19. Kepingan Ingatan (Aru)

2 3 4
                                    

Angin sepoi menerbangkan rambut, membuat sang lawan bicara membenarkannya dulu sebelum memandangku dengan wajah polos. Bukan berarti dia tak berekspresi apa pun, tapi wajahnya benar-benar polos seperti tembok baru diberi plaster.

Hantu? Tapi kenapa aku tak lari dan berjalan mendekat padanya, ya? Pikiran dan tubuhku tak berjalan dengan sinkron, ketika otak mengatakan untuk pergi, rangka tubuh ini malah mendekat ke arah gadis bermuka polos tersebut.

Mulutnya bergerak, tetapi tak ada suara yang keluar dari rongga tersebut. Kaki gadis itu semakin ke belakang, berusaha menghindar. Ada apa dengannya? Kenapa dia menghindariku?

Belum juga pertanyaan terjawab, dia tak memiliki pijakan apa pun, membuatnya jatuh melawan gravitasi. Tanganku refleks terulur, berusaha menjangkau walau akhirnya hanya sia-sia yang kudapat. Tak lama setelah sang gadis jatuh, kurasakan mulutku terbuka lebar, tetapi sekali lagi, tak ada suara yang keluar dari sana.

Sekitarku hancur lebur kemudian pandanganku memudar, dan semuanya menjadi kelabu. Tak ada jalan keluar atau pun kembali.

***

Mimpiku aneh dan terasa menyedihkan. Itu adalah pemikiran pertama yang muncul saat aku membuka mata. Gadis tak berwajah itu masih teringat jelas di memori. Rambut yang semula acak-acakan sebelum terkena angin, baju santai yang malah terlihat seperti pakaian tidur karena sudah usang.

Siapa dia? Aku juga tak tahu. Tapi perasaan putus asa, sedih dan marah masih bersarang dalam rongga bernama dada. Ada apa ini? Kenapa aku merasa kosong? Sebenarnya, apa maksud dari mimpi ini?

Kulirik jam, pukul 06.30 pagi. Biasanya gadis itu sudah mulai pergi ke sekolah. Aku harus mengikutinya lagi hari ini.

Cassandra, gadis yang menjalin kesepakatan denganku—atau bisa dikatakan demikian. Gadis itu akhir-akhir ini bertindak tanpa memberitahuku dulu. Yah, aku tak masalah dia mencari info sendiri, tetapi tak memberitahu rekannya tentang rencananya apa tak berlebihan?

Maka dengan itu aku mengikutinya selama hampir dua minggu. Apa dia tak ingat ulangan sebentar lagi menghampiri? Ah, sudahlah. Apa peduliku kalau nilainya anjlok. Meski berkata demikian, aku beberapa kali menyelipkan ringkasan catatan yang sayangnya, tak juga disadari oleh Cassa.

Dasar, gadis tak peka.

"Aru! Kau ingin bicara apa?" Suara Cassa mengembalikanku ke masa kini. Gadis itu baru saja meletakkan teh di atas meja. Kudapati lirikan Kak Rifael yang duduk tak terlalu jauh dari kami. Hah, dasar keras kepala, padahal aku hanya ingin mengatakan hal ini pada Cassa saja.

"Sejak beberapa hari yang lalu aku bermimpi." Kugantung ucapanku, menyeruput teh sebentar sebelum memainkan pinggiran cangkir. "Ada gadis tak berwajah di hadapanku. Dia beberapa kali berteriak, tetapi aku tak mendengar suara apa pun. Tak lama kemudian dia jatuh. Aku merasa kalau saat itu aku berteriak, tetapi sama seperti dengan si gadis, suaraku juga tak keluar."

"Terus?" Cassa bertanya. Tubuhnya yang duduk di sebelahku condong sedikit, membuat kulit kami hampir bersentuhan. Dan oh, ayolah. Aku tidak berbuat apa-apa, tolong turunkan pandangan mata mematikanmu itu, Kak Rifael.

Menarik diri guna menambah jarak, aku berujar setelah melakukan hal tersebut. "Ya, tak ada. Setelah itu pandanganku mengabur dan sekitarku pecah berkeping-keping."

Cassa diam setelah penjelasanku selesai. Cukup lama diam sampai aku meragukan kalau dia masih bangun.

"Hal—"

"Jadi, kamu hanya bermimpi sebatas itu?" Ah, ucapanku terpotong. Meski demikian aku mengangguk pada pertanyaannya.

"Yah, hanya begitu."

"Bisa jelaskan detail atap tempat kalian berada di dalam mimpi?"

Pada pertanyaan tak terduganya aku terdiam. Aku kira dia akan menanyakan hal lainnya yang membuat kepalaku pusing. "Atapnya terasa dekat dengan langit, di samping kanan kiri ada beberapa dahan pohon dengan daun yang tebal. Ada paramon di langit-langit pintunya. Hanya itu yang kuingat, maaf."

"Tak apa kok." Cassa tersenyum. "Terus, saat kejadian langit masih biru atau sudah sore?"

"Biru cerah. Tak terasa panas, sih. Kemungkinan sekitar jam 11.00 pagi." Aneh kurasakan dalam ucapanku. Memangnya ketika mimpi kita bisa merasakan suhu?

Cassa mengangguk, kemudian netranya beralih pada Kak Rifael yang baru aku sadari duduk di sebelahku. Ah, pantas saja aku merasa panas dari tadi, ada api di sebelah.

"Tak ada lagi selain hal yang kau sebutkan?" Kali ini Kak Rifael angkat bicara. Aku hanya mengangguk. Kak, tolonglah, berhenti menatap tajam diriku.

"Kak, jangan ditatap kek gitu, dong. Mati anak orang nanti." Cassa! Makasih sudah menyelamatkanku.

"Halah, cuman ditatap begini kok sudah ciut." Aduh, tolong, itu mulut diperhatikan. Nanti ada yang khilaf mukul pakai sendal hijau.

"Yah, hanya segitu saja yang bisa kukatakan. Aku pulang dulu." Tugasku sudah selesai, saatnya pulang. Bisa-bisa bolong punggungku kalau lebih lama di sini.

"Eh, nggak makan siang dulu? Udah mau jadi ini." Seorang gadis mengeluarkan kepalanya dari arah dapur. Wajahnya sedikit cemong, kendati senyum cerah tersemat di sana.

"Ah, nggak—"

"Nggak, Ni. Dia mana mau makan sama kita. Udah, abaikan saja." Aduh, mau disentil mulutnya. Orang mau nolak baik-baik dia malah memotong ucapan.

"Iya, Kak. Saya mau pulang. Nanti Mama sedih kalau tidak makan sama dia."

"Wah, anak Mama sekali, ya."

"Diam Kak. Nanti mulutnya kena sumpal sendal hijau, lo."

"Wah, nih anak kurang ajar sama orang tua." Kulirik wajah Kak Rifael, sedang senyum terpaksa.

"Yah, orang tuanya nggak pantas dihormati gimana, dong." Makan tuh.

"Hei! Kau ya—" belum sempat melanjutkan ucapannya kerah baju Kak Rifael ditarik oleh seorang wanita paruh baya.

"Oalah, ada temannya Cassa, ya? Udah mau pulang?" Kak Rifael masih memberontak tetapi tampaknya cengkraman tangan wanita itu lebih kuat.

"Iya, Te. Saya pamit dulu, ya." Mendapat persetujuan aku hendak berlalu pergi. Tak ingin dikejar oleh gorilla gila. Sekali-kali mengerjainya seru juga.

"Te, Cassa antar dia sampai persimpangan lorong, ya." Dengan perkataan Cassa kami meninggalkan kak Rifael yang masih dalam mode mengamuk.

"Padahal aku tak perlu diantar, lo," ucapku ketika berjalan bersebelahan dengan Cassa. Gadis itu hanya diam, membuatku canggung sendiri.

"Soal gadis tanpa wajah itu, kau hanya memimpikan hal yang kau sebutkan saja?" tanyanya membuatku tediam.

"Ya, hanya itu."

"Kudengar dari Shakilla katanya sebelum Gia pindah kau bertemu dengannya di atap. Dia sih bilang rumor, sih. Tapi kalau sampai ada rumor semacam itu bukannya hubungan kalian dekat? Kenapa kau bilang tak ingat?" Nada suara itu membuatku terdiam. Kupasati wajah itu, yang entah kenapa terasa tumpang tindih dengan wajah seseorang.

"Ah, itu—" Belum menyelesaikan ucapan kepalaku serasa pecah. Keseimbanganku otomatis melemah dan ketika suara Cassa terdengar makin jauh, aku sudah benar-benar tenggelam dalam lautan tak berdasar.

Apalagi ini?

****

Limited You [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang