22. Rahasia (Fael)

8 3 17
                                    

Pertama kali aku bertemu dengannya ketika gadis itu duduk di taman sembari memperhatikan anak kecil yang bermain. Gadis itu terlihat putus asa, tanpa sadar membuatku mendekatinya.

Siapa yang menduga, bahwa dialah sang bencana yang aku hindari sejak kematian Gia. Gadis terdekat yang adikku miliki, yang dia bohongi tentang kematiannya.

Awalnya, kupikir kami tidak akan bertemu lagi. Sayang semesta sepertinya tengah menghukumku. Siapa sangka, bukan, jika anak yang paling sering kuhindari ini malah tinggal di atap yang sama denganku.

Aku berusaha untuk menjauhinya, membuat jarak sejauh yang kumampu. Namun, kejadian hari itu menghancurkan semua usaha yang sudah aku lakukan sejak awal.

Saat itu, mata gadis itu berbinar dengan penuh pengharapan, membuat aku yang semula berniat menolak permintaannya membuang napas sebelum mengangguk.

Yah, tak apalah sesekali menuruti permintaan.

Awalnya, kupikir alasanku menurut padanya hanya karena kasihan. Anak ini kehilangan sahabatnya, tinggal jauh dari orang tuanya juga. Dia pasti kesepian.

Yah, setidaknya aku sempat berpikir begitu, sebelum rasa kesal dan jengkel memenuhi rongga dada saat melihatnya bersama si pembunuh.

Pemuda itu, berjalan tanpa rasa bersalah. Setelah sejak saat itu kami saling memandang dari kejauhan, Aru, tetap pura-pura tidak melakukan pembunuhan tersebut.

Semakin gadis itu mengorek informasi tentang Gia, semakin dekatlah dia dengan Aru. Tidak, aku tak ingin itu terjadi. Bukan berarti aku menyukainya, aku hanya tak ingin Cassa mengalami hal yang sama dengan Gia.

Pada akhirnya, dia hampir tahu. Katanya Aru lupa ingatan. Namun, aku yakin, pemuda itu hanya sedang bermain peran. Lantas, kenapa sebagai anak teater dia tak menyadarinya?

Merasa gemas akhirnya sebuah fakta keluar dari mulutku. Bukan berarti aku melanggar janjiku, aku hanya menjelaskan orang yang berharga bagiku mati karena Aru. Gia, satu-satunya keluarga dan air di sungai kering ini.

"Tidak, aku yakin Aru tak begitu." Perkataannya setelah mendengar penjelasanku membuat aku naik pitam. Hampir saja aku meledak dan membeberkan fakta.

Sempat berada dalam konfrontasi, Cassandra menyarankan satu hal yang membuatku terdiam. Bukan karena marah, tetapi lebih kepada kaget.

Dia mengajak untuk mencari kebenarannya. Jujur saja, aku tak ingin, tetapi sekali lagi, aku malah menuruti mau gadis tersebut.

Ya sudahlah. Toh, mau dicari seperti apa pun, kenyataannya sudah jelas, kan? Apa yang aku takutkan?

Meski hati berkata demikian, pemikiran burukku berkelana ke segala arah. Bagaimana jika dia tahu gadis yang kusebut itu Gia? Bagaimana jika Aru mencoba menutupi segala sejarah kelamnya dan berusaha melenyapkan Cassa. Bagaimana jika—

Pemikiran itu terpaksa berhenti saat Cassa sudah pergi dari hadapan. Kepala penuh dengan pemikiran buruk, semoga saja semua tak terjadi.

Bunuh diri? Hah, yang benar saja. Aru yang membunuhnya! Aku yakin begitu

Seakan tak cukup, Cassa mencari informasi lainnya. Kali ini rumor mengatakan bahwa Aru dan Gia sempat bertemu di atap sehari sebelum kepindahannya. Ah, dengan begitu, bukankah sudah pasti Aru yang membunuh? Aku cukup tenang mendengar kabar itu. Aku ... tak salah menuduh orang lain.

Mendengar kesempatan datang aku menantangnya, berharap dia akan menyerah setelah mendengar ancamanku. Namun, alih-alih takut, dia malah semakin tertantang.

"Tangkap saja dia," gumamku ketika gadis itu sudah hilang dari pandangan.

Meski sebelumnya kami sempat berdebat karena gadis itu pulang malam, aku tak terlalu mempermasalahkannya, Tetapi apa ini? Kenapa pemuda tak tahu malu datang ke Indekos dan berusaha membawa Cassa pergi. Aku tak terima, jadi kutarik tangan Cassa, membuat lawanku juga melakukan hal yang sama.

Setelah itu mereka memilih membicarakan suatu hal di ruang tamu. Aku sengaja memilih jarak yang tak terlalu jauh juga tak dekat. Mataku selalu memandangnya dengan tajam, berharap dia segera pulang.

Cukup lama dia bercerita hal yang katanya dia alami di mimpi. Dan seketika ketika dia mengatakan bahwa mimpinya tentang seorang gadis yang berteriak, aku semakin tajam melihatnya.

Gia. Itu pasti Gia. Ya

Tak lama mereka undur diri, meninggalkan Tante Rianti yang sedang menarik kerah bajuku. Ah, sial, aku tak melihat ada Tante Rianti tadi.

"Te, bisa tolong lepasin cengkramannya? Leher Fael kecekik." Pada ucapanku Tante Rianti melepas cengkramannya.

"Makanya Den, jangan terlalu cemburuan."

"Cemburu gimana ya—"

"Aduh, anak muda. Suka menolak fakta, nih." Tante Rianti tak menunggu balasanku. Wanita paruh baya itu segera berlalu pergi. Meninggalkan Nia yang sedang menahan tawanya karena melihat interaksi kami.

"Apa ketawa-ketawa. Awas aja kasih tau ke Cassa," ujarku kesal kemudian berlalu pergi. Samar, aku mendengar Nia tertawa keras. Ah, dasar. Senang banget ya melihat orang kesusahan.

Sebagai penenang, aku kembali ke kamar. Banyak barang Gia berada di sana. Bahkan jepitan rambut yang semula tenggelam dalam kubangan darah telah berubah menjadi bersih saat aku dengan sekuat tenaga membersihkannya. Gadis mungil itu pasti tak senang jika barang yang diberikan sahabatnya jadi kotor.

Ada pula beberapa foto keduanya, tengah tersenyum pada kamera. Dilihat-lihat, kamarku lebih mirip seperti kamar anak perempuan dibandingkan anak lelaki. Semuanya berisi hal yang Gia punya, termasuk wallpaper warna merah hati bercampur biru langit dengan motif hati dan awan.

Hah, gaya anak satu itu sangat buruk. Ketika mengingatnya aku tersenyum. Aku rindu padanya, meski sudah lama waktu berlalu.

Cassa masih berusaha mencari kebenaran. Hal itu kudapati ketika dia masih bertanya ke semua orang. Hah, tak bisakah dia menyerah saja? Aku takut dia tak akan bisa bertahan setelah mengetahui faktanya. Namun, tampaknya mereka memang ditakdirkan sebagai sahabat, sama-sama keras kepala mereka masih melakukan hal yang ingin mereka lakukan. Yah, biarkan saja.

Dengan begitu aku tak ikut andil dalam pencariannya. Hanya berada sebagai orang yang mendengarkan dan menyangkal segala hal, aku tetap mengamatinya dari jauh.

"Hei, Gia. Kau tahu?" Aku memandang foto adikku di dinding kamar. Berada di depan kasur. Wajah tersenyumnya tak merespon apa pun, dengan begitu aku hanya menghela napas. "Cassa, temanmu. Dia masih mencari kebenaran," lanjutku kemudian, tertawa sedikit sebelum memilih berdiri.

Mengambil salah satu surat dari kotak yang tak kututup, aku kembali memandang foto. "Lantas, apa yang akan kau lakukan? Ah, aku lupa. Kau tak bisa apa-apa lagi. Kenapa pula kamu harus pergi? Tidak, lebih tepatnya, kenapa kamu tak membiarkanku memberitahu tentang kematianmu?"

Dalam segala nestapa itu aku terlalu sibuk memandang pada foto. Seribu kenangan lewat di kepala, menyalurkan rasa rindu yang lagi-lagi mencekik napas.

"Kak Rifael, aku—" Suara seorang gadis masuk ke telingaku. Dengan cepat aku menoleh ke arah pintu. Anak kelas satu SMA memandang foto di balik badanku.

"Cassa?"

****

Limited You [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang