15. Petunjuk Baru

2 4 1
                                    

Hari berlalu tanpa ada hal yang berarti. Aku sudah beberapa kali menanyakan kembali pada Aru, jikalau ada hal yang dia ingat. Kendati mendapatkan respon positif, Aru hanya kembali menggeleng, lagi dan lagi.

Kak Rifael semakin mengindariku secara terang-terangan. Hanya bertemu pandang saja dia sudah langsung kabur. Hah, semua hancur. Sekarang, aku harus apa?

Pasti ada cara untuk mencari tahu keberadaan Gia. Sayang, aku tidak tahu ke mana dia pindah atau di mana dia sekolah sekarang.

Sebentar, sekolah? Kenapa aku baru terpikir sekarang!

Dengan cepat aku mengacak kotak yang ada di lemari, mencari bahasan tentang sekolah Gia. Meski tak jelas mengatakan lokasi SMP, Gia memberikan beberapa clue tentang sekolahnya tersebut.

" ... belajar di gedung bercat biru tua ini ...."

" ... gerbang warna putih menjulang tinggi ...."

" ... bunga kertas laksana sakura selalu mekar ...."

Sepenggal bahasan tentang sekolahnya membuatku mengerutkan kening. Di mana kira-kira aku harus mencari sekolah dengan ketentuan ini?

Mataku tanpa sengaja melirik pada ponsel pintar yang tergeletak di atas kasur. Benda persegi itu kan memiliki fitur pencarian serba guna, kenapa tak coba kucari saja dulu dari sana?

Beberapa nama sekolah muncul di laman pencarian, dengan cepat aku membuka satu demi satu, mencari gambar yang sekiranya cocok dengan deskripsi dari surat Gia. Setelah cukup lama melihat foto yang lebih banyak menampilkan hal tak penting, satu lokasi sekolah menenuhi kriteria.

"SMP di belakang SMA-ku?"

Selama ini ternyata petunjuknya cukup dekat. Aku hanya tidak menyadarinya dari awal, tetapi yang penting sekarang besar kemungkinan Gia alumni SMP yang yayasannya sama dengan SMA-ku.

Dengan pemikiran itu saat jam istirahat aku sengaja berjalan ke belakang, beruntung karena satu yayasan, jadi seragamnya tak terlalu berbeda sehingga tak banyak yang memperhatikan.

Tak butuh lama bagiku untuk sampai di perpustakaan. Membuka pintu ruangan yang sedikit lebih kecil dari perpustakaan SMA, aku tak mendapati siapa pun di sana. Aneh, ke mana perginya penjaga perpustakaan?

Tak lama seorang perempuan dengan pakaian rapi keluar dari salah satu rak buku. Matanya memandangku yang masih berdiri di depan pintu.

"Apa perlu apa, ya?" tanyanya sembari memberikan senyum. Merasa tak sopan jika hanya membalas, aku segera memberikan senyum juga sebelum angkat suara.

"Saya ingin melihat album alumni SMP ini, bu. Ada teman yang mau saya cari."

"Angkatan tahun berapa?" Sang penjaga perpus maju, kemudian berbelok ke arah rak di sebelah kanan. Kusebutkan saja tahun saat aku lulus, karena pada dasarnya umurku dan Gia itu sama.

Penjaga perpustakaan berlalu pergi, cukup lama aku menunggu hingga wanita itu datang dengan satu album cukup tebal di tangannya.

"Ini album alumninya. Karena tidak bisa dipinjam, harap dibaca di sini saja, ya."

Setelah mengangguk paham, aku segera duduk di bangku perpustakaan. Satu lembar demi lembar lainnya menampilkan profil siswa tahun tersebut. Mereka semua tersenyum di dalam foto. Ada beberapa juga foto sekelas dengan berbagai tema. Hampir sama dengan album angkatanku.

Saat memuat data kelas 9-B, aku terhenti ketika melihat wajah familiar. Dengan saksama aku memandang nama yang tertera di sebelah foto. Arutala Baswara. Pemuda itu rupanya juga berada di sekolah yang sama dengan Gia. Namun, kenapa dia bilang tak ingat?

Memikirkannya membuatku semakin bingung. Jadi kuputuskan saja untuk mencari nama Gia. Namanya ada, tak jauh setelah nama Arutala. Itu berarti, mereka sekelas. Bukankah semakin aneh jika dia tak ingat Gia? Namun, apa ini? Kenapa fotonya berbeda dari foto anak lain?

Merasa bisa saja terjebak lebih lama di labirin pemikiran dan berujung tak mendapati informasi lebih, aku segera mengeluarkan ponsel, memotret halaman yang memuat data Gia dan Aru.

Usai dari perpustakaan, kulirik jam ponsel. Mampus, sudah lewat jam istirahat dan pasti guru yang mengajar sudah masuk.

Usai mendapat ceramah berujung harus berdiri di depan lorong selama dua jam lebih, pada jam pelajaran terakhir aku bisa mengistirahatkan kaki. Teman-temanku—atau bisa kusebut begitu—beberapa kali bertanya dengan penasaran, lantaran aku bukan orang yang akan meninggalkan pelajaran hanya karena urusan sepele.

Selain pertanyaan penasaran, tak ada yang menarik hingga aku pulang. Tak seperti biasanya aku menyempatkan diri mampir ke kedai es krim, memesan satu buah es corn dengan dua skop rasa cokelat dan vanila. Perpaduan antar dua rasa itu membuatku tanpa sadar tersenyum.

"Hei, Cassa. Coba deh es cokelat ini, enak, loh!"

Pada sekelebat kenangan aku mengingat gadis itu lagi. Sebenarnya, aku tak terlalu suka dengan es krim cokelat, justru Gialah yang tergila-gila pada rasa tersebut. Hah, kembali mengingat Gia yang tak tahu keberadaannya membuat bebanku seakan makin bertambah. Belum juga tugas kelas yang semakin banyak.

Masih sibuk menjilati es krim sembari berjalan, tak sengaja mataku melihat dua orang berdiri di taman. Suara yang terdengar familiar karena volumenya terlalu besar membuatku mendekat perlahan.

Pemuda berkacamata tengah memegang kerah sang lawan, sedang yang dipegang beberapa kali melawan. Sekali lihat aku juga tahu siapa mereka; Kak Rifael dan Aru.

"Kenapa kamu punya surat Gia?"

"Kamu kan penyebabnya!"

"Aku enggak ingat!"

"Enggak usah bohong! Kotor banget tuh mulut." Kak Rifael mendorong Aru, membuatku sontak melepaskan genggaman pada es krim dan berlari agar segera berada di tempat mereka. "Ngaku! Kalau kamu ngaku—"

"Udah, Kak!" Tanganku menghentikan kepalan yang hendak menuju wajah Aru. Sakit, memang tetapi lebih baik daripada dia memukul anak SMA seperti Aru.

Kulihat wajah Kak Rifael kaget, sebelum melanjutkan hal yang ingin kuucapkan. "Kalian ini pada ngapaiin, sih! Kayak anak kecil aja. Kalau memang ada masalah kan bisa diselesaikan secara dewasa. Terutama Kakak, kenapa main pukul Aru?!" Ah, nadaku naik satu oktaf. Baru menyadari perubahan suara, aku tetap memperhatikan kedua pemuda itu, yang sampai sekarang tak mau menjawab.

Suasana masih sama hingga Kak Rifael menarik tanganku dengan paksa. "Aku ceritakan nanti, tapi tidak di depan dia. Ayo!" Kaget dengan ucapannya, aku menoleh pada Aru, yang hanya memandang kami dengan pandangan kosong.

Hei, ada apa ini?

Sepanjang jalan ke Indekos, Kak Rifael menggenggam erat pergelangan tanganku. Bukan erat lagi, tetapi terasa sangat kuat sampai rasa-rasanya lenganku akan putus jika dia menghentaknya sekali.

"Kak, lepas tanganku dulu."

"Tidak, nanti kamu ke dia lagi."

"Nggak, Kak. Aku nggak akan ke—"

"Siapa yang bakal menjamin?"

"Akulah! Tanganku sakit, nih. Jadi lepas sekarang sebelum aku teriak minta tolong!" Pada ancamanku Kak Rifael sontak melepas genggamannya. Kuelus lengan pelan. Astaga, sakitnya.

"Ah, maaf." Kak Rifael berucap demikian tak lama, aku hanya menggeleng.

"Tak apa. Sekarang ayo pulang dan jelaskan secara lengkap kenapa kakak begitu."

****

Limited You [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang