13. Fakta

3 4 0
                                    

Mendengar ucapanku Aru terdiam. Senyumnya yang sempat tampil hilang entah ke mana, berganti wajah datar. Aku diam memperhatikan, menunggu reaksi selanjutnya. Kuharap dia tak akan berusaha kabur dari penjelasan.

"A-ah, apa maksudmu? Aku tak paham-" Sebelum dia sempat berkata kutendang tulang keringnya kuat, membuat dia meringis kemudian memandangiku tajam. "Apa-apaan sih? Kamu gila, ya!"

"Biarin. Aku tak bisa menerima kebohonganmu lebih lama lagi." Luapan perasaan negatif tak bisa terbendung lagi di hati, berusaha menyalurkannya dalam setiap tindakan. Merasa terkhianati oleh orang yang kupercaya, fakta apa lagi yang lebih lucu dari ini?

Aru tak berucap lagi. Diamnya pemuda itu membuat sudut hatiku yang sudah tenggelam semakin karam. "Sudahlah, tak ada gunanya bertanya padamu. Tak usah dekat denganku lagi, kau menjijikkan," ujarku kemudian berdiri. Kuabaikan Aru yang masih ada di posisi semula, tak bergerak barang sedikitpun.

Tak ada yang bisa kupercaya saat ini, semua hanya berusaha membuatku makin tersesat dalam labirin gelap.

Sehari setelah kejadian Aru mencariku ke mana-mana. Fakta tersebut kudapatkan dari ucapan teman sekelasku setelah menghindari pemuda itu. Dia bilang, wajah Aru tampak murung ketika tak melihat diriku, dia juga berjalan dengan linglung. Apa peduliku, aku tak ingin mendengar penjelasannya. Bisa saja dia memanipulasi cerita yang akan dia jelaskan, bukan?

"Sialan, tak bisa lagi menggunakan arahan ini." Sampai di kosan hal yang kulakukan ialah menarik kertas panduan yang sempat aku dan Aru buat. Kemarin aku tak sempat melakukannya, sekarang melaksanakan hal semacam ini malah membuatku makin emosi. Entah sudah berapa banyak aku mengumpat selama dua hari ini karena tingkah pemuda itu.

"Cass, kamu ada di dalam?" Ketukan beserta suara seseorang membuatku yang masih sibuk merobek kertas meninggalkannya sejenak. Dengan penasaran kubuka pintu, mendapati salah seorang gadis sebelah kamarku.

"Ada apa?" tanyaku sembari tersenyum, berusaha menyembunyikan rasa kesal karena terganggu.

"Dipanggil Kak Rifael. Katanya penting."

Ya Tuhan, ujian apa lagi, ini?! Tak cukupkah kau membuatku uring-uringan selama dua hari?

"Makasih ya kak udah kasih tau."

Gadis itu hanya mengangguk, lalu pamit pergi. Awalnya aku berniat untuk mengabaikan panggilan tersebut karena aku yakin ini pasti tidak penting. Akan tetapi, bagian lain dalam diriku menginginkannya, berharap masih ada secuil kebenaran yang bisa kuambil dari Kak Rifael soal Gia.

Setelah memutuskan dan meyakinkan diri, kututup pintu dari luar, menuju area anak laki-laki. Langkahku lunglai selagi menuruni tangga, tak kupedulikan lagi sekitar. Hingga ketika melihat kak Rifael yang berdiri di depan pintu membuatku menghentikan langkah.

Padahal, sebelum keluar dari markas tadi, aku sudah meyakinkan diri dan bertekad akan meluruskan semuanya. Sialnya, begitu melihat wujud asli Kak Rifael, nyali yang sudah susah payah kukumpulkan lari kocar-kacir, membuatku ciut.

Tak lama Kak Rifael memandangku, wajahnya seketika berubah saat melihat aku yang hanya berdiri kaku.

"Hey! Kau kenapa, Cass?! Wajahmu pucat."

Teriakan paniknya mengembalikan kesadaranku. Dengan dahi berkerut aku membalas, "Masa, sih, Kak? Aku tak apa, kok."

Mendengar jawabanku, wajah pemuda yang sialnya tampan itu semakin panik. Dia menggenggam pergelangan tanganku kuat-kuat, menyeretku keluar.

"Kenapa gak bilang, sih, kalau sakit. Ayo ke dokter. Kamu harus segera diobati."

Aku panik, tiba-tiba diseret ketika kau sedang baik-baik saja tentu meninggalkan rasa kaget. Jadi, dengan sekuat tenaga kubantah ucapan kak Rifael, berujung pada penolakan tegas dari orang yang lebih tua dariku itu.

Ah, sudahlah, tak ada gunanya memberontak. Dengan begitu aku hanya diam saja ketika Kak Rifael, yang tiba-tiba pendiam menjadi cerewet seperti Bunda.

Meski begitu, sampai di klinik pun, aku masih berusaha meyakinkan pemuda ini bahwa aku 100% sehat. Sayang, Kak Rifael mengabaikanku dan berakhir harus menanggung malu kala dokter menyampaikan hal yang sama persis seperti yang keluar dari mulutku.

"Tuh, kan. Kan kubilang aku baik-baik saja, Kakak sih," protesku ketika kami sampai di depan Indekos. Kak Rifael hanya tertawaan canggung.

"Ya habis, kamu keliatan pucat, saya jadi cemas."

"Hah. Lupakan. Aku mau naik dulu."

"Ya sudah. Istirahat, ya. Dokter tadi bilang, kau kurang tidur, kan? Serahkan makan malamnya padaku."

Begitulah akhirnya. Dengan kekesalan memuncak akibat sikap keras kepala Kak Rifael serta sisa rasa malu akibat pergi periksa tanpa keluhan, aku masuk kamar.

Ah, sepertinya kesialanku belum berakhir, ya?

Bisa-bisanya aku meninggalkan banyak potongan kertas dalam ruangan yang jendelanya terbuka lebar. Habis sudah kamarku berantakan.

Aku mulai bergerak, memungut sobekan kertas ini sambil mengomeli diri sendiri. Setelah selesai berkeliling ruangan kecil ini sambil membungkuk bak nenek-nenek, rasa lelah datang.

Yah, berhubung Kak Rifael bilang dia yang akan masak makan malam, lebih baik aku tidur sekarang.

Kulemparkan diri ini ke kasur, membuat tubuh letihku dipeluk kelembutan. Beberapa saat menikmati hal ini, sesuatu terlintas di benakku.

"Oh iya! Tadi kan, aku turun untuk bicara dengan Kak Rifael!"

Batal sudah niatku untuk tidur. Ini lebih penting dari pada meladeni rasa lelahku. Buru-buru aku berlari turun, membuatku mendapat amarah dari penghuni lain.

"Kak Rifael! Kakak di mana?!"

"Jangan berisik, Cass. Kak Rifael tidak ada di sini. Katanya ada kerja kelompok dadakan, jadi dia langsung pergi selesai masak makan malam."

Ya Tuhan, betapa bodohnya hambamu ini.

Kehilangan petunjuk soal Gia, bertengkar dengan Aru, kamar berantakan, bahkan gagal mengorek informasi dari Kak Rifael. Sungguh malang nasibku.

Untunglah, di tengah semua ketidakberuntunganku, secercah harapan muncul. Ponselku berdering, menampilkan nama Aru di sana.

Awalnya aku ingin mengabaikan pemuda itu, toh aku masih kesal padanya. Akan tetapi, melihatnya menelepon sampai sepuluh kali pada akhirnya membuatku luluh.

Kutekan tombol hijau, lalu mendekatkan ponsel ke telinga. Suara napas yang terengah-engah menyambutku, membuat rasa penasaran muncul.

"Aru?" panggilku lirih.

Suara napas itu masih ada. Justru, suara balasan dari Aru yang kutunggu tunggulah yang tidak ada.

Rasa kesal langsung muncul ke permukaan. Sial, apa Aru mengerjaiku?

"Hei! Kalau kau menelepon hanya untuk membuatku mendengar suara napasmu yang menyebalkan itu, lebih baik kau enyah dari hadapanku.

"Ah, tidak! Jangan, Cass. Maaf, aku agak sulit bernapas karena memakai masker. Di sini sangat berdebu."

Aku mendengus, tak urung khawatir. Asma. Gia juga punya itu.

"Baiklah. Jadi?"

"Itu, Cass. Bisakah kau ke taman di dekat sekolah sekarang? Aku baru saja menemukan sesuatu yang berhubungan dengan temanmu."

Hah? Petunjuk? Apa maksudnya ini?

"Kau serius? Aku semakin tak akan memaafkanmu jika ini hanya jebakan."

"Tentu saja aku serius! Aku tak akan melakukan hal semacam itu, percayalah." Mendengar balasannya dilema tercipta dalam hati. Otak dan hati tak bertemu, mereka memilih jalan yang berbeda. Namun, hatiku lebih berat.

"Oke, aku ke sana. Tunggu di sana."

****

Limited You [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang