10. Arutala Baswara

20 9 157
                                    

Hal pertama yang kulakukan saat bel tanda pulang berbunyi adalah membereskan tas dan beranjak ke atap gedung sekolah. Kutolak ajakan beberapa teman untuk mencari makanan di luar, hal yang ingin kulakukan kali ini lebih penting daripada urusan perut.

Saat sampai di atap, pemuda itu ada di sana. Sedang duduk sembari memandang arah langit. Di samping tubuhnya ada sebuah buku dan air mineral. Sengaja kubuat suara ribut, berimbas pada menolehnya dia untuk bertatapan denganku.

Merasakan kehadiran orang lain, dia menoleh dan bertemu pandang denganku.

"Oh, sudah sampai rupanya. Kukira harus menunggu seabad lagi baru kau datang." Pada ucapan sinisnya aku hanya mendengus.

Hening tercipta kemudian, tak lama dia memandangiku. "Apa?" tanyaku sembari menjaga jarak. Dia terdiam sejenak, kemudian berjalan mendekat sebelum menjentikkan jemarinya di dahiku.

"Malah tanya kenapa, ya silahkan bilang keperluanmu tadi sampai membuat kakiku sakit."

"Ah, itu."

"Ah, itu. Gitu aja mulu sampai negara api menyerang." Pada balasannya diriku tertawa lepas. Tak kuduga orang ketus satu ini bisa membuat orang lain tertawa karena ucapan seriusnya.

"Berhenti ketawa, nggak lucu."

"Ya, ya," tutupku kemudian memandangnya lagi. "Kamu kenal sama Kakak yang mengantarku kemarin?"

Mendengar pertanyaanku dia terdiam lama, gemas menunggu aku mendesaknya lagi.

"Ah, tidak." Menjawab responku dia hanya menggeleng. Samar kulihat wajahnya berubah aneh, hal tersebut semakin membuatku tak yakin pada ucapannya.

"Serius? Mukamu kayaknya mengatakan sebaliknya loh."

"Ya, beneran. Memangnya ada apa sampai kamu menganggap kami ada hubungan?" Pada pertanyaannya aku jelaskan situasi yang terjadi. Tentang bagaimana Kak Rifael mengatakan agar tak dekat-dekat dengannya.

"Ah, begitu." Pemuda itu kulihat paham pada situasinya, aku hanya mengangguk. "Cukup mencurigakan, ya."

"Banget. Kenapa pula Kak Rifael sampai begitu? Sedang katamu kalian tak saling kenal."

"Dia suka kamu?" Pemuda itu berkata demikian, membuatku tercengang.

"Hah? Mana mungkin. Kami saja baru kenal. Nggak, yang ada dia itu malah aneh akhir-akhir ini."

"Aneh apanya?" Kutoleh pemuda itu sekali lagi, bingung ingin menjelaskan atau tidak. Namun, ketika melihat pandangannya yang meyakinkan aku tak bisa mencegah mulut untuk menjelaskan segala situasi antara aku dan Kak Rifael. Aku beberapa kali melihat raut terkejutnya, tetapi merasa kurang sopan kupilih opsi diam agar tak mencari masalah.

Setelah selesai menjelaskan pemuda itu diam sejenak. Dia memandangku sebelum matanya tertuju pada buku yang ada di sampingnya. "Kalau memang begitu, bukankah dia sangat aneh. Mau menyelidikinya bersama?"

"Menyelidiki? Apa untungnya buatmu?" Jujur saja, aku justru curiga pada pemuda yang sebelumnya ketus mengajakku bekerja sama.

Mendengar balasanku pemuda itu mendengus. "Yah, buat apa lagi? Mencari tahu kenapa Kakak Rifael-mu ini menyuruh agar tak dekat-dekat denganku."

Mendengarnya membuatku sedikit bernapas lega. Kupertimbangkan sekali lagi tawarannya, daripada sendirian mencari tahu tentang Gia di tempat asing ada baiknya bersama dengan seseorang yang paham tempat ini.

"Baiklah, kuterima tawaranmu. Tapi, sebelumnya namamu siapa?"

Pemuda itu tersenyum, dengan latar cahaya matahari yang mulai turun dia menyebutkan namanya. "Arutala Baswara, panggil saya aku Aru."

Sudah sekitar seminggu kami menjadi rekan—atau bisa dibilang begitu. Aru sekarang lebih sering mendekatiku katanya demi membuat rumor supaya Kak Rifael tahu, secara orang satu itu memiliki banyak kenalan dan koneksi di sekolah ini. Namun, menurutku Aru sengaja ingin membuatku kesal dan marah-marah padanya.

"Emangnya harus berapa lama lagi kita begini?" Ketika duduk berdua di taman aku bertanya demikian. Aru hanya melirik sejenak sebelum kembali bermain dengan kucing yang baru saja dia jumpai.

"Entahlah, sampai pihak lawan kebakaran jenggot?" Usai berkata demikian kucing yang dia gendong kabur, membuatnya beralih mempermainkan baju sekolahku.

Melihat tingkahnya yang berbanding terbalik menjadi bak anak kecil kutepis tangannya, membuat orang itu memandangku heran. "Ini sudah kelewatan, Ru."

"Mau gimana lagi, aku juga ogah melakukan ini tau." Wajah jahil itu seketika berubah datar. Sungguh, aku masih tak terbiasa dengan sifat muka duanya ini.

"Dasar bermuka dua," ketusku kemudian berlalu pergi. Ah, kesal rasanya harus berhadapan dengan anak satu itu.

"Kudengar, kamu bukannya menghindari pemuda itu malah makin dekat dengannya? Bahkan ada rumor kalian pacaran?" Suara dingin dari sofa ruang tamu membuatku terdiam. Baru saja berniat mengambil air putih sebelum naik ke atas malah mendapat semburan yang tak melegakan dahaga.

Berusaha terlihat tak terguncang, aku berjalan acuh ke dapur mengambil air dan berniat mengabaikannya. Namun, belum juga jauh dari dapur suaranya yang mengulang pertanyaan serupa membuatku geram.

"Dengar ya, Kak. Mau aku dekat dengannya atau tidak apa urusannya ke Kakak? Jadi sudah deh, jangan terlalu ikut campur urusan orang."

"Tapi aku hanya mencegahmu agar tak—"

"Agar tak apa? Tak dekat dengan anak berbahaya? Selama seminggu ini kuperhatikan dia tak berbahaya, tuh. Kakak kayaknya ngawur aja," ujarku kemudian berjalan pergi, tetapi kembali terhalang saat sebuah tangan menarikku dan membuatku menabrak tembok.

Wajah Kak Rifael yang memerah ada di depanku, dengan posisi kacamata yang sedikit turun dia memandangku tajam. "Apa susahnya sih mengikuti saran orang yang lebih tua? Aku tau mana yang lebih baik buatmu!"

Oh, yang benar saja. Dia pikir dia itu orang tuaku?

"Jangan bercanda deh Kak. Memangnya Kakak siapa? Keluarga bukan, pacar apalagi. Nanti aku ketawa loh karena lucu sekali Kakak melawaknya." Kuhempaskan tangan Kak Rifael. Pemuda itu kaget saat memandangku. Biarlah, aku tak peduli lagi dengannya. Dikira aku anak kecil yang bisa diatur-atur.

"Terus, Kakak tau darimana rumor itu? Kakak, 'kan bukan anak SMA lagi. Jangan bilang Kakak meletakkan mata-mata?"

"Tidak! Bukan begitu maksudku, aku—"

"Nah, kan. Benar apa kataku." Dengan senyum sinis aku membalas ucapannya. Ayolah, tertekanlah sedikit lagi agar mengaku. Namun, bungkamnya Kak Rifael malah membuatku gemas sendiri. "Sudahlah, aku pergi."

Tampaknya usahaku kali ini sia-sia belaka.

"Terus, kamu tinggalkan dia begitu saja?" Suara girang Aru membuatku memanyunkan mulut.

"Ya, iya. Kupikir membuatnya tertekan akan berujung pada pengakuannya. Nyatanya dia malah bungkam." Kepalaku diusap tak lama angkat suara, masih tertawa Aru menatapku sekilas sebelum kembali memandang ke arah bawah bagunan.

"Yah, pasti sih. Mana ada orang semacam dia akan tersulut emosi hanya karena tindakan begitu."

"Kamu berbicara seakan-akan telah mengenal Kak Rifael sejak lama," ujarku sedikit heran.

"Siapa bilang aku kenal dia? Sekali lihat saja sebenarnya kita bisa tau sifat dia."

"Ngawur, mana ada teori macam begitu." Dengusku kemudian berlalu ke arah pintu. Namun, belum juga turun dering panggilan membuatku melihat siapa sang pemanggil.

"Kak Rifael?" Teleponku sontak diangkat oleh Aru.

"Halo, ini siapa?" Semoga saja Kak Rifael tak semakin panas mendengar Aru yang mengangkat panggilannya.

*****

Limited You [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang