17. Pencarian

5 3 4
                                    

"Ingin melihat album alumni lagi?" Baru saja membuka pintu perpustakaan pertanyaan dari sang penjaga membuatku cengir kuda. "Bukunya ada di tempat sana. Belum sempat saya susun lagi." Mendengar ucapannya selanjutnya aku hanya mengangguk, segera berlalu ke keranjang tempat meletakkan buku yang sudah dibaca.

Perpustakaan masih saja sepi, yah aku tak masalah. Toh dengan begitu lebih mudah bagiku melihat albumnya tanpa sebentar-sebentar dilirik. 9-B, dengan ingatan kelas Aru aku membalik halaman cepat. Nama murid beserta fotonya kembali kudapati. Setelah cukup jauh dari Aru dan hampir dekat dengan absen Gia, aku menemukan wajah tersebut. Seorang gadis muda dengan kacamata kotak. Memang sedikit berbeda dengan gadis yang kujumpai tadi, tetapi bedanya hanya terletak pada penampilannya.

Gadis yang kutabrak tak memakai kacamata, rambutnya pun terpotong rapi, tak acak-acakan seperti di foto. Setelah yakin aku bergulir ke samping kanan. Cintya Bella Saphira. Namanya indah. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, aku segera memfoto lembarnya dan juga lembar data murid lainnya. Kali-kali saja aku tak sengaja bertemu dengan mereka lagi.

Yah, siapa yang tahu nasib, kan?

"Sebenarnya, kenapa kamu sampai penasaran dengan album alumni angkatan ini?" Sebuah suara dari arah depan membuat posisiku yang sebelumnya menunduk memandang lurus ke sumbernya. Penjaga perpustakaan berdiri di depan meja, di tangannya ada beberapa buku sedang pandangannya memandang lurus pada halaman yang baru saja kupotret.

"Ya?" tanyaku tak terlalu paham dengan ucapannya.

"Kudengar sih ada kasus anak mati di angkatan itu. Tapi mungkin saja hanya rumor orang yang ingin mencari perhatian," ujarnya sambil lalu. "Ah, jangan dipikirkan terlalu dalam. Itu hanya rumor," lanjutnya sebelum hendak pergi dari tempat.

Hah? Bunuh diri? Bukan dibunuh?

"Apa maksud Ibu?" Oke, aku butuh penjelasan sekarang dan tampaknya orang di hadapanku ini sedikit paham dengan situasinya.

Sang penjaga yang ternyata kisaran usia 20 tahun—setelah kami saling berbincang—memberikan beberapa informasi yang semakin membuatku bingung. Hal ini lantas kusampaikan pada kak Rifael, yang jelas naik pitam mendengar adiknya digosipkan semacam itu.

"Yah, aku tahu. Kakak pasti tak terima, tetapi itu kan kata sang penjaga perpustakaan, sih. Tenang dong," ujarku berusaha menenangkan pemuda itu setelah mendengar cerita dariku. Kulihat dia membuang napas panjang, sebelum mengangguk.

"Jadi, sudah ada info lain? Terbebas dari omonganmu soal bunuh diri sebelumnya." Pertanyaan dari Kak Rifael membuatku tertawa hambar.

"Belum." Ah, sial. Aku mau menceburkan diri ke laut saja.

Kak Rifael membuang napas kemudian. "Nggak usah deh, udah pasti Aru yang—"

"Eit. Tahan. Aku dapat seseorang yang bisa kutanyai, kok." Cegahku tak terima dengan deduksi tak berbuktinya. Yah, mungkin saja orang ini tahu, Semoga begitu.

"Gadis bernama Cintya itu?"

"Ya, dia," ucapku sembari mengangguk semangat. Tak lama wajah Kak Rifael berubah. Hei, ada apa ini?

"Kau yakin? Kalian saja tak saling kenal, kan? Mana mungkin tiba-tiba bertanya soal begituan. Pikirankan resikonya."

"Ya nggak langsung nyerobot nanya juga kali kak." Kesal dengan ucapan Kak Rifael aku memutar mata. "Harus dekat dulu dengan dia baru bisa bertanya."

"Kalau begitu bukannya akan memakan waktu lama?"

"Dua minggu kayaknya cukup."

"Aku bertaruh kau tak akan bisa langsung menanyainya setelah dua minggu." Kak Rifael terkekeh di akhir.

Dengan nada kesal aku membantah ucapannya. "Enak saja, aku bisa kok."

"Kalau begitu, ayo taruhan." Mataku meliriknya dengan penasaran.

"Taruhan apa?"

Senyum Kak Rifael terbit saat mendengar ucapanku. Oh, tolonglah. Jantungku tak aman jika dia senyum terus.

"Kalau aku menang, kamu harus menghindari Aru. Mudah, kan?"

Pada detik ketiga setelah ucapan itu terlontar aku memandang Kak Rifael dengan kesal. Bisa-bisanya dia sengaja mencari kesempatan! Dasar, rasa mau memukul mukanya makin besar, kan.

"Nggak. Aku tak peduli kakak bakal bilang aku pengecut ato nggak, tapi kalau begitu taruhannya sama aja menyuruhku menyerah mencari kebenaran." Kesal dengan ucapannya aku berlalu pergi dari ruang tengah. Samar aku mendengar suara tawa Kak Rifael. Sial, dia memang sengaja mengincar kemarahanku.

Ucapan Kak Rifael bagai sumpah yang menjadi kenyataan. Sudah hampir  dua minggu dan gadis yang kuincar itu tak sudi bertukar kata bahkan hanya sakadar sapa. Seburuk itukah caraku bersosialisasi? Namun, dengan siswa lain semuanya normal-normal saja.

Tidak bisa begini. Aku harus cari cara lain. Meski sedikit sayang meninggalkan rencana mendekati gadis itu, aku harus segera mendapatkan informasi walau hanya sedikit. Dengan pemikiran itu aku membuka ponsel, mencari wajah yang sekiranya pernah kulihat.

Bingo! Astaga, ternyata benar, ya. Kemampuan sosialisasiku buruk sekali. Bagaimana bisa, sih, aku gak sadar kalau teman sekelompokku itu dulu satu kelas dengan Gia?

Untungnya, semesta tidak sekejam itu. Meski aku sial terus-menerus, kali ini aku mendapat keberuntungan.

Benar, gadis itu, Shakilla Anggraini Putri, mengajakku mengerjakan tugas di rumahnya hari ini. Ini kesempatan langka! Aku tidak boleh menyia-nyiakannya.

Aku di mana? Namaku siapa? Mau ngapain?

Inilah respon yang kualami ketika sampai di depan rumah teman kelompokku. Memiliki halaman yang luas, dengan rumah yang juga tak kalah luas. Bangunannya bertingkat dua dengan beberapa orang asisten rumah tangga.

Anak konglomerat? Tapi sikapnya nggak kayak begitu, kok..

"Kenapa? Ayo masuk," ajak Shakilla sembari tersenyum. Aku refleks membalasnya juga, yang pasti dengan senyum kaku.

"Kau ... tinggal di sini sendiri?" Terdengar tak sopan memang, tapi aku sudah keburu penasaran karena rumahnya sangat luas.

"Nggak kok. Aku tinggal sama adik-adikku."

"Adik?" Tak lama kemudian anak kecil sekitaran lima orang lebih yang usianya kira-kira tak jauh datang menghampiri kami. Mereka memanggil Shakilla kakak.

"Ya, adik. Papa sama Mama sengaja mengadopsi mereka supaya aku nggak sendirian di sini," ujarnya sembari mengelus satu demi satu puncak kepala adiknya. Aku hanya diam, hampir saja mengatakan hal yang akan membuat gadis itu marah.

Habis terkena serbuan para adik, Shakilla mengajakku ke ruang tamu yang tak kalah besarnya. Gadis itu mempersilahkan diriku untuk duduk sembari memakan cemilan selagi dia berganti pakaian. Jujur saja, kue keringnya enak semua, sampai-sampai aku ingin membungkus semuanya untuk di makan bersama anak indekos lainnya.

"Kalau kamu memang suka kuenya nanti aku minta Mbak Lilis bungkuskan satu kotak." Suara sang pemilik rumah masuk ke telingaku. Dengan malu aku hanya tertawa dan berterima kasih.

"Jadi, kita akan mulai mengerjakan tugasnya dari mana?" tanya Shakilla. Membuatku sadar tujuan utama ke sini.

"Ah, sebelum itu boleh aku bertanya sebenar?"

"Tanya aja, jangan sungkan."

Tenang, Cassa. Kau bisa. Demi Gia.

****

Limited You [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang