12. Gudang

5 4 4
                                    

Dua hari setelahnya, ketukan di pintu membuatku yang masih setengah kantuk dan misuh berjalan membukanya. Hari ini sedang libur sekolah karena tanggal merah, tetapi seseorang dengan beraninya mengetuk pintu orang lain.

"Siapa?" Saat bertanya aku masih mengucek mata, baru setelah sekian detik kunaikkan pandangan, melihat seorang gadis yang cukup tinggi dariku.

"Ah, aku membangunkanmu ya, Cass? Maaf." Kak Nia memandangku lekat. Senyumnya sedikit berbeda dari biasanya, tanda kalau sedang tak enak hati yang baru kusadari beberapa hari yang lalu.

Kugelengkan kepala, rasanya tak enak hati kalau menunjukkan perasaanku yang sebenarnya saat ini. "Tak apa, Kak. Ada apa ya pagi-pagi ke kamar? Butuh bantuan kah?" Kak Nia sempat terdiam, pandangannya ke mana-mana sebelum fokus padaku.

Tak terduga hal yang ingin Kak Nia mintai tolong adalah membersihkan gudang. Gadis satu itu mengatakan ada urusan mendadak yang tak bisa ditinggalkan. Berjanji akan melakukan pembersihan saat jadwalku ditambah pandangannya yang memelas pada akhirnya aku mengalah.

Gudang indekos terletak di halaman belakang, sedikit jauh dari rumah utama. Tak jauh dari gudang, ada taman kecil yang tanamannya terlihat tak terlalu terawat. Sembari membawa peralatan bersih-bersih seperti sapu, pel, dan ember aku berjalan mendekat ke gudang. Rambutku tak lupa diikat di balik kain yang melingkar di atas kepala, dengan tubuh terbungkus apron dan mengenakan masker.

Keadaan gudang tak membuat mata sedikit tenang. Debu beterbangan di mana-mana, lengkap dengan beberapa peralatan yang diletakan sembarangan. Bisa dibilang gudang ini tak ayal sebuah kapal yang baru saja diterjang ombak besar dan karam di dasar lautan. Oh, ingatkan aku untuk memberi peringatan bagi warga indekos.

Beberapa kali aku harus menahan diri tak menyenggol bangku yang sudah kehilangan satu kakinya. Sekali ketika berjalan aku harus menahan diri tak menjerit saat kecoa lewat. Oh, ayolah, kenapa aku mengiyakan permintaan Kak Nia, sih?

Lama harus bergelut dengan debu dan binatang melata lainnya, setelah menghabiskan waktu sekitar satu jam lebih akhirnya lantai dan kondisi barang yang tertutup debu sudah hilang. Binatang pun terpaksa mengorbankan nyawanya demi tak membuat orang lain heboh. Aku sih tak apa, tapi penghuni lain pasti akan pingsan di tempat jika melihat kecoa merayap di sekitarnya.

Saat sedang menata barang-barang, sempat beberapa kali membuang barang yang tak harus disimpan, mataku tanpa sengaja bertemu dengan kotak sedang di atas rak.

Rasa penasaranku tanpa sadar membuncah. Meski sangat tak sopan membuka barang orang tanpa sepengetahuan, tetapi ini tidak apa-apa, kan? Secara barangnya di gudang. Jadi dengan pemikiran itu aku mengabaikan sapu dan kemoceng yang kupegang dan mendekat ke kotak tersebut. Sekilas kotaknya hampir mirip dengan punyaku, tetapi sebuah ukiran satu huruf A di atas tutupnya membuatnya berbeda.

Tak ada kunci, sekali dorong tutup kotak terbuka lebar. Ada beberapa lembar kertas putih dan sebuah gelang tali berbandul bintang. Dengan penasaran kubuka salah satu kertas, mendapati tulisan rapi sedikit miring berukuran sedang tercetak di sana.

Teruntuk dikau yang menjelma laksana Dewi bulan, Selen.

Tak terhitung berapa bintang kujumlah ketika memandang ke arah temanmu, sang langit. Tak terbayang jua seberapa lamanya aku berdoa pada Sang Kuasa agar memberikanmu kepadaku, manusia hina ini.

Taukah kamu, dalam setiap mimpiku, aku selalu membayangkan kita dapat memijak bumi sebagai dua insan yang tak terpisahkan. Laksana Adam dan Hawa, juga surga dan neraka. Dua kehadiran yang takkan terpisahkan.

Akan tetapi, tampaknya dia tak ingin kita bersama. Dan seakan mendukungnya kau menyatakan hal tak terduga padaku. Tak tahukah kamu, betapa remuknya rongga bernama hati ini kala mendengar suara selembut sutramu mengatakan hal kejam seperti itu.

Duniaku hancur, lebur sudah hitam dan putih. Dan seakan tak memberikan kesempatan, kau pergi.

Manusia hina ini menjerit memanggil namamu, jemari berkubang darah demi dapat meraih dikau. Selen, apakah tak pantas aku berada di sisimu? Walau hanya sekejap, walau hanya seperti malam yang menemani para bintang. Tak lama, tetapi abadi.

Lantas, jika kamu tak ada di sini, ke mana aku harus meluapkan pilu hati? Ke mana aku harus mengadu, saat dirimu telah hilang dari singgasana hati, pergi jauh—ke tempat yang tak akan bisa dijangkau.

Berasal dari seorang yang mengagumimu, A.

Dahiku berkerut membaca surat. Dengan konten yang terkesan sangat melankolis, tampaknya sang penulis sedang merasakan patah hati. Namun, kenapa surat ini diletakkan di gudang indekos? Apakah ada seorang penyewa yang menyimpannya dan lupa mengambil kembali?

Dengan pemikiran itu aku meletakkan kembali kertas, menutup kotak dan segera keluar dari gerbang setelah menyelesaikan tugas secepat mungkin. Pikiranku penuh akan rasa penasaran pada isi surat lainnya. Panggilan dari dapur tak kuindahkan, juga pada sapaan para pemuda yang sedang duduk di teras. Setelah sampai di kamar, kukunci pintu dan naik di atas kasur.

Pakaian yang penuh debu tak menjadi masalah ketika membuka kembali kotak tersebut. Surat yang paling atas kusingkirkan, berganti membaca surat lainnya dengan rasa penasaran. Dan tak lama, aku terhanyut dalam setiap bait surat. Penuh perasaan, pendambaan, dan penantian. Setiap surat mewakili satu emosi, dengan susunan kata mendayu.

Jujur saja, aku ingin bertemu dengan penulis surat ini dan menanyakan bagaimana dirinya bisa membuat setiap surat mengandung emosi yang kuat.

"Ah, pasti yang menerima surat ini tersenyum sendiri." Pada surat terakhir yang ada, aku sudah beberapa kali tak bisa menahan senyum. Perasaan membuncah sang penulis tersampaikan dengan lancar, kalau dia membuat buku tampaknya aku akan segera memboyongnya. Habisnya, semuanya terasa candu, sih.

Setelah dua kali puas membaca surat, aku membereskannya dan hendak kembali memasukkan kertas saat melihat sesuatu menyembul dari sela tutup kotak. Berusaha sedikit keras kertas itu terbuka setelah menarik kayu tipis yang mengihimpitnya. Selembar foto ada di sana. Dua orang muda-mudi sedang tersenyum ke arah kamera sembari memegang sertifikat.

Mataku melebar memandang dua orang dalam foto. Dua orang yang sangat tak asing bagiku.

Duduk di atap sembari memandang langit kotak yang kemarin kutemukan berada di pangkuan. Pikiranku penuh dengan benang kusut, ingin segera terurai nahas makin tak karuan. Aku serasa terbodohi, terjebak dalam labirin permainan seseorang. Bagai boneka tali, tak memiliki kendali atas diri. Saat mendengar suara aku menoleh, seorang pemuda berjalan santai ke arahku.

"Ada apa?" Suaranya menyapa setelah benar-benar berdiri di depanku. Aku hanya diam, jemari sibuk mengotak-atik kotak sebelum mengeluarkan selembar foto.

"Ini kamu, kan? Kamu kenal Gia, 'kan?" Sialan kau, Aru.

*****

Limited You [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang