26. Pengakuan

3 3 7
                                    

Melihat kondisi Aru yang tak memungkinkan, aku meminta Kak Rifael membantuku membawa Aru pulang. Sebenarnya kami sendiri tak tahu tepat rumahnya di mana. Beruntung karena rumahnya cukup terkenal jadi kami tak sukar mencarinya.

"Rumah Aru?" ujarku pada Kak Rifael yang sama-sama terpaku di depan pintu. Aru ada di punggungnya, masih terlelap dengan napas yang mulai teratur.

Aku memang sudah pernah diberitahu tentang rumahnya yang 'sedikit' lebih besar daripada rumah pada umumnya, tapi, hei! Nggak sebesar istana juga kali! Seorang wanita dengan pakaian hitam panjang menyapa kali saat masuk, dia segera menyuruh kami duduk setelah salah satu pria dengan setelan berwarna serupa membawa Aru ke lantai atas. Seakan tak cukup, berbagai macam kue ada di depan mata, membuat perutku protes berjamaah padahal tubuhku baru saja merasakan empuknya tempat duduk saat ini.

"Kak, Kakak tau kalau Aru itu anak berada?" tanyaku sedikit berbisik, takut ucapanku di dengar oleh pekerja di rumah ini.

Kak Rifael menggeleng, dia meletakkan salah satu telapak tangannya sebelum mendekat ke arah telingaku. "Aku sih tau kalau orangtuanya salah satu donatur yayasan, tapi nggak tau kalau kayaknya sampai begini."

Anak donatur yayasan, ya. Meski kenal Aru, aku tak tahu kalau ternyata orangtuanya punya peran penting di yayasan. Ingatkan aku untuk tak cari gara-gara dengannya. Ah, terlambat, aku 'kan sudah cari gara-gara sampai bikin Aru pingsan.

Selama sepuluh menit kami menunggu di ruang tamu, tanpa penjelasan kenapa kami tak boleh langsung pulang. Jujur saja, kalau lebih lama di sini aku yakin akan segera terlelap. Namun, untunglah tak lama seorang wanita paruh baya dengan setelan rapi datang dari pintu masuk. Dia tersenyum kepada kami sebentar sebelum duduk di hadapan.

"Makasih ya, udah mau anterin Swara sampai rumah," ujar wanita itu. Dia memandang ke arah sampingku sebentar sebelum kembali memandangku lama.

Merasa risih karena dipandangi, aku mendudukkan kepala kemudian. "Adik ini kalau boleh tahu siapa? Pacarnya Swara, ya?" Pertanyaan tak bertanggungjawab itu membuatku menaikkan pandangan dengan kaget, yang benar saja, dari mana hubungannya kami bisa dikira pacaran?!

"A-ah, bukan, Te." Terkutuklah mulutku! Kenapa pula kau gagap saat membalas ucapannya?

"Ah, sayang sekali. Padahal cantik begini." Wanita paruh baya itu lantas tertawa setelahnya. Aku tahu, dia hanya bercanda, tetapi mukaku merah saat mendengar pujiannya. "Terus, Fael sendiri? Kenapa ke sini? Tante kira kamu tak akan mau membantu Swara lagi meski dulu sudah melihat rekaman CCTV." Rekaman CCTV? Aku melirik pada Kak Rifael, alisnya berkerut. Tampak sangat tak ingin mendengar pembahasan tersebut.

"Selagi Aru tak mengakuinya, untuk apa aku percaya? Bisa saja rekaman CCTV-nya direkayasa," ujarnya kemudian bangkit. Matanya mengarah padaku, sebelum menarik tanganku keras. "Kalau begitu, saya permisi."

Dengan begitu, kami benar-benar keluar dari rumah bak istana itu. Kak Rifael masih menarik keras tanganku. Nyeri dari tarikannya hampir saja membuat jeritan keluar dari bibir. Aku harus mengatakannya.

"Kak! Lepasin tanganku, sakit!" Baru setelah tiga kali mengatakan hal yang sama Kak Rifael melepaskan lenganku. Nyerinya malah makin terasa saat terlepas. "Ada apa, sih?! Kayak ogah banget di sana! Terus, kakak emang liat CCTV apa?" Kak Rifael diam, enggan membalas ucapanku.

Merasa tak ada gunanya memaksa aku segera berlalu pergi, meninggalkan pemuda itu yang masih berada di tempatnya.

Sehari setelahnya pun Kak Rifael masih bungkam soal CCTV. Pemuda itu selalu mengalihkan pembicaraan saat membahas topik tersebut. Gemas, aku akhirnya meminta tolong pada Aru.

"Kau ingin tau rekaman CCTV apa yang dilihat mereka?" Sembari menyeruput mie ayamnya Aru berkata demikian. Aku mengangguk, suasana ramai kantin tak membuatku kehilangan fokus.

"Habisnya Kak Rifael tampak enggan sekali membahasnya."

"Ah, itu, ya." Aru meletakkan sumpit, kemudian memandangku lama. "Kamu tak penasaran apa dengan alasanku pingsan kemarin?" Pernyataan di luar konteksnya membuatku sadar. Ah, benar juga! Kenapa bisa lupa, sih.

"Oh, iya!" Tawaku pecah kemudian. Cassandra, bodohnya kamu. "Memorimu kembali?"

Aru mengangguk, aku yang melihatnya mendekatkan diri, perasaanku campur aduk saat ini, aku tak bisa menjelaskannya secara rinci.

"Tapi, aku ingin mengatakannya ketika ada Kak Rifael dan di tempat yang sama seperti kemarin."

"Kau ... yakin?" Rasanya mengherankan kenapa dia ingin mengatakan hal itu di sana?

Sekali lagi, Aru mengangguk. Matanya memandangku lama. Melihat hal tersebut aku hanya menghela napas sebelum mengangguk.

"Ya, mari kita ke sana sekali lagi." Dengan begitu aku dan Rifael sudah ada di atap ketika jam pulang berbunyi. Kak Rifael sendiri mengatakan bahwa dia akan sedikit terlambat, ada kelas yang harus dia selesaikan katanya.

"Jadi, bagaimana perasaanmu?" Bosan dengan suasana aku bertanya basa-basi. Kulirik Aru, pemuda itu memandangku sebentar sebelum beralih pada langit cerah.

"Keadaanku? Tebak sendiri."

"Sedih? Senang? Marah?" Aru menggeleng pada setiap tebakanku. Pemuda itu masih memandang lagi, siap mendengarkan tebakan lagi.

Tebakanku tak ada yang berhasil, Aru menoleh ke arahku lagi sebelum membuka mulutnya.

"Perasanku saat ini ... kosong."

"Kosong?" Aru mengangguk. Matanya masih menatapku saat ini.

"Padahal, kupikir, ketika aku ingat lagi tentang Gia aku akan marah, atau bahkan bersedih. Akan tetapi, alih-alih demikian, rasa lega dan hampa yang datang. 'ah, ternyata begitu kejadiannya.' itu batinku saat terbangun kemarin." Senyum terpatri di wajah Aru kemudian. Pemuda itu, yang kehilangan orang terkasih, terlihat hampa dan damai di satu sisi.

Apa aku juga demikian?

"Kalau kau sendiri, bagaimana, Cassa?" tanyanya balik kemudian. Aku diam, pikiranku berkelana dalam setiap memori antara aku dan Gia. Gadis pendiam tapi keras kepala, gadis yang rela melakukan apa pun demiku. Gadis yang meski di satu sisi sangat menjagaku, dialah pula yang menorehkan luka mengangga ketika kepergiannya baru kuketahui bertahun-tahun kemudian.

Ah, apa ini? Kenapa luka mengangga ini kuabaikan? Sebenarnya, kenapa dia berbuat demikian? Aku tak bisa memahami pikirannya.

"Aku ...." Ucapanku tak pernah selesai lantaran tenggorokan yang tercekat dan pandangan kabur. Aru, yang seharusnya terlihat jelas di pandangan telah berubah laksana embun pagi. Suaranya, yang harusnya terdengar dekat telah tenggelam oleh isakanku sendiri.

Ditinggalkan dengan cara begini ... sangat menyakitkan. Aku tak bisa membencinya langsung, apalagi membenci orang yang berhubungan darah dengannya. Aru, tak bisa kusalahkan juga, dia tak ada hubungannya. Lantas, kepada siapa aku harus melampiaskan amarah ini?

Cukup lama aku menangis, Aru hanya diam di tempatnya setelah tak kugubris. Ah, sial. Ingusku hampir meler.

"Makanya, kalau nangis jangan lupa bawa tisu." Aru menyodorkan tisu saku padaku. Kuterima dengan senang hati. Tak lama, pintu atap terbuka, menampilkan wajah Kak Rifael yang memerah.

"Apa aku terlambat?"

****

Limited You [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang