6. Indekos

22 10 89
                                    

Kira-kira selama tiga jam aku harus menahan dorongan untuk tetap duduk di jok mobil. Sempat terlelap selama sejam rupanya tak menjadi pelarian yang lebih baik, kepalaku malah semakin pusing.

Tak lama terlihat gerbang tol yang mengarah pusat kota, membuatku tersenyum untuk beberapa saat. Iya, mulai sekarang aku dapat bertemu Gia yang menghilang keberadaannya.

Lampu lalu lintas yang berganti, kemacetan mulai terasa, beberapa kali jumpai gedung yang tingginya hampir menyentuh langit, ada juga fly over yang kami lalui setelahnya. Dadaku berdegup kencang, kendati demikian berusaha semaksimal mungkin tak menampilkan di wajah. Kulirik sekali lagi ayah, dia masih sibuk menyetir. Setelah berbelok beberapa kali sehabis memasuki gapura, sebuah rumah dengan dua lantai terlihat jelas. Mobil berhenti di sana, Ayah melepas sabuk pengaman kemudian memandangiku.

"Kita sampai," ucapannya membuatku buru-buru ikut membuka sabuk pengaman kemudian turun dari mobil. Ah, lega rasanya saat tak harus duduk lebih lama di jok. Tanpa sadar aku merenggangkan badan, terserah pada pandangan ayah, pinggangku rasanya hampir encok.

Tak lama seorang wanita paruh baya datang dari arah kanan, dengan wajah semringah dia menyapa kami. Ayah yang katanya ingin mengantar saja nyatanya malah ikut masuk ke dalam. Dia mengikutiku selama sang wanita menjelaskan tentang indekos yang akan menjadi tempat aku bernaung selama tiga tahun ke depan.

peraturan yang utama, tak seperti indekos lainnya, jam malam untuk para penghuni sampai pukul 20.00 WIB. selebihnya pintu akan dikunci dan dapat dipastikan tidur di luar. Kedua, perihal makan para anggota memiliki jadwalnya sendiri, tak bisa masak berarti terpaksa membelikan seluruh anak kosan makanan. Peraturan paling akhir, air hanya dihidupkan dari jam 4-7 pagi dan jam 5-6 malam.

Cengo mendengar peraturan laksana berada di asrama militer, aku melirik ayah sekejap. "Yah, serius ini kosan? Kok lebih mirip asrama, ya?"

Ayah hanya tersenyum sekilas sebelum kembali memandang ke dalam kamarku. Ah, harusnya aku pilih sendiri saja indekosnya.

Baru saja ayah pulang usai makan siang, dia sempat meminta maaf karena tak bisa menemani lebih lama sebab ada pekerjaan mendesak yang harus segera dituntaskan. Meninggalkan nominal uang yang menurutku cukup banyak, Akhirnya aku sendirian di dalam kamar. Ada single bed di ujung kamar, dan sebuah lemari berukuran sedang. Meja lipat tanpa kaki tertempel di dekat pintu masuk dan sebuah jendela ukuran sedang di dekat kasur. Tidak terlihat terlalu sempit, selagi aku tak meletakkan barang sembarangan.

Dengan pemikiran tersebut aku segera membereskan barang bawaanku, agar segera bisa beristirahat dengan tenang. Tanpa terasa dua jam aku harus berkutat menata barang, tak kuduga aku membawa cukup banyak barang yang tak bisa masuk ke lemari. Akhirnya barang-barang tersebut kuletakkan di atas lemari dengan cara menaiki bangku yang ada di kamar.

"Hah, melelahkan." Kuhempaskan tubuh di atas kasur, lelah menjalari seluruh sendi, membuatku ingin lebih lama berleha-leha. Tanpa sengaja mataku melirik jam, pukul 16.00 WIB, satu jam lagi sebelum air di kamar mandi kos dihidupkan.

"Kata wanita tadi, ada tiga kamar mandi yang bisa kami gunakan. Satu di lantai bawah dekat dapur, satu di lantai dua dekat tangga dan satu lagi ada di belakang bagunan kos. Semuanya juga harus mengantri jika ada yang menunggu lebih dulu." Mengingat hal tersebut membuatku menghela napas. "Tampaknya ayah memasukkanku ke asrama beneran alih-alih indekos. Bisa-bisanya peraturan seketat itu."

Usai menggerutu mataku memberat. Ah, biarlah, aku ingin tidur, terserah tak makan dan mandi, toh aku tak akan mati karenanya. Setelah itu aku benar-benar terlelap tanpa sempat makan dan mandi.

Paginya, aku hampir kesiangan. Beruntung masih sempat masuk ke kamar mandi dan membersihkan badan. Akibat tak makan semalaman aku sampai beberapa kali menambah porsi, membuat orang yang bertanggung jawab akan makanan hari ini geleng kepala. Mungkin dia berpikir aku memiliki perut karet, tapi apa peduliku.

Semester baru akan dimulai tiga hari lagi, yang artinya aku memiliki beberapa hari untuk mencari Gia. Hal yang cukup mengejutkanku ialah fakta bahwa alamat rumah ini sama dengan alamat surat yang Gia selalu kirimkan. Aneh kalau dipikir-pikir, dia kan tinggal di rumah ini bersama orang tua, kenapa sekarang malah menjadi indekos?

Dengan rasa penasaran itu aku iseng-iseng bertanya pada penghuni lainnya. Meski begitu tak ada satu pun dari mereka yang tahu siapa dan ke mana pemilik rumah ini pergi. Aku hanya berputar di jalan, merasa buntu akhirnya aku memutuskan untuk berjalan sejenak di sekitar pemukiman. Banyak anak kecil bermain di salah satu taman, mereka tampak tak memiliki beban apa-apa. Satu-satunya makhluk dunia yang masih suci keberadaannya, tak tersentuh oleh gelapnya dunia.

Merasa perlu istirahat, aku duduk di bangku taman, masih menyaksikan anak kecil yang bermain di sana. Gia, entah ke mana gadis itu berada sekarang. Semua orang seakan-akan tak mengenalnya, bahkan wanita yang mengenalkan isi indekos tak tahu mengenai dirinya.

"Hah, sebenarnya kamu ke mana, sih?" Lelah dengan keadaan, kuacak rambut gemas kemudian menutup wajah dengan kedua tangan. Rasanya aku bisa saja menangis jika suasana tak sedang ramai seperti sekarang.

"Dik, kau tak apa?" Suara seseorang masuk ke pendengaranku, dengan pelan kunaikkan pandangan hanya untuk mendapati netra segelap malam yang terbingkai kotak persegi menatapku cemas.

Kulitnya putih, dengan struktur wajah lembut tetapi juga tampak tegas di sisi lain. Jujur saja, dia itu termasuk tipeku. Merasa aneh, aku menggeleng, apa-apaan pikiranku? Tipe ideal? Bercanda ya.

"Ah, saya tak apa," jawabku kaku kala merasa pemuda asing itu masih memandang dengan seksama. Perasaanku saja atau aku tampaknya pernah melihat dia di suatu tempat?

"Syukurlah kalau begitu. Kulihat dari jauh tadi kamu tampak akan pingsan," ujarnya sembari tersenyum. Aku hanya bisa cengo sesaat. Pingsan? Selemah itukah tadi kelihatannya?

Tanpa izin dia ikut duduk di sampingku, matanya tak memandang ke arahku lagi dia malah fokus pada anak-anak kecil yang tadi kuperhatikan.

Setelah lama memperhatikan, aku akhirnya tersadar pada satu fakta baru. Pemuda ini orang yang kutuntun saat pentas. "Permisi, maaf kalau pertanyaan saya terlalu frontal. Kakak pernah lihat pentas seni di SMP XX kota sebelah, ya?" Mata pemuda itu melebar sesaat, atensinya terfokus padaku sebelum dia mengangguk.

"Ah, ya. Aku memang sempat ke sana. Walau tak menonton pertunjukannya sampai habis."

"Kalau begitu, kakak pasti sempat dituntun oleh anak gadis di depan gerbang sekolah, kan? Itu saya."

*****

Limited You [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang