SMA dan SMP yang jaraknya tak jauh. Meski harus menempuh tiga puluh menit perjalanan, mereka akan tenang selagi aku bersama pemuda menyebalkan satu ini.

"Tidak, aku tuli. Jadi jangan mengajakku berbicara," ketusku kemudian memandang jendela.

"Kudoakan kamu begitu nanti baru tau rasa."

"Biarin, salah sendiri yang masuk tanpa izin ke kamar anak gadis."

"Hei, anak gadis darimananya? Kamu itu masih—"

Di depan pemberhentian SMP XX, penumpang yang ingin turun harap bersiap-siap.

Pengumuman itu membuatku segera berdiri dan memegang holder bus. Pemuda yang ikut bersamaku juga melakukan hal serupa, kuyakin dia sekarang tengah menahan emosinya. Biarlah, nanti kusogok pakai cokelat saja langsung luluh hatinya.

"Ingat, pulang nanti tunggu aku di depan gerbang." Dengan begitu kami berpisah, dia harus berjalan sedikit sebelum sampai sekolah, sedang aku terdiam memandangi gerbang dan anak-anak seusia yang saling bercengkrama.

Hah, tampaknya hari yang sepi akan kulalui lagi. Batinku kemudian melangkah lunglai ke dalam bangunan.

****

Kamu tahu, aku bertemu seseorang yang mirip denganmu tadi di sekolah.

Bait pertama dari surat Cassa yang baru tiba membuatku mengerenyitkan dahi. Orang yang mirip denganku, siapa?

Dia pendiam, juga terlihat manis dari jauh. Kami satu kelompok, dan dia anak pindahan dari luar negeri. Cara ngomongnya sangat sopan, loh. Aku saja terkagum-kagum saat mendengar dia berbicara.

Membaca bait selanjutnya membuat hatiku serasa tercelup dalam kubangan lumpur. Tidak, aku tak boleh begini, jadi kulanjutkan kegiatan membaca surat.

Dia juga pintar, dia mengajariku pelajaran matematika, cara mengajarnya mirip-mirip denganmu, jadi aku mudah paham. Oh, apakah kita memang harus belajar matematika, ya? Kenapa juga tak dihapuskan, aku kan merasa paling bodoh.

Terus ya, dia minta ditemani ke segala arah sekolah. Padahal kan aku juga belum lama di sini, jadi kami nyasar deh. Aduh, pokoknya geli deh melihat wajah paniknya karena belum kembali ke kelas saat bel masuk berbunyi.

Ah, aku keasyikan cerita, ya? Gimana kabarmu di sana? Gia kan pintar, pasti banyak teman kan di sekolah. Kamu belum menceritakan hal-hal seru di sekolah, loh. Ceritakan dong di surat berikutnya, aku kan kepo~

Ah, adikku menangis, Mama sedang pergi jadi aku yang menjaganya. Maaf pesanku tak panjang. Jaga kesehatan ya di sana, jangan lupa bawa inhalermu selalu, dan yang penting. Jangan. Kecapean. Paham?

Peluk sayang dari temanmu, Cassa.

"Hah, tampaknya dia tanpaku juga baik-baik saja, ya? Sedang lihat aku? Haha."

Ah, tidak. Kenapa emosiku tidak stabil hanya karena surat begini, sih? Kuseka air yang mengalir dari pipi. Aku harus membalas suratnya, tetapi perasaanku lagi tak baik-baik saja. Aku ... tak sanggup membalasnya segera.

Dengan itu, kutinggalkan surat Cassa di atas meja belajar, lebih memilih tidur untuk meredakan emosi. Aku tahu, ini tak baik, tapi apalah daya diriku? Tak ada yang memahami aku. Ya, hanya begitu.

****

Hai! Maaf balasanku lama. Aku cukup sibuk akhir-akhir ini mengejar tugas. Wah, kamu dapat teman baru, ya? Dan katamu dia mirip diriku? Apakah aku kalah imut darinya? Tidak, kan? Hehehe.

Kamu penasaran dengan kegiatanku di sekolah? Oh, tidak ada yang istimewa kok. Karena aku masih ikut les aku tak bisa mengikuti kegiatan tambahan, dan kakakku menjemput selalu di depan gerbang sekolah.

Teman? Oh, tentu saja aku punya. Kau tahu kan temanmu ini pintar? Tentu banyak yang mendekati dan ingin jadi teman. Kamu juga, jangan mau kalah denganku, ya!

Dan apa katamu di surat? Ingin matematika dihapuskan? Tidak bisa dong. Itukan pelajaran yang sangat dibutuhkan di kegiatan sehari-hari. Jadi, selamat bertahan di neraka matematika, sobat.

Ah, karena kamu membahas soal adikmu, bagaimana keadaannya sekarang? Pasti dia sudah mulai banyak menyebutkan sesuatu, kan?

Kamu juga, jaga kesehatan. Aku tau kamu selalu bergadang untuk menonton acara kesukaanmu itu. Tak bisakah kamu rekam saja acaranya dan menontonnya ketika senggang? Kasian tubuhmu itu.

Aku tutup surat kali ini. Lain kali, kirimkan foto pemandangan yang menurutmu indah, ya. Aku ingin melihat hasil jepretanmu yang mengerikan itu~ bercanda, ehe.

Salam dari teman paling imut sejagad raya, Gia.

*****

Limited You [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang