8. Mendekat

18 10 90
                                    

Kami terdiam sesaat, Kak Rifael memandangku lama sebelum tangannya beranjak ke kedua telinga, mencabut benda putih kecil yang rupanya menyumbat kedua daun telinganya.

"Ah, maaf. Kau ngomong apa tadi?" tanyanya kemudian, membuatku menggeleng.

"Tak ada apa-apa Kak, aku hanya bilang mau masuk duluan," ujarku, kemudian berlalu pergi. Terkutuklah mulutku, tak memikirkan resiko jika bertanya pada orang yang hubungannya tak baik. Untung saja dia tak mendengar pertanyaanku. Dengan lega aku segera masuk ke dalam rumah.

Setelah interaksi kami di pintu, sikap Kak Rifael menjadi aneh. Dia mulai mendekatiku. Entah ada angin apa, pemuda itu kerap kali bertanya macam-macam padaku. Tentang tahun kelahiran, makanan kesukaan, dan hal remeh-temeh lainnya. Merasa agak risih hanya menjadi pihak yang ditanya, akhirnya aku iseng bertanya kembali, dan dari cukup banyak pertanyaan yang kuajukan, hanya beberapa yang dirinya jawab.

Kak Rifael tak suka pedas, dia anak universitas ternama, lulusan dari SMA yang sama denganku serta beberapa pertanyaan remeh lainnya. Sempat beberapa kali aku hendak menanyakan perihal Gia, tetapi pemuda itu selalu terlihat sibuk ketika membahasnya.

Pada akhirnya malah tak mendapat hasil yang kuinginkan.

Memikirkan hal tersebut membuatku kembali mengembuskan napas gusar untuk yang kesekian kalinya. Hah, sudahlah. Lebih baik aku fokus pada makanan kantin hari ini. Entah perasaanku saja atau karena sekolah yang kutempati terlalu memperhatikan kebutuhan murid, hampir setiap hari menu yang disediakan terbuat dari berbagai jenis daging. Mengenyangkan, sih, tetapi saat siang para muridnya dapat dipastikan mengantuk akibat perut penuh. Untung muridnya memiliki kepintaran cukup di atas rata-rata.

Tak puas dengan menu, luas sekolah ini juga membuatku pusing. Selama seminggu tak terhitung berapa kali aku tersesat. Salah memilih gerbang untuk keluar dari sekolah, bahkan hampir memasuki ruangan kelas lain karena plang kelas yang cukup tinggi. Rasanya kalau diingat-ingat cukup memalukan.

Berbunyinya bel membuatku kembali mengeluarkan napas lantaran pelajaran olahraga kali ini dilakukan di gimnasium bagian selatan sekolah. Sebagai catatan, ada tiga gimnasium yang bisa digunakan, biasanya diacak untuk tiap kelas pada hari itu agar tak saling memperebutkan. Terlalu elit, ya? Aku juga berpikir demikian saat tahu pertama kali. Bangkit dari kursi kantin, aku berjalan cepat ke kelas. Pakaian olahragaku berada di dalam tas. Sisa waktu lima belas menit sebelum kelas dimulai, sedangkan sepuluh menit akan habis ketika berjalan ke gimnasium.

Hah, belum pelajaran dimulai saja tubuhku sudah lelah.

Hal pertama yang membuatku tercengang sampai di gimnasium adalah fakta bahwa permainan bola voli merupakan hal yang akan kami lakukan kali ini. Dengan setiap enam orang terbagi dalam satu grup, sang guru mengadakan pertandingan kecil-kecilan untuk mengasah kemampuan kami. Ah, yang benar saja, dibandingkan seluruh cabang olahraga lainnya aku paling tak bisa voli dan kenapa di antara enam peran, aku harus menjadi libero?Namun, meski hendak menolak, pandangan menyeramkan dari rekan satu grup membuat nyaliku ciut.

Sial, hanya karena tubuhku terlihat cocok untuk menjadi defender, mereka melimpahkan kewajiban paling penting padaku. Merasa tak ada pilihan lain, aku mengambil posisi siap dan berusaha menerima smash dari lawan sekaligus memberikannya pada tim. Namun, alih-alih menangkap smash, tubuhku kaku saat memandang bola yang melaju cepat tersebut. Berimbas pada mendaratnya bola di muka, bukan di tangan.

Telingaku mendengar bunyi kuat saat bola mengenai wajah, pandanganku seketika memudar dan segala suara yang kudengar benar-benar tak terdengar lagi.

****

Aku memandang gadis cilik yang berdiri di hadapanku. Sekarang kami sedang bergandengan tangan sembari berjalan pelan, melewati satu demi satu etalase toko yang menampilkan banyak benda-benda indah. Gadis itu sesekali menoleh padaku, wajahnya terlihat cukup cemas meski dia tersenyum cerah.

Aku hanya memperhatikan saja, lagi pula tak ada yang bisa kulakukan. Dengan pemikiran itu kami semakin menjauh dari bangunan yang memiliki gemerlap lampu tak terbatas dan juga desakan para manusia kanan-kiri.

"Gia, kau mau membawaku ke mana? Kita pulang aja, ya?" Pertanyaanku tak dibalas oleh gadis tersebut, membuatku menghentikan langkah hingga dia ikut tak bisa berjalan maju.

"Loh, Cassa kenapa kau diam di sini? Tujuan kita belum dekat." Dengan wajah polos Gia memandangku lekat, membuat mau tak mau kuhembuskan napas panjang.

"Kita pulang aja, ya. Lihat, di sini sepi, seram Gia." Aku tahu, bukan tipeku menjadi pengecut seperti ini, tetapi intuisi yang memaksa pergi membuatku menariknya menjauhi tempat tersebut.

Belum lama berucap demikian, seseorang datang menghampiri, dengan panik aku menarik Gia, kami berlari secepat yang kami bisa, tetapi seseorang itu lebih cepat dan saat dia menarik salah satu tangan Gia yang bebas, kami sudah benar-benar tak bisa kabur.

****

Silau kudapat ketika membuka mata, dengan rasa penasaran kutoleh arah kanan, mendapati seorang yang asing duduk di bangku dekat ranjang.

Kepalaku pening saat mengingat mimpi masa lalu yang kembali lagi. Kejadian lama yang hampir tak bisa kuingat jika mimpi tadi tak muncul.

Orang yang mengejar kami kala itu seorang anak kecil, kira-kira seusia kami. Dia menangis kencang karena kehilangan jejak orang tuanya. Gia yang tak tega membantunya mencari keberadaan orang tua anak itu dengan membawanya ke kantor polisi terdekat. Menunggu cukup lama, padahal kala itu hari sudah mulai sore orang tua sang anak lelaki datang dengan panik. Reuni terjadi di kantor polisi, berujung pada marahnya sang ibu karena anaknya tak mendengarkan perkataannya.

Merasa berterima kasih, mereka akhirnya mengantarkan kami pulang serta menjelaskan situasi kenapa kedua anak gadis yang masih belia pulang malam-malam. Meski di depannya Mama terlihat tenang, ketika tamu pulang aku tetap kena marah sih.

"Ah, sudah sadar rupanya. Kau tak apa?" tanyanya. Wajah seseorang itu masih kabur di penglihatanku, dan meski begitu mulutku tak bisa tak membalas ucapannya.

"Kau pikir sendiri apa masih baik-baik saja setelah muka terkena lemparan bola voli, itupun dilakukan secara keras pula." Mendengar balasanku sang lawan bicara malah tertawa kecil dan menyerahkan segelas teh hangat ketika penglihatanku tak lagi kabur.

"Minum dulu itu, pasti haus." Segera saja kulakukan sarannya, tenggorokanku memang kering sih sejak bangun tadi.

"Makasih," ujarku datar kemudian meletakkan gelas teh di nakas. Seseorang yang ternyata berjenis kelamin laki-laki itu hanya tersenyum saja.

Dia bangkit kemudian berjalan ke meja di dekat pintu masuk, menulis sesuatu di buku besar di atas meja.

Aku yang masih dalam posisi duduk memperhatikannya lama-lama, senyumnya membuatku kembali teringat pada anak kecil yang kami tolong dulu.

****

A/N
Perasaan Cat aja, atau gaya bahas Cat bener-bener berubah?/crei/

Limited You [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang