Hari kemudian berganti menjadi bulan, tak terasa sudah hampir setahun Gia meninggalkanku. Hidupku yang semula hanya berfokus pada surat balasan Gia, berangsur beralih kepada kegiatan tambahan sekolah.
Teater, kegiatan yang aku ikuti karena Gia mengatakan baru-baru ini menyukai bidang tersebut. Kendati ingin, karena fisiknya yang lemah dia tak bisa melakukannya. Meski tak ada kewajiban untuk melakukan segala hal yang gadis itu inginkan, hati kecillku memaksa, seakan dengan begitu aku akan merasa sedikit lebih dekat dengannya.
Seperti sore ini, di hari Jum'at kami para anggota akan berkumpul dan memulai kegiatan. Bermula pada pengaturan pernafasan, pengucapan vokal jelas dengan menggunakan suara perut, hingga adu dialog singkat antar anggota. Kuakui, walau tujuan awalnya untuk Gia, pada akhirnya aku jatuh hati pada bidang ini. Hanya di sini, aku bebas menjadi siapa pun, tak ada larangan. Bebas, tanpa melewati batasan. Kata-kata itu yang selalu ketua kami ucapkan setiap akan memulai kegiatan.
Akan tetapi, kali ini sorot mata ketua terlihat sangat berbeda, seakan ada suatu hal yang ingin ia sampaikan. "Kalian pasti tahu, kan, sebentar lagi kami akan melepas jabatan dan lulus," ujarnya tegas. "Dengan begitu, kalian tahu apa yang harus kalian lakukan?" pertanyaan di akhirnya membuat salah satu kakak tingkat kami membuka suaranya.
"Pertunjukan perpisahan, ya?" Anggukan dari sang ketua membuatku diam. Tak ada yang berani membuka suara, hingga tawa ketua membuat kami memandangnya lama.
"Oh, ayolah, jangan murung begini dong. Aku kan bukan mau pergi untuk selama-lamanya." Matanya membentuk bulan sabit saat tersenyum lebar. Ketua, gadis kelas tiga dengan sifat keras tetapi juga lembut. Dia menyesuaikan segala situasi dan selalu siap menjadi sandaran bagi anggota. Tak terbayang ketidakhadirannya di kegiatan ini tahun depan. Tak adanya pemecah suasana di antara kami, aku tak bisa membayangkannya.
Sepi melanda sekeliling, semua diam, hingga aku secara tak sadar angkat suara. "Memangnya, pertunjukan apa yang akan kita lakukan?" Mata Ketua memandangku lekat, senyum tipis terbit di wajahnya.
"Pertanyaan yang bagus," ucap ketua kemudian mulai menjelaskan rancangan pertunjukan.
****
Kau ingat kan aku mengikuti kegiatan tambahan teater? Kali ini, untuk melepas angkatan sebelumnya, kami akan mengadakan pertunjukan perpisahan untuk mereka. Pertunjukkannya dibuka buat umum, loh! Uang hasil pentasnya nanti buat disumbangkan ke panti.
Tapi, karena aku salah satu pemain, aku bisa mengamankan dua tiket. Niat awalnya mau kuberi ke Mama satu tiket dan satunya untukmu, tetapi karena Mama bilang ada urusan, jadi dua-duanya kukasih ke kamu aja. Kamu bisa ajak kakakmu, sekalian kenalkan padaku, ya hihi.
Mungkin segini saja surat dariku, di balik surat ini ada tiketnya, jangan lupa bawa ketika hari pentas, ya!
Kalau begitu, sampai jumpa ketika hari pentas!
Salam dariku yang menunggu kehadiranmu, Cassa.
Kulipat surat dengan senyum, kemudian menyelipkan dua kertas berwarna emas di baliknya. Aku tak sabar menunggu hari pentas, semoga tak ada masalah.
Surat terakhir dariku mendapat balasannya darinya. Isinya hanya tentang bagaimana dia menantikan pentas dan pasti akan datang ke sana bersama kakaknya. Oh, tidak, aku sangat senang sekarang.
"Cassandra! Tolong seriuslah!" bentakan dari arah depanku membuat lamunan yang hampir melayang jauh buyar. Pemuda yang menjadi sutradara dalam pentas ini mengerutkan keningnya. Dengan langkah sedikit lebar dia mendekat ke arahku. "Kita hanya punya beberapa hari lagi, bisakah kau menahan emosimu itu? Di sini kau diperintahkan untuk menjadi orang dengan wajah paling murung, bukan bahagia! Paham?"
Aku hanya diam, tak berani membalas, nyaliku ciut seketika.
"Sudah, Har. Jangan dibentak lagi, ya?" Suara ketua terdengar olehku. Gadis itu menepuk-nepuk bahu pemuda itu pelan. Kemudian menoleh ke arahku. "Kamu masih bisa lanjut, kan?"
"Y-ya, maaf membuat kegiatan terganggu." Ketua hanya tersenyum kemudian menoleh ke arah Sutradara.
Kulihat dia melirik kepadaku sebelum menghembuskan napas. "Ya, kita lanjutkan. Kuharap kau tak mengganggu lagi, Cassandra." Dan kegiatan latihan untuk pentas kembali dilanjutkan, dengan aku yang memfokuskan diri pada peran dan dialog, lupakan Gia, lupakan aku yang senang karena balasan suratnya. Sekarang, aku hanyalah seorang gadis yang paling menderita di dunia ini.
"Dia belum datang?" gumamku ketika tak melihat wajah orang yang kutunggu di depan gerbang. Padahal, jelas di suratnya Gia akan menunggu di depan gerbang sekolah. Namun, meski sudah dua puluh menit berdiri di sini, Gia tak datang juga. "Apa dia ada masalah ya, sampai tidak datang? Duh, jadi cemas." Ketika masih di sana, mataku tanpa sengaja melihat seorang pemuda yang tampak kebingungan. Berulang kali dia melihat kertas yang ada di tangannya, kemudian menoleh ke sekitar.
Apa dia tersesat? Dengan pemikiran itu aku melupakan tujuan awal dan mendekatinya.
"Permisi, apa Kakak tersesat?" Pertanyaan langsung ke intinya yang tampaknya membuat pemuda itu sedikit kaget, terlihat jelas dari wajahnya.
"Ah, ya. Adikku menyuruh langsung ke auditorium sekolah ini, tetapi melihat peta yang disediakan tak jauh dari sini malah membuatku makin bingung," ucapnya sembari menunjukkan pamflet peta sekolah.
Ah, pantas saja. Ini pamfletnya seharusnya sudah diganti.
"Kakak mau ke Audit buat nonton pertunjukan, kan? Barengan saya saja. Kebetulan saya mau ke sana." Ya, tampaknya tak apa-apa kalau aku menuntun kakak ini dulu baru kembali ke sini sebelum pentas, semoga saja Gia sudah ada ketika aku kembali.
Kami berjalan beriringan kemudian, tak ada yang berniat angkat suara bahkan sampai aku menunjukkan ruangan dan stan menyerahkan tiketnya.
Bangku nomor 23, sekilas aku melihat angka tersebut di tiket sang pemuda, nomornya terasa tak asing, tetapi karena waktuku tak lama sebelum pertunjukan segera saja kupacu kaki berlari ke arah gerbang, hanya untuk mendapati tak adanya Gia di sana. Tampaknya, dia benar-benar tak datang hari ini. Dengan sedikit sakit di hati, aku berjalan lunglai ke belakang audit, saatnya merias diri.
Selesai mengubah penampilan, aku dengan penasaran mengintip dari balik tirai yang diletakkan di dekat tembok panggung auditorium. Kursi hampir terisi penuh, berbagai macam keributan terbit di sana, bahkan ada seseorang yang membawa anaknya ke acara ini.
Kukepalkan tangan kuat. Bagaimana kalau aku tak bisa menampilkan hal yang memuaskan? Bagaimana kalau aku membuat kesalahan? Bagaimana ....
"Cassandra." Suara seseorang membuatku menoleh, ketua berdiri di belakang dengan senyum cerah. "Tak apa, lakukan saja seperti biasa." Kata-kata terdengar biasa saja, tetapi jauh di lubuk hati, aku tenang mendengarnya.
"Terima kasih, Kak." Bersamaan dengan ucapanku tirai dinaikkan, sudah saatnya pertunjukan dimulai, tetapi belum lama acara berlangsung, keributan terjadi di bangku penonton. Aku yang sedang dalam posisi diam memandang bangku lamat. Pemuda yang kutuntun tadi keluar dari ruangan dengan tergesa.
Ada apa, ya?
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Limited You [✓]
Teen FictionTak datangnya surat yang selalu ia nantikan, membuat Cassandra kalang kabut, penuh dengan pemikiran aneh. Dia selalu mengirim surat ke alamat yang sama, selama dua tahun, untuk memenuhi janjinya. Merasa ada yang ganjil, Cassandra memutuskan untuk da...