28. Ending

18 5 16
                                    

Sudah berapa lama waktu berlalu? Usai pengakuan Aru di atap, kondisi Kak Rifael dan Aru sudah mulai membaik walau canggung. Aku sebisa mungkin membuat mereka saling interaksi. Walau kadang, rasanya sakit ketika ingat bahwa kami menanggung luka yang sama, terkadang aku tetap meledak saat emosi menguasai. Bukan maksudku melampiaskan segala emosi kepada mereka, aku hanya sedikit berbuat egois, memberi pelajaran pada mereka yang menyembunyikan kebenaran.

Katakan aku jahat, aku manusia, bisa menyimpan amarah. Aku bukan malaikat, apalagi Tuhan yang bisa memaafkan mereka tanpa pamrih. Ya, kita makhluk lemah, penuh cela dan salah. Tak sebaiknya tetap berselisih, bukan? Dengan itulah aku selalu berusaha ada bagi dua makhluk itu, berharap, suatu saat mereka akan benar-benar sembuh dan bisa bertukar kata dengan sewajarnya. Yah, kuharap mereka demikian.

"Kau tak apa?" Sembari menyerahkan  kipas tangan Aru berkata demikian. Aku mengangguk, walau peluh sedikit mengenai dahi, aku baik-baik saja.

"Tak apa, aku tahan, kok."

"Benar? Sampai ada keringat gitu. Padahal di sini biasa aja, lah kamu?" Aku tersenyum sekilas pada ucapannya. Sebenarnya, rasa kesal cukup membuatku menahan godaan untuk menyentil jidat lebar itu. Namun, apalah daya, fokus lebih teralih pada kondisi yang seharusnya tak panas. 

Ah, sial. Tahu kalau tempatnya akan ramai aku tak akan memakai pakaian cukup tebal seperti ini. Yah, awalnya, kukira karena hujan turun dari semalam aku akan memakai pakaian lebih tebal agar tak kedinginan, buktinya malah terbalik. Tak lama, kala aku masih menahan rasa gerah dan jengkel petinggi sekolah naik ke podium, dia menyampaikan kata-kata pembuka yang cukup lama, membuatku menahan diri untuk segera bangkit dan pergi dari gedung.

Sekitar tiga puluh menit terjebak dalam bangunan dengan banyak murid kelas dua belas ketika keluar hal yang kupikirkan hanyalah segera ke kantin dan membeli minuman dingin.

Berusaha melalui banyak orang karena tampaknya mereka juga butuh asupan air. Aru, yang tak kuduga masih ada di belakangku ikut memesan minuman dengan mudahnya, berbanding terbalik denganku yang harus menyempil setiap barisan. Aku melirik padanya, pemuda itu yang melihat tindakanku hanya nyengir kuda.

"Lain kali kalau ikut bilang-bilang, kan bisa nitip. Nggak perlu desak-desakan kek tadi," ketusku kemudian berlalu. Kudengar Aru tertawa, tak butuh waktu lama baginya untuk menyusul langkah kecilku.

"Maaf, maaf. Habis lucu melihatmu nyempil kayak tadi." Huh! Ginjalnya minta disentil.

Tak mendapati balasan dariku, Aru panik. Dia berusaha menjelaskan lagi, dan lagi. Ah, menyebalkan. Pemuda ini bernapas saja suka membuat orang kesal.

Pulang ke indekos, kulihat Ayah duduk di sofa, pria yang menjadi cinta pertamaku sedang bercengkrama dengan salah satu penghuni indekos dan Tante Rianti. Tanpa banyak bicara, aku duduk dekat dengannya, diam sembari memperhatikan percakapan mereka.

Hampir genap tiga tahun dan Ayahku berubah dari memori yang kulihat ketika liburan kenaikan kelas tiga kemarin. Kerutan di ujung matanya bertambah, begitupun dengan ujung bibirnya. Kulit tangannya yang bergerak sedari tadi terlihat kasar. Bahunya, sedikit bungkuk, bukti usia mulai menggerogoti tubuhnya. Ah, pria ini, orang yang merelakan anaknya pergi merantau, orang hebat yang berjuang bagi keluarganya. Maaf karena tak pernah bisa mengatakan tujuan awal aku ke sini.

Tante Rianti menyadari keberadaanku tak lama kemudian mengatakannya kepada Ayah. Pria itu segera menoleh, senyum terpatri di wajahnya. Aku membalas senyum darinya, rasa senang dan sedikit bersalah bersarang di hatiku.

Kusalimi tangannya, terasa kepalaku dielus pelan. Ah, tidak, tahan Cassa, tahan air matamu.

"Dari kapan ayah di sini?" tanyaku saat selesai menyaliminya. Pria itu masih tersenyum.

Limited You [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang