"Cassa. Panggilin Kak Fael dong. Suruh dia makan." Aku yang baru pulang dan duduk di bangku segera mendapatkan misi baru. Dengan rasa sedikit malas aku pun berdiri, berjalan pelan menuju kamar pemuda tersebut.
Mengetuk kosen pintu pelan, aku tak mendapati jawaban apa pun.
"Kak, Kakak di dalam, kan? Dipanggil Kak Nia buat makan." Masih tak ada respon dari dalam membuatku sedikit kesal. "Kak Rifael, aku-" belum sempat aku melanjutkan ucapan tanganku yang sejak semula berada di kenop pintu turun ke bawah. Pintu terbuka sedikit, ternyata tak terkunci. Aku hendak kembali berkata saat melihat foto di balik badan kak Rifael.
Darah seakan-akan hilang dari tubuh. Aku memandang nyalang foto itu. Gadis manis yang rambutnya diikat dua. Jepitan bunga biru ada di salah satu sisi kepala, dia tersenyum cerah dengan latar pohon.
Gia, sahabat yang kucari.
Tak menunggu lama kuedarkan pandangan, beberapa foto lain yang ada di sana. Wallpaper kamar tak seperti kamar pemuda pada umumnya. Apa-apaan ini?
"Cassa?" Wajah Kak Rifael keruh, dia berjalan mendekat, berusaha memangkas jarak denganku yang ada di pintu. Ketika tangannya hampir mengenai pundakku, aku mundur seketika.
"Apa maksudnya ini!" Suaraku nyaring kala berucap. Mataku perih, akibat terlalu lama melotot tanpa berkedip.
"Ini tidak seperti yang kau du-"
"Apanya yang nggak! Jelas-jelas itu wajah Gia! Kenapa kamar kakak penuh dengan fotonya!" Aku tak peduli jika orang indekos datang, yang kuperhatikan sekarang adalah rasa kecewa dan kebingungan yang amat besar.
"Aku-"
"Apa?!"
"AKU KAKAKNYA GIA! PAHAM?!"
Mendengar teriakannya membuatku membeku. Kupandang wajahnya lama. Hampir seluruh muka berubah warna menjadi merah, alisnya berkerut dengan mata yang sedikit berair. Ah, kenapa dia sangat terlihat tak ingin disalahpahami?
"Apa?" Namun, bukan itu yang membuatku kaku. Pada perkataannya lah aku tak bisa berpikir lebih jauh. Kakak Gia? Kenapa? Bukankah katanya mereka pindah? Pemikiranku berputar tanpa bisa dicegah, aku tak ingin tak mempercayainya, tetapi rasa sangsi masih membekas di hati.
Menarik napas panjang, aku memejamkan mata kemudian. Kubuang dan kutarik lagi, sembari memejamkan mata tak lama membukanya. Wajah Kak Rifael masih sama, memerah karena habis berteriak.
"Keluar, Kak. Makan."
Pada akhirnya, hanya kalimat itu yang keluar, mengiringi langkah kakiku yang menjauh. Tujuanku saat ini adalah kamar. Masa bodo dengan makan, untuk saat ini aku harus menenangkan diri dulu agar penghuni lainnya tidak heboh.
Sayang, bukannya membaik, perasaanku malah semakin kacau karena tumpukan kertas yang tergeletak di atas meja belajar. Penuh dengan hal-hal penting perihal Gia dab Aru. Kertas yang sangat tak ingin aku lihat sekarang. Dengan begitu kuambil semua kertas, menggumpalnya menjadi lingkaran kemudian dilempar ke kotak sampah dalam kamar.
Aku ... lelah. Terombang-ambing oleh fakta yang kemudian membantah fakta lainnya. Tak ada ujung benang merah dalam masalah, dan seakan takdir tak ingin aku tahu, benang itu makin kusut karena hal baru lainnya. Lantas, apa aku harus menyerah saja? Tak perlu lagi mencari keberadaan Gia dan memilih menjalani kehidupan SMA yang normal. Penuh warna, dan canda. Pada akhirnya pemikiran itu membuatku terlelap, lari dari kenyataan yang terlihat tak pernah adil pada insan lemah bernamakan manusia.
Jika kenyataan tak pernah bersikap adil, untuk apa manusia hidup?
Saat mataku terbuka, seisi kamar gelap gulita. Kupandang jendela lama, sebelum beralih pada jam di dinding. Ah, sudah mau jam makan malam. Perasaanku masih tak sudi turun, tetapi ketika perut berbunyi keras baru kusadari tadi siang melewatkan makan. Jadi, dengan setengah malas aku bangkit, berjalan menuju lemari dan mengeluarkan kardigan hitam. Berharap dengan begitu udara dingin yang sejak tadi kurasakan dapat terhalau dengan benar.
Baru saja turun dari tangga perawakan pemuda yang ingin kuhindari tengah berdiri di depan pintu masuk. Membuatku ingin segera berdiri di hadapannya dan melayangkan pukulan bertubi. Aku yakin dia orang yang menyebabkan Gia pindah-spekulasi yang kukumpulkan setelah melihat isi kamarnya.
Mari abaikan dia saja, gumamku kemudian berlalu seperti tak melihat pemuda itu. Nahas, belum juga jauh dari pintu langkahku terhenti oleh tarikan tangan.
"Lepas." Kulirik pelaku dengan pandangan paling tajam yang kupunya. Berharap dia akan ciut.
Akan tetapi, alih-alih ciut, dia malah makin kuat menggenggam tanganku. "Masalah tadi, biar aku jelaskan," ujarnya dengan suara rendah. Kenapa pula harus berbisik? Ah, pasti dia tak ingin dipandang menjijikkan oleh anggota indekos lainnya.
"Nggak perlu, udah paham." Sembari mengatakan itu aku berusaha menghempaskan tangannya, tetapi malah harus meringis karena dia semakin kuat saja. "Lepas, sakit," cicitku kemudian, membuat pemuda itu melirik pada tanganku sebelum melepaskannya.
"Aku-"
"Sudah diamlah." Dengan begitu aku berlalu pergi, tak menoleh pada Kak Rifael.
Situasi tak segera berubah. Kak Rifael malah menghindariku keesokan harinya. Yah, aku malah lebih setuju jika dia begitu, sih. Aku pribadi masih tak bisa menata pikiran, rasa terkejut masih lebih mendominasi akal sehat. Jadi, selama hampir tiga hari kami selalu menghindari satu sama lain.
"Kamu itu ada masalah apa sih sama Kak Rifael?" Tanganku yang sedang mengupas kentang terhenti kala mendengar Kak Nia bertanya.
"Kakak ngomong apa sih? Aku nggak ada masalah apa-apa sama dia, kok," sangkalku kemudian melanjutkan kegiatan sebelumnya. Jelas Kak Nia menghela napas ketika mendengar jawabanku. Ah, apa kami terlalu terlihat ada masalah?
"Nggak mungkin sih kalian baik-baik aja. Buktinya baik kamu atau Kak Rifael sama-sama menghindar. Kemarin aja saat merayakan ulang tahun Cia kamu lebih memilih berdiri dibandingkan duduk di samping Kak Fael."
Mampus, Kak Nia terlalu teliti. Aku memutar otak, berusaha menghindar dari interogasi mendadak Kak Nia.
"Ah, kemarin? Aku capek duduk, Kak. Makanya pilih berdiri aja."
"Bohong, kan siangnya kamu mengeluh capek berdiri mulu." Skamat. Kak Nia ingat sampai percakapan kami di siang harinya.
"Jadi, ada masalah apa di antara kalian?" Kak Nia kembali bertanya, membuatku terdiam cukup lama.
"Maaf, Kak. Ini urusan pribadi, aku tak bisa mengatakannya," putusku tak ingin percakapan ini kembali berlanjut. Sudah cukup aku pusing karena fakta, jangan lagi harus diinterogasi semacam ini.
"Yah, aku tak bisa membantu kalau kamu tak ingin dibahas. Tapi kuharap kalian cepat akur, kasian penghuni lain terlihat cukup risih dengan masalah kalian." Ucapannya yang terdengar cukup pedas hanya membuatku mengangguk. Yah, kutahu niat Kak Nia tak buruk, sih.
Ketika hendak naik ke atas mataku tak sengaja bertemu pandang dengan Kak Rifael. Pemuda itu berdiri di luar dapur.
"Aku ingin berbicara denganmu lima menit saja, bisa?"
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Limited You [✓]
Teen FictionTak datangnya surat yang selalu ia nantikan, membuat Cassandra kalang kabut, penuh dengan pemikiran aneh. Dia selalu mengirim surat ke alamat yang sama, selama dua tahun, untuk memenuhi janjinya. Merasa ada yang ganjil, Cassandra memutuskan untuk da...