"Halo, ini siapa?"
Aku hendak protes sambil merebut ponselku, tetapi Aru lebih dulu melarang lewat sorot matanya. Pada akhirnya, kuputuskan untuk mengalah, tetapi meminta pacar gadunganku untuk me-loudspeaker telepon.
"Halo? Salah sambung, kah? Kalau iya saya tut-,"
"Cassandra?"
Aru tersenyum miring. Perasaanku tak enak melihatnya.
"Cassandra? Maaf, kau ada urusan apa, ya, dengan pacarku?"
Nah, kan! Dengan batin penuh rasa kesal, kupukul lengannya. Kulihat wajahnya cukup meringis, tetapi apa peduliku. Dia sangat mengesalkan.
"Bukan urusanmu. Di mana dia?" Suara Kak Rifael terdengar sangat tajam. Ah, pasti saat pulang nanti dia akan meledak lagi. Tolong selamatkan jantungku.
"Bukan urusanmu? Tentu saja itu urusanku. Dia kan pacarku, bagaimana mungkin aku tak boleh tau pemuda siapa yang dengan tak sopannya menelpon dia ketika sedang bersama pacarnya?" Setelah itu bunyi panggilan ditutup secara sepihak terdengar. Aku memandang Aru tajam ketika pemuda itu mengembalikan ponselku.
"Hah, lihat sekarang. Bagaimana bisa kita menyelidiki dia kalau kamu bertingkah begitu?" keluhku. Aru hanya diam, tak membalas ucapanku bahkan sampai aku keluar dari atap.
Perasaanku tak pernah salah ketika membahas tentang pemuda yang satu angkatan denganku itu. Aru, berdiri di depan gerbang. Dengan wajah polos dia melambai padaku, tangannya kemudian mengisyaratkan agar aku mendekat. Namun, buat apa aku melakukan yang dia inginkan? Dengan pemikiran begitu aku segera balik badan. Maaf-maaf saja, lebih baik pulang sendiri daripada bersama pemuda itu.
"Eh, Cass!" Samar aku masih mendengar suara Aru, tetapi aku memilih pura-pura tak mendengarkan. Membuat alasan, kupakai earphone di kedua telinga, tetap berjalan cepat tanpa menoleh.
Setelah cukup lama berjalan, langkahku terhenti di depan pintu perpus. Bangunan luas yang sepi peminat itu masih membuka pintunya. Ah, kalau diingat-ingat Gia termasuk suka suasana perpustakaan. Dengan pemikiran itu aku membuka pintunya. Bau buku yang kuperkirakan sudah berumur dan sepinya ruangan membuatku membuang napas panjang.
Padahal aku bukan orang yang suka ke perpustakaan, tetapi ketika mengingatnya malah tanpa pikir panjang masuk. Merasakan pandangan aku menoleh ke samping kanan, seorang siswa perempuan melihatku dari balik kacamata kotaknya. Merasa berbicara akan membuat keributan, aku hanya memberi salam melalui isyarat saja.
"Perpustakaan sekolah akan ditutup sebentar lagi. Saya harap saudari bisa keluar sebelum tutup, terima kasih." Nadanya terdengar sangat tak suka, tetapi biarlah. Aku hanya akan menjelajah sebentar sebelum keluar dari sini. Lagi pula Aru sudah hilang keberadaannya.
Kulangkahkan kaki ke setiap rak, melihat judul demi judul buku yang tak kupahami. Mataku tanpa sadar terpatok pada satu buku di sudut rak. Terhimpit di antara buku lainnya dan terlihat dalam kondisi tak terlalu baik.
Buku filsafat umum. Hal yang tampaknya kurang normal di perpustakaan SMA. Namun, bukan hal itu yang membuatku tertarik menariknya. Buku itu serupa dengan buku yang sempat Gia dan aku beli secara iseng. Aku tahu kalau buku satu ini tak hanya ada satu, terapi sedikit koyakan di atas sampul dan lipatan cover membuatku tak bisa menyangkal kemungkinan buku ini disumbangkan.
Kubuka sampul pertama, hal tepat yang membuatku makin yakin ini buku milik Gia. Gadis itu selalu memiliki cara unik untuk memberi tanda pada bukunya. Dimulai dari inisial G dan tanggal hari itu, bulan dan berujung pada tahun. Semuanya ditulis dalam satu baris dan ada hiasan bunga kecil di sampingnya. Khas Gia sekali.
Tanpa banyak pertimbangan aku mengambil buku itu, menyerahkan pada penjaga perpus. Meski tatapannya tetap tak suka ketika mencatat nama dan kelasku, pada akhirnya aku pulang membawa buku Gia.
"Nah, sekarang liat dulu aja buku yang tadi." Usai membersihkan diri dan makan malam, aku duduk di atas kasur. Meski sempat teringat pada pandangan tajam Kak Rifael kala makan malam, aku segera menghilangkannya. Tak penting, dia tak penting. Sekarang, lebih penting buku Gia. Batinku meyakinkan diri.
Dengan begitu aku aku segera membuka bukunya. Baru membaca beberapa baris saja rasanya kepalaku sudah pecah. Belajar pelajaran sekolah saja sudah terasa berat, apa lagi membaca buku semacam ini. Dengan begitu aku menutup buku, bangkit dan hendak meletakkannya di tas ketika rasa nyeri teramat sangat menghantam jemari kaki. Merasa tak puas, buku ikut terjatuh menimpa jemari lainnya, membuat tak hanya jari kelingking kaki, tetapi hampir semuanya merasakan nyeri.
Ah, sialnya aku! Dengan begitu aku berjongkok, mengelus kelima jemari kaki sebelah kanan. Fokusku masih berada di sana sampai tanpa sengaja netra melirik pada buku. Sebuah kertas menyembul dari sela buku. Merasakan sesuatu hal mendesak, kuabaikan rasa nyeri dan meraih kertas.
Tulisan tangan yang terasa tak asing ada di sana. Ada beberapa coretan, isinya terdengar hampir sama dengan surat yang kuterima waktu itu. Aku bangkit, segera membuka lemari, mencari keberadaan kotak yang kusembunyikan di balik pakaian.
"Ah, kuncinya," gumamku kemudian berjalan tertatih ke arah kasur. Kalung berbentuk kunci ada di dekat bantal, kunci yang selalu kupakai setiap saat. Kunci yang sama seperti kotak yang Gia punya.
Hal yang kudapat ketika membuka kotak adalah berbagai banyaknya kertas yang tertumpuk. Tak ada satupun surat dari Gia kubuang, semuanya ada dalam kotak. Rapi, tak lecet satupun.
Duduk kembali di kasur, kukeluarkan satu-satu kertas berbagai warna. Menyusunnya setelah melihat tanggal dan isi awal surat. Mataku terhenti saat membaca surat berwarna biru, surat yang isinya hampir sama dengan lembaran di balik buku filsafat.
Namun, ketika dibandingkan ada yang berbeda. Pada bait terakhir, yang tercoret sehingga agak sulit membacanya, ada kata-kata tentang seseorang yang ingin ikut dengan dirinya.
"Tala? Siapa?" Setelah cukup lama melotot pada kertas, hanya kata itulah yang bisa kutangkap tentang nama oknum ketiga. Memeras otak, kemudian memeriksa kembali surat lainnya, pada akhirnya aku tak mendapatkan apa pun tentang nama Tala. Petunjuk baru, yang malah membuat makin runyam. Memikirkan kemungkinan itu aku malah menghela napas lelah.
"Hei, Cass. Kau masih mau mengabaikanku?" Suara pemuda di sampingku terdengar memelas. Aku tetap tak merespon dan menyantap mie ayam yang baru saja kupesan. Jarang-jarang kantin mengeluarkan menu semacam ini, dengan pemikiran itu aku sudah menghabiskan satu porsi mie ayam sebelumnya.
"Aku minta maaf deh. Maaf, ya?" Aru masih tak menyerah, dia tetap mendesakku dengan permintaan maaf. Ketika mie ayam keduaku habis, kutoleh dirinya. Senyumnya terkembang saat melihatku.
"Kau, tau bagaimana suasana indekos gara-gara iseng pada kak Fael?" tanyaku kemudian. Aru menggeleng, membuatku geram berujung memukul kepala depannya. "Dingin banget tau! Tak terhitung berapa kali dia memandang tajam ke arahku. Semuanya gara-gara kamu iseng, sih!" Tak tercegah, beberapa kali aku memukul lengannya, Aru terlihat pasrah, membuatku makin kebablasan.
"A-ampun. Nggak lagi begitu, deh," baru setelah cukup lama Aru mengangkat suaranya. Membuatku menghentikan aksi.
"Awas aja begitu lagi. Habis kau," ancamku kemudian. Aru hanya tertawa saja.
Tala, Ta ... la. Arutala? Ah, tidak, dasar pemikiran gila.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Limited You [✓]
Teen FictionTak datangnya surat yang selalu ia nantikan, membuat Cassandra kalang kabut, penuh dengan pemikiran aneh. Dia selalu mengirim surat ke alamat yang sama, selama dua tahun, untuk memenuhi janjinya. Merasa ada yang ganjil, Cassandra memutuskan untuk da...