25. Rampung

8 4 11
                                    

Aru dan Kak Rifael memandangku dengan heran. Kak Rifael adalah pihak pertama yang berjalan mendekatiku.

"Cassa, sudah berapa kali kubilang. Aku mengatakan yang sebenarnya, Aru yang berbohong."

"Apa-apaan, aku tak berbohong!" Aru yang tak terima ikut maju dan berseru. Alisnya berkerut, memandang pada Kak Rifael.

"Mana buktinya? Aku tak akan percaya sebelum kamu membeberkan bukti terlebih dahulu.

"Aku—"

"Udah! Cukup dengan argumen tak jelas kalian." Aku memandang nyalang dua pemuda itu. Oh, ayolah. Aku tak ada di sini untuk mendengar argumen kalian. "Pertama, benar ucapan Kak Rifael. Kau tak ada bukti apa pun perihal alasanmu tak ingat Gia. Ingatan tak bisa dilihat dengan telanjang mata." Kulirik Kak Rifael, pemuda itu sedang tersenyum penuh kemenangan atas ucapanku.

"Tapi, Kakak juga nggak langsung kunyatakan nggak bersalah. Kakak juga bersalah karena tak mengatakan yang sebenarnya." Dalam sekejap wajah Kak Rifael berubah keruh, pemuda itu sangat terlihat tak setuju.

"Tapi kan aku—"

"Sekali lagi, aku tak butuh pembelaan, Kak." Mendengar nada suaraku Kak Rifael diam. Apa aku terlalu tegas? Ah, biarlah. Sejak awal, mereka yang memulai ini.

Lama kami terdiam, mereka tak berniat berkata apa-apa lagi, ya?

"Kalian, tak tahu perasaanku saat menemukan bahwa teman yang selama ini kucari, Gia, sudah tak ada. Ya, kan? Kalian pikir dengan membuat seorang gadis sepertiku mencari keberadaannya, terus berputar dalam lingkaran yang sama adalah hal yang menyenangkan, bukan?" Air mata yang tak dapat kucegah meluncur. Kugenggam erat dadaku, nyerinya terasa sampai hendak membunuh tubuh lemah ini.

"Aku tak ...." Kak Rifael tak melanjutkan ucapannya lagi.

"Apa kalian bisa membayangkan, selama bertahun-tahun menunggu balasan dari orang yang sudah tak ada, tanpa tahu faktanya. KALIAN BISA MEMBAYANGKAN ITU?!" Tangisku benar-benar pecah kemudian. Aku semakin mundur ke belakang, sampai pinggang menyentuh pagar besi atap.

"Cassandra, maju, sekarang." Kudengar Kak Rifael memerintah, tetapi aku menggeleng. Tidak, aku tak ingin kembali dipermainkan.

"AKU—!" Belum sempat menyelesaikan ucapan tubuhku oleng. Lebih condong ke arah belakang membuatku dapat melihat langit, tangan yang semula di dada sudah terulur ke depan, berharap ada yang menjangkau.

Ah, apa aku akan mati?

Pemikiran itu membuatku memejamkan mata, menerima takdir jikalau memang sudah saatnya aku pergi dan bertemu dengan Gia. Lucu, akhir hidup kami akan sama kalau aku juga mati saat ini.

Akan tetapi, cengkraman kuat membuatku tersadar. Wajah Kak Rifael memandangku dengan aneh, tangannya mencengkram kuat lenganku. Jika tak ingat posisi sekarang, tentu saja aku akan melepaskan cengkramannya itu. Tak butuh waktu lama untuk membuatku kembali ke dalam jarak aman. Ketika aku sudah menapak pada kubikel atap, Kak Rifael terlihat hendak berseru.

"Kau—!"

"Sebentar, Kak," potongku tak melirik padanya. Pandanganku terfokus pada Aru yang berdiri di depan pagar, dekat dari posisiku jatuh tadi. Tangannya terulur ke bawah, aku tak bisa memandang wajahnya karena dia menunduk. Dia tak bereaksi bahkan setelah aku selamat.

Dengan rasa heran, aku mendekatinya. Meninggalkan Kak Rifael yang hendak mencegah.

"Aru?" Panggilanku tak mendapat jawaban. Pemuda itu masih di posisi yang sama. Merasa tak ada gunanya aku memanggilnya, tanganku kemudian beralih mengguncang bahunya. Perlu waktu cukup lama bagiku untuk melakukan hal tersebut sampai dia sadar dan memandang ke arahku.

"Kau ... selamat?" ujarnya dengan nada nelangsa. Dia memandang tepat ke mataku, meraba wajahku sebelum memeluk tubuhku kuat. "Oh! Kukira kau beneran meninggal, Gia! Tak tahukah kau betapa cemasnya aku saat jatuh dari pagar?!" Keningku berkerut mendengar ucapannya.

Aru, apa aku terlalu mirip dengan Gia sampai kau menganggapku sebagai dirinya?

Dia makin meracau, aku yang mendengar cukup kebingungan. Akhirnya, ketika tak sanggup menampung informasi, aku mengguncang bahunya lagi, memanggil namanya dengan keras.

"Ah? Cassandra?" Wajah linglungnya masih ada. Dia memandang padaku juga Kak Rifael yang ada di belakang. Dia memandang langit di belakang kami, kemudian pada wajahku.

"Gia ... di mana?" tanyanya. Sebuah tangan mendorongku ke samping, Kak Rifael ada di hadapan Aru saat ini.

"Ke mana katamu?! Dia sudah meninggal! Semua karena dirimu! Oh! Astaga! Berhentilah pura-pura lupa, Aru!" Suara Kak Rifael menggelegar, membuatku kembali terhempas kenyataan. Aku hanya menunduk, sebelum memandang Aru lagi karena pemuda itu tertawa.

"Kakak bercanda? Gia nggak meninggal! Jelas-jelas aku tadi meraih tangannya. Ngaco Kakak!" Ah, apa? Apa maksudnya?

Aku semakin bingung sepertinya ingatan Aru tak beraturan, masih ada beberapa bagian yang terisi dengan hal yang tak nyata. Dengan pemikiran begitu aku berjalan lagi ke arah Aru, menyuruh Kak Rifael mundur, kupadang Aru dengan dalam.

"Aru, aku tahu kamu akan terkejut mendengar ini. Tapi, Gia sudah tak ada. Tak ada lagi Dewi Selenmu di dunia ini."

"Kau ... bercanda, kan?! Gia masih hidup, kok!" Aru masih menyangkal. Ah, aku tahu ini salah satu fase penyangkalannya tentang kenyataan. Namun, kalau diteruskan aku tak akan tahan dengan ucapannya.

Apa yang bisa kulakukan untuk menyadarkannya?

Tanganku bertindak tanpa pikir panjang, terjun tepat mengenai pipi kiri Aru. Wajahnya condong ke arah kanan, tanda bahwa tamparanku terlampau keras. Aru tak merespon. Ah, apa aku keterlaluan? Tapi biarlah, semua agar dia segera sadar dari khayalan jemu.

Meski begitu, sampai satu menit berlalu aku tak melihat responnya. Rasa cemas mulai merambati hati, dengan ragu kupanggil namanya.

"Aru? Tak ap—" Tubuh Aru limbung. Refleks aku berusaha menahannya dengan sekuat tenaga. Sayang, kurangnya tenagaku sehabis menamparnya malah membuatku ikutan jatuh dengannya. Kak Rifael juga gagal merespon. Ah, maafkan aku ya, Aru!

"Dia kenapa?" Setelah sadar dari keterkejutan Kak Rifael bertanya padaku. Kuabaikan dia dan kembali melihat pemuda itu. Mata yang sebelumnya terbuka lebar sudah terpejam entah sejak kapan.

Ah, jadi dia pingsan karena terlalu terkejut ditampar anak perempuan?

"Dia pingsan," ujarku kemudian. Kutolehkan kepala ke belakang, mendapati Kak Rifael sedikit mundur dari jaraknya sebelumnya. "Kenapa mundur, Kak?"

"Ah, nggak. Aku hanya memberi ruang." Sial. Jangan bilang karena tamparanku tadi dia jadi begini. Kubuang napas setelahnya, kembali memandang Kak Rifael yang semakin jauh.

"Kak, tolong bantuiin dong, Aru berat. Bisa-bisa gepeng kayak calon laki dua dimensiku, nih," ucapku sedikit meringis. Pemuda itu segera membantuku menarik tubuh Aru agar tak menghimpit badan.

Aku bernapas lega setelahnya. Akhirnya bisa menarik oksigen tanpa ditindih tubuh manusia. Kupandang Aru lagi, dia masih tenang dalam tidur meski kepalanya sedikit terbentur akibat tingkah Kak Rifael.

"Tenang, tak keras sampai geger otak, kok," katanya saat melihatku memandang Kak Rifael nyalang.

Hah, bisa-bisanya dia.

****

Limited You [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang