16. Pembunuh

13 4 18
                                    

Berdiri berdua di belakang indekos aku memainkan kaki selagi menunggu Kak Rifael membuka suara. Suasana menjelang malam yang tenang tak jua membuatku damai sedikit pun. Yang ada rasanya rongga dada ingin keluar dari tubuh.

Kemudian, Kulirik pemuda yang lebih tua dariku. Ekspresi wajahnya terlihat aneh. Entah apa yang ingin dia ceritakan, aku penasaran setengah mati. Namun, melihatnya yang tampak sukar mengeluarkan suara-terbukti dengan beberapa kali dia membersihkan tenggorokan-aku hanya bisa kembali diam.

"Jadi, Kakak mau ngomongin apa sampai narik tanganku tadi?" tanyaku ketika sudah mulai bosan menunggu.

"Itu ... ini ada kaitannya dengan aku yang tak setuju kamu dekat dengan pemuda itu."

"Ya, apa?"

"Dia pembunuh." Pada ucapan Kak Rifael aku terdiam sebelum tertawa.

"Hei, aku serius."

"Kakak ... nggak sedang main-main?"

"Sejak awak aku memang tak main-main."

"Nggak. Aru bukan orang kek gitu, Kakak nggak boleh menuduh Aru sembarangan."

Ketika kalimat itu kulontarkan, ekspresi Kak Rifael berubah dari ragu menjadi emosi. Tangan kanannya menarik milikku agak kasar seraya berseru, "Aku serius!"

Kaget, aku terdiam mendengar ucapannya. Namun, itu tak berlangsung lama hingga aku kembali membalas. "Kalau memang itu faktanya, Kakak ada buktinya? Nggak ada, kan?"

Tanganku yang masih dipegang dia naikkan ke atas, mata kami saling bertemu sebelum dia membuka mulutnya. "ORANG YANG PENTING BAGIKU MATI KARENANYA!" semburnya dengan suara keras.

Ah, dia hampir menangis. Batinku sembari memandang ujung mata Kak Rifael. Ada cairan bening di sana, membuatku tak tega untuk balas membentaknya.

"Kakak yakin?"

"Aku sangat yakin," jawabnya mantap. Sebenarnya, aku tak yakin dengan ucapannya tapi mari sedikit mengalah.

"Kalau memang begitu, bisa jelaskan kejadian lengkapnya?" Mendengar ucapanku Kak Rifael diam.

"Aku ... tak tahu cerita aslinya. Yang pasti, dia jatuh ketika Aru ada di lokasi kejadian."

Oke, ini berarti, belum tentu Aru yang mendorong, kan? Bisa saja Aru terseret ke dalam lokasi kejadian. Sembari berpikir demikian aku cukup kebingungan menyampaikan maksud hati.

"Hm, semisal ternyata Aru hanya—"

"Tidak. Aku yakin dia yang melakukannya. Orang itu tidak akan pernah ... dia tak akan pernah meninggalkanku seperti itu."

"Dia? Siapa yang kakak maksud?"

Apakah pertanyaanku terlalu mengejutkan, sampai Kak Rifael yang sebelumnya masih memegang tanganku segera melepaskannya.

"Dia ... orang yang paling kusayang. Satu-satunya keluarga yang kumiliki." Jawaban samar kembali pemuda itu berikan. Jujur saja, aku sedikit bosan mendengarnya.

"Ya, namanya siapa, kak?"

"Na ... ma?" Pada pertanyaannya aku menganggukkan kepala. Kak Rifael diam, tampaknya terlalu enggan sakadar mengatakan nama orang tersebut.

Kuembuskan napas, sudahlah. Tak ada gunanya memaksa. "Tak usah disebutkan, Kak. Namun, sebagai gantinya aku ada penawaran."

"Penawaran?" Kuanggukkan kepala, netraku memandang lurus ke arah Kak Rifael.

"Kita selidiki kasus ini, sekalian membuktikan apakah benar Aru yang melakukannya atau tidak."

Jujur saja, Kak Rifael tak setuju pada penawaranku. Pemuda itu menolak keras sebelum pergi meninggalkan aku yang masih di belakang indekos. Namun, entah kenapa ketika jam makan malam selesai, seperti angin yang berubah arah dia mensetujui ajakanku.

"Kenapa tiba-tiba berubah pikiran?" tanyaku sembari memandang kak Rifael yang berdiri di hadapan.

"Aku hanya ingin mencari kebenaran."

"Ah, okeh. Namun, ada yang kurang." Pada ucapanku Kak Rifael menatap mataku. "Apa yang terjadi saat kejadian, kapan kejadian itu berlangsung, kapan korban di temukan serta di mana lokasinya."

"Aku hanya bisa memberitahu satu hal," ucap Kak Rifael tegas. "Lokasinya berada di atap SMP yang satu yayasan denganmu."

Kebetulan macam apa ini? Gia juga kan berada di sekolah itu? Apa mungkin adik yang dimaksud Kak Rifael itu ... Gia? Ah, tidak. Sungguh, kenapa aku bisa berpikiran seperti itu? Orang yang berada di sekolah tersebut dan punya kakak kan bukan hanya Gia.

"Jadi, Kakak ada ide bagaimana cara menyelidiki masalah ini?" Kulihat Kak Rifael memandangku lama.

"Lah, kan kamu yang mengajak, seharusnya punya rencana, dong?" Ah, sial. Aku mau menceburkan diri ke palung mariana saja rasanya.

"Itu ... kita bisa menyelidiki dari orang terdekat Aru saja. Bagaimana?"

"Boleh. Tapi, siapa yang kau maksudkan? Orang tuanya?" Aku menggeleng. Membuat Kak Rifael bingung.

"Teman-temannya. Seharusnya mereka yang paling dekat selama di sekolah. Dan karena kejadiannya ada di lingkungan sekolah, tampaknya lebih baik menanyakan pada mereka."

"Oh, boleh. Tapi bagaimana kita menghubungi mereka tanpa menimbulkan kecurigaan bagi Aru?"

"Tenang saja, aku punya rencana."

"Rencana?" tanya Kak Rifael.

Aku mengangguk. sejujurnya, aku tak punya rencana. Tapi biarlah, aku akan memikirkannya malam ini.

Dan, yah. Aku menyesali kata-kata terakhirku malam itu. Sampai siang ini, aku sama sekali tak punya ide. Mengacak rambutku yang dibiarkan tergerai rasa pusing kembali datang.

Ah, Sudahlah, dari pada pusing memikirkannya, lebih baik aku beli makan siang. Mengikuti pemikiran itulah aku berjalan cepat ke arah kantin, berharap masih mendapat sisa menu yang belum diserang siswa lain.

Nahas, sepertinya aku terlalu banyak pikiran sampai-sampai menabrak seorang gadis dari kelas sebelah.

"Kau baik-baik saja?" Pada pertanyaanku sang gadis hanya membalas dengan anggukan. Dia berlalu begitu saja, meski sempat melirik padaku.

Perasanku saja, atau wajahnya tak terlalu asing? Tapi, aku melihatnya di mana, ya?

Pemikiran itu masih ada bahkan sampai pertengahan jam pelajaran. Karena sudah tak tahan, aku membuka ponsel setelah menutupinya dengan buku. Untunglah posisi dudukku sedikit di belakang, jadi guru yang sedang sibuk menjelaskan materi tak menyadari perubahan perilaku salah satu muridnya ini.

Tak butuh waktu lama bagi jemari untuk menggulingkan layar, menyelam dari satu foto ke foto lain. Mataku kemudian tanpa sengaja memandang satu foto. Meski hanya setengah wajahnya yang terlihat, aku bisa memastikan itu orang yang sama dengan yang kutabrak tadi.

"... Ndara." Eh, bagaimana ini, aku tak tau dia kelas berapa sekarang. A? B? C?

"Cassandra Anastasia Putri!" Teriakan tersebut membuatku sontak menaikkan pandangan. Seorang wanita sekitaran usia 30 tahun berdiri sembari masih memegang spidol di tangan kanannya. "Kamu. Maju dan selesaikan soal ini." Tunjuknya kemudian pada soal matematika yang tak aku pahami. Bagaimana ini? Aku sudah tak memperhatikan penjelasannya dari materi ini. X nggak tahu cara ketemu Y? Kan mudah, kenapa nggak jalan sendiri. Tolong, siapa pun. Mau guru, murid, atau orang tua. Selamatkan aku.

Sayang beribu sayang, meski aku bisa masuk ke sekolah ini, tetapi tak bisanya menjawab soal mudah semacam itu membuatku harus mengerjakan pekerjaan rumah dua kali lipat daripada yang lain. Kuhembuskan napas lelah. Yah, masa bodo sih, sekarang aku ingin ke perpustakaan SMP Gia dan kembali melihat album tersebut.

****

Limited You [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang