20. Gadis itu (Aru)

7 3 1
                                    

"Hai, sendirian saja?" Gadis itu menoleh dari kegiatannya membaca selembar kertas. Netra gelapnya memandang lama diriku, sebelum beralih ke bawah. Ah, apa senyumku menakutkan? Padahal harusnya biasa saja.

"H-hai," balasnya dengan terbata. Ah! Dia tipe pemalu, kan? Aku hampir lupa.

"Maaf membuatmu kaget. Aku hanya penasaran, kenapa kamu tak bergabung dengan gadis-gadis di sudut sana? Mereka kan teman sekelas kita?" Ucapanku tak dibalasnya. Apa aku salah ngomong, ya?

"Mereka tak cocok denganku." Jawabnya diiringi nada suara halus. Hampir saja aku tak mendengar jika jarak kami sedikit lebih jauh dari sekarang.

"Tak cocok? Apa kamu sudah mengetahui sifat mereka? Belum, kan?" Ah, apa perkataanku terlalu pedas? Kulihat tampaknya dia makin menunduk saja. "Ah, maaf. Aku tak bermaksud menyinggung perasaanmu."

"Tak apa," balasnya kemudian berdiri. "Sudah biasa." Dan gadis itu pergi begitu saja.

Duh, tampaknya aku membuat masalah.

Firasatku tak pernah salah. Gadis itu benar-benar tersinggung. Terbukti dengan wajah tak sukanya saat kami harus menjadi rekan dalam satu kelompok.

"Kau tak apa mengerjakannya sendiri?" tanyaku ketika melihat beberapa rekan kelompok pergi dengan beribu alasan ketika hendak mengerjakan tugas.

"Tak apa, aku sudah biasa, kok."

"Biasa apanya? Memang selama ini kamu mengerjakan tugas kelompokmu sebelumnya?" Apa dia tak merasa keberatan? Kan kerja kelompok harusnya dikerjakan bersama-sama.

"Ya, begitu." Gadis itu memutus obrolan. Yah, padahal baru saja bisa bertukar kata sedikit lebih banyak, sudah diputus saja. Aku melirik padanya, yang sedang membaca surat, sembari tersenyum.

Sepenting apa sih suratnya? Sampai dia tersenyum dengan lebar begitu. Ah, senyumnya manis.

Sadar, Aru! Kenapa kamu tiba-tiba memikirkan hal semacam ini? Tidak-tidak aku ngapaiin, sih? Ngomong-ngomong, dia tersenyum saat membaca surat. Apakah kalau aku mengirim surat padanya bisa membuat dia tersenyum dan lebih dekat padaku?

Pemikiran gila melintas di kepalaku. Yah, mari kita coba. Aku ingin berteman dengan dia, sih.

Menggunakan nama panggilan Apollo, aku dan dia bertukar pesan cukup lama. Selama tahap itu, jujur saja aku selalu menantikan saat dia mengetahui siapa aku yang sebenarnya. Terkejutkah? Senangkah? Atau malah kecewa? Yah, kuharap tak pilihan yang terakhir, sih. Karena bagaimanapun, aku ingin dekat dengannya.

Dia selalu membalasku dengan surat yang tak terlalu mendayu, berbanding terbalik dengan diriku yang selalu menjelma sebagai pemuda senja. Mendayu, seperti seorang yang kehilangan orang terkasih.

Hari kemudian berganti kami berbalas surat, Gia sering kali kulihat tersenyum saat membaca surat dariku. Hal itu tanpa sadar membuat sudut hati sedikit hangat. Ah, aku baper, kan.

"Apa? Kami menjadi perwakilan lomba antar sekolah?" Kupandang sang guru yang mengumpulkan aku dan Gia dalam satu ruangan. Guru itu tersenyum lebar sembari mengangguk. Dengan begitu, kami tak hanya dekat dari surat saja, tetapi mulai secara langsung demi kepentingan lomba. Bahkan, kami sempat berfoto ketika menang lomba. Ah! Betapa senangnya hati. Kuharap semua akan tetap berlangsung begini.

***

"Aru!" Teriakan Cassa membuatku membuka mata cepat. Aku memandang sekitar, kami masih ada di tempat yang sama. Cuma sedikit menepi dari jalanan. "Duh! Kalo mau pingsan bilang-bilang napa! Susah tau bawa badanmu yang berat ini!" Sebentar, rasanya aku tadi tak sedang berada di sini tadi.

"Foto itu ...."

"Foto?"

"Iya. Foto. Foto yang kau tunjukkan waktu itu. Yang aku sama Gia. Mana?"

"Ada di kamarku, lah. Dikira kubawa mulu apa." Ah, sial. Kenapa aku jadi lambat berpikir begini, sih.

"Ah, ya. Besok tolong bawa, ya. Aku mau memastikan sesuatu." Aku bangkit setelahnya, meski sedikit oleng, tetapi aku bisa berjalan dengan lurus tak lama kemudian.

"Oh, jangan lupa. Besok ujian." Dengan kata itu aku benar-benar pergi. Samar kudengar Cassa berteriak panik. Ah, dasar toa masjid.


"Ini fotonya." Esoknya Cassa memberikan selembar foto. Gadis itu segera meletakkan kepala di atas meja, tampaknya lelah karena harus berjuang menghadapi ujian matematika sebelumnya.

"Kenapa?" Meski begitu aku pura-pura tak tahu dan malah bertanya.

"Ujian! Bisa-bisanya kau tak memberitahu sebelumnya. Aku tak sempat banyak belajar, tahu. Ah, nilaiku bagaimana ini?"

"Salah sendiri tak peka dengan catatan di laci meja," tukasku sebelum memandang foto.

"Catatan?" Suara berderak terdengar setelahnya. Ya, biarlah Cassa merana sendirian karena tak menyadari rangkuman catatan itu.

Fokusku kembali pada foto, ketika aku pingsan kemarin rasanya aku berfoto dengan Gia. Dan posenya sangat sama dengan foto yang kulihat saat ini. Apa itu ingatan? Tapi, kenapa aku lupa, ya?

Nyeri kembali aku rasakan. Dengan begitu kuhentikan aktifitas mengorek memori. Ya, semoga saja semuanya kembali dengan cepat. Aku sangat penasaran dengan kebenaran di balik pindahnya Gia.

"Kau meninggalkan catatan?" Ah, Cassa sudah sadar rupanya.

"Iya. Tapi kaunya nggak peka."

"Ya mana mungkin aku peka kalau ditarok di laci, bambang!" Gadis itu berseru heboh. Ah, dia berisik.

"Tolong dikecilkan volumenya. Ini bukan masjid apalagi taman rekreasi."

"He! Mulutnya." Kubalas dengan lidah yang sedikit menjulur keluar. Malah semakin membuatnya kesal dan berlalu pergi.

Meresahkan. Ingatanku tak beraturan macam begini, bagaimana bisa mengetahui faktanya. Ah, sudahlah! Aku lapar.

Dengan pemikiran begitu aku keluar, meninggalkan Cassa yang masih misuh-misuh tak jelas. Apa gadis itu tak lapar? Ah, biarlah dia menahan lapar nanti.

Maunya begitu, tetapi kenapa aku malah membeli sebungkus roti dan di bawa ke kelas, sih? Seakan tak cukup, kenapa pula kuserahkan ke mejanya. Lihat, wajahnya sekarang keheranan, kan?

"Dimakan, bukan diliatin aja. Kalau nggak mau yaudah, buat aku aja." Baru akan mengambil kembali roti, jemari gadis itu menyerobotnya lebih dulu. Huh, bilang saja kalau mau.

"Makasih, ya."

"Sama-sama. Aku mau balik dulu. Ati-ati makannya."

"Ati-ati?" Ya, hati-hati, karena ada rasa keju yang tak kau sukai di dalamnya.

"Aru! Kamu sengaja, ya!" Kabur, yuk. Sebelum T-rex menerjang.


"Ah, tenang." Aku mengembuskan napas lega setelah sukses sampai di atap tanpa terkejar oleh Cassa. Menyenangkan mengerjai gadis itu. Kenapa aku baru melakukannya sekarang, ya?

Langit biru ada di atas kepala. Tak terhalang sebuah besi bernama atap. Aku merebahkan badan, terbuai dalam sepoi angin lembut yang menerbangkan sedikit rambutku. Tempat yang tak akan memberikan duka, tempat yang akan selalu sama meski waktu berlalu. Tempat yang membuatku merasa dekat dengan langit—dan mungkin aku bisa ke sana suatu saat.

Ah, aku mengantuk. Hal tersebut terbukti dengan mataku yang mulai menutup, terhanyut dalam suasana damai. Bolos satu pelajaran tak apa kali ya?

****

Limited You [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang