2. Surat Darinya

26 12 115
                                    

Gia benar-benar pergi. Aku masih tak bisa menerima kenyataan ini. Terkadang, ketika pulang sekolah aku sengaja berjalan ke arah yang melewati rumahnya. Berharap dia ada di sana, melambai padaku sembari tersenyum lebar.

Kami memang tak benar-benar hilang kontak. Janji untuk tetap bertukar kabar akan selalu dipegang, baik olehnya maupun diriku. Meski harus melewati beberapa hari sampai surat balasan sampai—aku yang menginginkan memakai cara ini—tapi tak apa, aku baik-baik saja.

Esoknya, sepucuk surat sampai di kotak posku.  Kubuka pembungkusnya dengan penuh semangat. Beberapa lembar kertas ada di sana, lengkap dengan sebuah bunga liar yang kuyakin dia awetkan sebelum dikirim.

Hai juga, Cass! Maaf ya, aku terlambat sehari mengirim balasannya. Sebenarnya, kemarin saat suratmu datang, asmaku kambuh. Tenang, kata dokter aku cuma kecapekan, jadi gak ada yang gawat.

Oh, ya. Ngomong-ngomong, bagaimana kabarmu? Sehat-sehat, kan? Pasti, lah. Cassa kan, sehat dan kuat. Kabar keluargamu bagaimana? Aku titip salam, ya.

Kamu tahu, Cass? Di rumahku yang sekarang, tidak ada anak yang seumuran dengan kita. Aku jadi gak punya teman selain teman sekolah. Ah, aku jadi kangen kamu. Kapan-kapan kamu harus main sini, ya!

Ah, sepertinya terlalu panjang, ya? Oke, segini dulu saja. Aku tunggu balasanmu, ya!

Salam dari temanmu yang paling cantik, Gia

Astaga, Gia. Anak ini ajaib banget sih. Padahal ekspresi wajahnya selalu datar, dia juga gak pernah bicara panjang. Tapi, giliran menulis surat seperti ini, kenapa dia jadi cerewet sekali?

Padahal isi suratnya kali ini hanya tentang bagaimana kegiatannya sehari-hari di rumah, serta apa saja yang ia alami. Benar-benar, deh.

Iya juga, ya. Padahal isinya cuma hal remeh-temeh, tetapi bisa membuatku senyum bagai bertemu doi. Ah, aku harus segera membalas suratnya.

Dengan pemikiran itu, aku segera berlari ke kamar, mengabaikan Mama yang sedikit mengeraskan suaranya karena aku terlalu berisik. Surat Gia lebih penting, dan karena hari ini libur, aku akan membalas suratnya dengan kertas yang lebih banyak.

Ah, aku harus membalasnya seperti apa, ya?

Apa aku ceritakan juga keseharianku? Eh, tapi nanti Gia jadi tahu kalau aku tidak punya teman di SMP.

Ah, jangan deh. Aku tulis apa yang terjadi di rumah saja.

Kabarku baik-baik saja sih, meski sepi karena kamu nggak ada. Mama tetap kayak biasanya, suka marah kalau aku bandel. Oh, kau ingat adikku yang kecil itu, kan? Dia kemarin mulai menyebutkan nama loh! Mau tau nggak siapa yang dia panggil pertama kali? Aku! Hehehe, muka Mama yang melihatnya langsung mau ngambek, seru deh!

Nah, kan. Apa kubilang. Kan selalu kukatakan jangan begadang, nanti kamu capek. Lihat akibatnya. Lain kali jangan lakukan lagi, ya. Ingat, asmamu itu loh. Jaga-jaga kesehatanmu. Terus lain kali ceritakan ceritamu di sekolah, ya! Aku penasaran~. Terakhir, katamu waktu itu kamu ada kakak, kan? Sampaikan salamku buatnya ya. Bilang, teman terbaikmu ingin tahu namanya nanti.

Salam penuh sayang dari teman yang akan selalu merindukanmu, Cassa.

Sip! Suratnya sudah siap. Sekarang aku hanya perlu mencari amplop dan perangko kemudian menyerahkannya ke kantor pos di komplek sebelah.

Dengan pemikiran itu aku berlari ke bawah, membuka laci dekat ruang tamu, mencari alat-alat yang aku perlukan.

"Mama, Mama! Amplop sama perangko yang ada di laci kok nggak ada?" teriakku masih membongkar isi laci.

Oh, ayolah. Aku sedang terburu-buru, loh. Jadwal kantor pos buka sebentar lagi habis, masa harus ditunda besok?

"Mama simpan di tempat biasanya kok, masa nggak ada?" Balasan Mama dari arah dapur membuatku terdiam.

Hari ini tampaknya aku kena sial. Kalau tak ada di tempat biasanya, itu berarti amplopnya habis. Uang sakuku untuk bulan ini tinggal sedikit, masa harus minta uang ke Mama lagi?

Ah, masa bodo deh, aku harus segera mengirimkan surat ini. Jadi, dengan perlahan aku mendekati Mama. Wanita itu sedang sibuk memasak saat aku sampai.

"Ada apa?" tanyanya sesaat setelah merasakan kehadianku.

"I .... Itu, Ma. Cass—,"

"Mau uang buat beli amplop sama perangko lagi? Gak boleh. Bulan ini kamu sudah dua kali minta uang jajan tambahan buat beli amplop sama perangko. Kamu tahu, kan, usaha Ayah lagi bermasalah? Hematlah sedikit."

Nah, kan. Aku benar-benar sedang sial hari ini. Masa aku harus pakai uang sakuku, sih? Kan uangnya mau kutabung untuk beli kaos kembaran dengan Gia.

Dengan cemberut aku meninggalkan Mama. Terserah deh, aku lelah. Apa caraku bertukar kabar melalui surat terlalu kuno, ya? Padahal kan ada e-mail?

Sekejap pemikiran itu muncul, saat itu juga aku menggeleng kuat. Tidak, tidak! Aku suka melihat tulisannya langsung, kalau dari e-mail kan tulisannya tak kelihatan. Surat itu tak akan berkesan kalau bukan tulisan Gia.

Eh, tapi tapi. Apa lebih baik bertukar kabar lewat telepon, ya? Setidaknya, kan, aku bisa merekam suara Gia.

Ah, tidak, tidak! Tidak boleh! Gia itu anak cerdas dan pasti punya banyak teman. Mengajaknya bertelepon selama berjam-jam itu pasti akan menyita banyak waktunya.

Ah, aku galau deh! Padahal hal mudah kayak gini. Apa aku pakai saja ya uang buat beli kaos kembaran?

Oke! Sudah kuputuskan. Aku akan pakai sedikit uang untuk beli kaos dan sisa uang saku bulan ini. Toh, sekarang sudah tanggal tua. Sebentar lagi aku akan dapat uang bulanan.

Dan dengan itu aku segera mengambil celengan, kubuka walau sedikit tak rela tutupnya, berusaha mengambil uang secukupnya agar tak boros.

Usai mengambil uang, aku segera melucur. Kulirik jam sebentar, gawat! Dua puluh menit lagi kantornya akan tutup. Aku tak akan sempat kalau jalan kaki.

"Ma! Cassa keluar dulu, ya!" Tanpa menunggu balasan, aku segera keluar dan mengambil sepeda dari bagasi. Kukayuh cepat sepeda, membiarkan angin menerpa kuat wajah. Untungnya, saat ini jalanan sepi, aku bisa sebebas mungkin mempercepat laju sepeda.

Setelah cukup banyak drama di warung tempat membeli amplop, aku sampai di depan kantor pos. Kakiku melangkah cepat, segera menemui seorang pria yang duduk di balik meja.

"Ah, Adek mau kirim surat lagi?" tanya pria itu membuatku mengangguk cepat.

"Sekalian mau beli perangkonya ya, Pak." Mendapat anggukan dari sang pria aku segera menyerahkan surat. Setelah membayar biaya pengiriman, aku keluar dari sana. Kuhembuskan napas lega, untunglah sempat.

Nah, sekarang misi terakhir yang paling penting; menunggu balasan dari Gia.

Semoga saja kali ini dia tidak lama membalasnya.

****

Limited You [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang