7. Rifael

24 10 122
                                    

Pemuda itu terdiam sejenak, mungkin saja sedang memikirkan apa benar aku orang yang menuntunnya.

"Kalau tak salah waktu itu perempuan yang menuntunku mirip anak SD, tampaknya kamu sudah tumbuh, ya," ucapannya membuatku kaget. Hah? Anak SD? Yang benar saja.

"Ah, ya," jawabku kaku setelahnya. Senyum terpaksa terbit di bibir, meski kuakui dibandingkan dengan anak lainnya tubuhku terbilang mungil, bukankah mengatakan hal tersebut secara polos saat ini cukup membuat hati gerah?

Aku segera pamit kemudian, tak ingin banyak interaksi lagi daripada lebih sakit hati. Dengan begitu, satu hari terlewati tanpa petunjuk apa pun.

"Hah, Kak Nia~" Mendengar suaraku seorang gadis menoleh dengan wajah heran.

"Ada apa?" tanyanya sebentar kemudian kembali fokus pada tontonan di hadapannya. Sontak saja, aku duduk di samping gadis itu, meletakkan kepala di bahunya.

"Aku malas naik ke atas, tangganya ada di luar, sih," keluhku kemudian. Gadis itu hanya tertawa sebentar sebelum mengeser kepalaku ke samping.

"Yah, mau gimana lagi. Indekos kita ini campuran, nggak mungkin kan kita naiknya dari dalam rumah, sedang di lantai bawah anak cowok tinggal."

"Tapi tetap saja—"

"Kalau memang malas, kenapa tak minta gendong Vian saja? tuh anak kayaknya udah nawarin berapa kali, kan?" Saran dari Kak Nia membuatku berkerut. Vian, dari beberapa penyewa indekos pemuda satu itu tipe yang harus aku hindari. Dia tak mempedulikan jarak antar gender, dan entah kenapa terkadang membuatku risih.

"Ah, kak Nia nggak asyik ih." Kutinggalkan usai berkata demikian, Kak Nia malah tertawa mendengar ucapanku. Dikira aku melawak apa.

Indekos kami memang seperti ini. Di lantai bawah merupakan kamar para anak lelaki, sedang lantai duanya hanya ada anak perempuan. Tangga menuju lantai dua hanya ada di luar, dan ada pintu trali yang ketika jam malam dikunci oleh wanita yang menjadi wali kami. Perihal peraturan yang ditetapkan itu karena semuanya yang ada di sini anak SMA, dan yang lebih mengejutkannya lagi mereka satu SMA denganku.

Yah, meski campuran, tetap ada batasan.

Baru aku ingin keluar dari pintu, kehadiran pemuda tinggi membuatku terhenti. Wajahnya memandangku kaget, begitupun denganku.

"Kakak—"

"Oh, Kak Rifael, baru pulang kuliah kah?" Suara Kak Nia dari belakang membuatku menoleh ke arahnya. Gadis itu tersenyum cerah, sedang pemuda di hadapanku hanya mengangguk.

"Ya," balasnya singkat dan berlalu masuk.

"Kak ... Rifael?" Ulangku ketika dia benar-benar masuk ke kamarnya. Kak Nia mengangguk.

"Ya, kak Rifael. Satu-satunya penghuni indekos yang sudah kuliah. Kau belum pernah bertemu dengannya, ya? Dia kemarin-kemarin lagi mengejar tenggat waktu tugas, sih." Aku tak mendengar penjelasannya lagi, bagaimana bisa di antara banyaknya manusia di kota ini aku harus satu atap dengan pemuda yang mengatakan tubuhku dulu bak anak SD, sungguh lucu dunia.

Selama jam makan malam, aku mencuri pandang ke tempat duduk Kak Rifael. Pemuda itu sempat beberapa kali memergokiku, tetapi apa peduliku. Aku masih terlalu terkejut dengan fakta yang terpampang di depan mata.

Akhirnya, ketika hendak keluar, Kak Rifael menghadang jalanku. Aku yang saat itu sudah mengantuk tanpa sadar melewatinya saja.

"Kamu ... kulihat dari tadi melirik ke arahku saat makan."

Mendengar perkataannya membuat mataku yang semula setengah terpejam terbuka lebar. Dengan patah-patah kutoleh ke arah belakang, mendapati pemuda itu masih berdiri di samping pintu yang aku lewati.

"Kakak maksud apa?" Ah, tanpa sengaja ucapanku terbalik. Dengan malu menjalar ke seluruh wajah aku melirik pemuda yang terdiam mendengar balasanku.

"Ngomong apa sih?"

"Lupakan!" Setelah itu aku berlari naik tangga, tak peduli pada panggilannya. Ah, dia menyebalkan! Aku tak mau bertemu dengannya lagi.

Niatnya begitu, tapi terkutuklah jadwal masak indekos yang mengharuskan berpasangan.

"Masak apa?" Kak Rifael bertanya kala aku baru turun ke dapur. Aku terdiam mendengar pertanyaannya. Sejujurnya, aku bukan tipe yang bisa memasak, bisa menyajikan nasi goreng saja sudah syukur.

"Nasi goreng." Mendengar balasanku Kak Rifael segera mengambil bahan-bahan dan memulai pekerjaannya.

Halo, aku kerja apa kalau semuanya kakak yang lakukan?

Dengan penuh keheranan aku mendekatinya. "Kak, ada yang bisa kubantu?" tanyaku basa-basi, sebenarnya jika dia bilang tidak perlu aku akan memilih naik ke atas dan melanjutkan mimpi. Masa bodo dengan kakak satu ini, aku masih sebal dengannya.

Dia melirikku sejenak, sebelum kembali fokus pada masakan. "Siapin piring, sendok, gelas. Bentar lagi anak yang lain bangun." Mendengar ucapannya dengan sedikit terpaksa aku segera melakukan apa yang disuruh.

Tak lama penghuni lain datang, dengan wajah mengantuk mereka duduk di bangku masing-masing setelah mengambil makanan. Yah, wajar sih, sekarang baru pukul setengah enam pagi padahal hari libur, tetapi tetap harus bangun pagi-pagi. Usai menyantap, mereka segera berebut kamar mandi.

****

Seminggu berlalu dan hubunganku dengan anak indekos baik-baik saja, kecuali satu orang. Kak Rifael. Entah kenapa setiap melihat wajahnya rasanya aku ingin melempar pemuda itu jauh-jauh. Apa mungkin karena ucapannya waktu itu di taman? Atau ucapannya yang cukup ketus sehabis makan malam? Aku tak tahu, yang pasti aku selalu kesal kalau sudah menyangkut tentangnya.

"Kamu itu sebenarnya ada masalah apa sih dengan Kak Rifael? Kuperhatikan kayak kucing dan tikus aja." Kak Nia bertanya ketika kami sedang duduk menonton televisi. Aku yang tak menduga mendapatkan pertanyaan semacam itu terdiam sesaat.

"Tak ada sih, aku hanya kesal," ucapku sekenanya kemudian memandang televisi, berharap percakapan tak dilanjutkan kembali.

"Yah, kuharap kau tak lama-lama bersikap demikian. Dia itu orang yang paling lama tinggal di sini, mungkin saja dia tau tentang keberadaan temanmu itu kan? Kalau kalian begini yang susah kamu sendiri." Ucapan Kak Nia membuatku menoleh dengan keterkejutan.

"Apa? Kakak itu sudah sejak lama tinggal di sini?"

"Loh, kamu nggak tau? Dia itu penyewa pertama indekos ini. Dari saat SMA loh. Masa kau tak tau?"

Ucapan itu membuatku segera mengacak rambut kesal. Ah, tidak, tak ada yang memberitahuku tentang informasi satu ini. Bagaimana ini, hubunganku dan Kak Rifael termasuk dalam kategori tak baik, kalau begini bagaimana aku bisa bertanya tentang keberadaan Gia?

Selama sehari penuh aku mengurung diri di kamar. Untunglah hari ini minggu dan tak ada tugas sekolah. Pikiranku berputar pada bagaimana caranya bertanya pada pemuda tersebut. Merasa buntu, aku akhirnya memaksakan diri keluar dari kamar, sekadar turun untuk mencari udara segar. Namun, baru sampai aku di depan pintu indekos dan hendak masuk, Kak Rifael juga baru mau masuk.

Kupandang dia lama, menimbang tindakan yang perlu dilakukan. Ah, terserah, aku tak peduli mau di jawab atau tidak aku ingin bertanya sekarang.

"Kakak, apa kakak kenal perempuan bernama Gia yang tinggal di sini sebelumnya?"

*****

Limited You [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang