18. Secercah Harapan

9 3 8
                                    

"Hei, Cassa! Kau jadi tanya atau tidak? Kok malah melamun?"

Gertakan itu memacu jantungku untuk bekerja lebih cepat. Ah, dasar Cassandra. Bisa-bisanya aku malah melamun ketika ingin bertanya?

"M-maaf, Shakilla. Aku masih syok aja sama kondisimu. Kamu keluarga kaya, ya? Rumahmu besar dan bagus."

"Hahaha .... Tidak juga, kok." Shakilla tertawa sebentar.

Aku mengangguk atas jawabannya. Sudah saatnya topik utama kubahas. "Oh ya, ngomong-ngomong kamu dari SMP mana? Kok waktu MOS SMA dulu udah banyak kenalan?"

"SMP? Dari sini juga, kok. Aku dari SMP yang masih satu yayasan dengan sekolah kita." Syukurlah dia menjawabnya dengan lugas.

"Eh? Benarkah? Kebetulan sekali. Aku punya teman yang sekolah di sana."

"Siapa? Aru?" Eh, kenapa mereka berpikir Aru, ya? Jangan-jangan karena kami dekat akhir-akhir ini?

"Bukan! Namanya Gita."

Suasana hening menguasai kami setelah itu. Shakilla yang duduk tak jauh dariku terdiam sebelum memandangku lekat.

"Gita ... siapa?" Hah? Bagiamana mungkin dia lupa dengan teman sekelasnya sendiri.

"Gita, gadis pendiam yang pintar. Sebentar, aku cari fotonya." Setelah mengatakan hal tersebut kurogoh ponsel yang berada di saku, mengutak-atiknya sebelum memberikan foto gadis yang tersenyum. Foto yang berada di bio album alumni.

"Ah, gadis ini. Tak terlalu kenal, sih. Tapi aku beberapa kali sekelompok dengannya. Kenapa?" tanyanya kemudian dengan ekspresi wajah keheranan.

"Dia temanku," akuku kemudian, tak ingin menyembunyikan fakta lebih lama. "Tapi sudah hampir tiga tahun kami hilang kontak. Aku penasaran, siapa tahu kalian mengetahui ke mana dia pindah. Karena rumah lamanya sudah menjadi indekos yang aku tempati," jelasku setelahnya.

"Ah, begitu rupanya. Aku tak tahu." Shakilla diam. "Tapi, aku sempat dengar rumor tentangnya. Katanya dia pindah, tapi tak ada yang mengetahui ke mana dia tinggal saat ini."

"Tak ada yang mengetahui? Termasuk teman dekatnya?" Shakilla menggeleng mendengar ucapanku.

"Gita ... kalau aku tak salah ingat tidak punya teman. Anaknya tertutup, sukar mendekatinya."

"Eh? Tapi dia bilang kalau banyak teman ...," ucapku kemudian terdiam. Jangan bilang Gia bohong?

"Yah, dia cuman ada teman yang mau menyontek tugasnya aja, sih." Wah apa-apa ini, tampaknya mereka ingin kepalanya kutempeleng.

"Begitu, ya?" Aku mengangguk. Sebelum menanyakan hal lainnya. "Kalau Aru? Ada hal aneh soalnya saat SMP?"

"Aru, ya?" Shakilla terdiam sejenak sembari mengetuk meja pelan. "Tak ada yang aneh, sih. Ah! Ada. Aku dengar rumor, sehari sebelum kepindahan mendadak Gia, dia sedang bersama Gia di atap sekolah."

"Atap?"

"Iya. Ini kemungkinan besar cuman rumor, sih. Jangan terlalu dipikirkan." Ucapan Shakilla membuatku berpikir tanpa dapat dicegah. Kenapa mereka bertemu di atap, ya? Dan kenapa setelah kejadian di atap Gia langsung pindah? Dipikir-pikir lagi malah semakin aneh dan janggal.

Setelah itu aku tak mengorek informasi apa pun lagi lantaran aku melihat tatapan Shakilla yang sedikit aneh. Selama sisa waktu kami hanya sibuk membahas tugas, pembagian materi dan penyusunannya. Tanpa terasa sudah sore ketika kami selesai berdiskusi.

"Ah, kamu harus pulang sekarang, kan? Soalnya lokasi indekosmu cukup jauh dari sini." Shakilla berkata sembari memandang jendela. "Biar Pak Hari mengantarmu sampai indekos, ya?" Pak Hari adalah pria yang cukup tua. Dia orang yang mengantarku dan mengajakku bicara sebelumnya.

Seperti kata Shakilla, jarak indekos ke rumah sangat jauh. Nyaris saja aku terkunci di luar jika Pak Hari tidak sedikit mengebut tadi.

Seakan tak cukup, di dalam semua sedang duduk makan. Niat awalku adalah menyapa ala kadarnya lalu segera naik ke kamar. Sayang, pada akhirnya aku malah tertahan di sini, duduk di meja makan dan menikmati gule bersama yang lain.

"Makan dulu." Kak Nia berkata sembari menyodorkan sepiring nasi dengan lauknya. Aduh, padahal aku sudah cukup kenyang karena cemilan tadi, tapi tak enak jika menolak. Ya, biarlah, sekali-kali makan sampai perut penuh tak apa.

"Makasih, Kak," ujarku kemudian menyuap nasi dengan cepat. Niatnya ingin cepat-cepat pergi, tetapi pandangan para anak indekos yang serasa akan menerkam membuatku melambatkan laju menyuap.

"Jadi, dari mana tadi? Tumben pulangnya malam?" Ah, ini yang selalu kuhindari.

"Habis dari kerja kelompok." Jawab segini saja cukup, kan?

"Teman kelompoknya siapa? pulangnya sama siapa? rumah temannya di mana? apa kamu—" 

"Shakilla dan dia perempuan. Tenang, hanya ada kami berdua di sana." Hah, tindakan mereka sudah seperti orang tua saja. lihatlah pandangannya, seakan-akan melihat anaknya sedang dalam bahaya saja. "Aku sudah makan, boleh ke atas duluan? badanku—"

"Sebentar. Kalau cuma kerja kelompok, kenapa sampai malam?"

Astaga! Bukankah aku sudah kelas 10 SMA?! Mengapa mereka memperlakukanku seperti bayi, sih?!

"Kak, aku tau Kakak semua khawatir. Aku juga berterimakasih soal kekhawatiran kalian. Tapi Kak, interogasinya nggak bisa disambung besok, apa? Aku benar-benar lelah."

Setelah berujar demikian, aku langsung berjalan pergi membawa peralatan makanku. Usai mencucinya dan mengeringkan tangan dengan handuk, aku melenggang naik tanpa peduli pada panggilan mereka.

Biarkan saja, deh. Aku benar-benar lelah. Kepalaku juga sudah penuh gara-gara informasi dari Shakilla. Aku harus segera tidur.

Ah, hari yang melelahkan. Semakin digali semakin banyak yang terasa janggal. Sudahlah! Aku mau tidur. Masa bodo dengan masalah ini, besok saja dilanjutkan lagi. Tak apa, kan?

Niatnya begitu, hingga Aru datang tanpa diundang keesokan harinya. Jelas Kak Rifael menunjukkan wajah ketidaksukaannya, terlebih saat Aru mengajakku keluar dari indekos sebentar.

"Mau ke mana?" tangan Kak Rifael menarik salah satu lenganku yang bebas.

Aru sendiri hanya memandang pemuda yang jelas lebih tua darinya itu dengan sama nyolotnya. "Ya terserah kami lah. Asal Cassa aman gapapa, kan?" balasnya kemudian. Sebentar, mereka kenapa begini, sih?

"Oh, tentu tidak. Dia anak gadis, jangan macam-macam." Tubuhku condong ke arah Kak Rifael setelah dia mengatakan hal semacam itu.

Melihat aku yang tertarik, Aru malah ikutan menarik tanganku yang satunya. "Siapa juga yang mau macam-macam sama Cassa? Kayaknya Kakak harus berkaca dulu, deh." Hah? nggak salah ngomong, nih. Harusnya kau juga berkaca.

"Hei, apa maksudnya itu, hah?" Tarikan kak Rifael semakin kencang saja. Memutus tali kesabaranku.

"Duh! Kalian! Berhenti menarik tangan orang! Dikira aku tali tambang apa? Sampe ditarik kencang begini!" Seruanku membuat kedua pemuda itu terdiam. Mereka melihat ke arah tanganku, yang memerah akibat ulah tarik-menarik.

"Ah, maaf." Kak Rifael menjadi pihak pertama yang meminta maaf. Pemuda itu lantas melepas tanganku. 

"Aru, lepas tangannya. Dia jelas kesakitan." Wah, apa ini? Tumben dia mau menyebutkan nama Aru?

"Maaf, Cass."

"Maaf, maaf jidat bapakmu. Masih sakit, nih!" protesku tak terima. kuelus kedua tangan bergantian. Sial, panas, nih. Kubuang napas setelah itu, kemudian memandang keduanya. "Ya sudahlah. Tak apa," balasku singkat sebelum memandang Aru. "Memangnya kamu pengen bicara apa sih?"

****

Limited You [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang