Dua bulan lebih sejak pentas dan Gia belum membalas surat yang kukirimkan. Gadis itu hilang bagai ditelan bumi. Meski aku mengirim surat setiap minggunya, tetapi tak ada balasan yang datang. Pentas berlangsung lancar, kakak kelas benar-benar sudah lulus.
Sekarang aku sudah kelas dua, tetapi meski aku berusaha mengalihkan fokus pada kegiatan lainnya, pemikiran tentang ada sesuatu yang terjadi pada Gia membuat nilaiku terjun bebas.
Gia, sebenarnya kamu itu sedang ada masalah apa?
"Kau tak apa?" Suara dari arah belakang membuatku menoleh. Gadis manis dengan helaian lurus berwarna cokelat kemerahan memandangiku yang tengah membaca beberapa surat. "Masih tak ada balasan?" tanyanya kemudian ikut duduk di bangku taman sekolah.
"Nihil. Gia seakan-akan sudah tak ada lagi," balasku kemudian kembali terhanyut pada bacaan. Surat-surat Gia yang kusimpan dalam kotak kayu berukir.
"Kalau begitu, kenapa kau tak langsung ke sana aja, sih. Temui dia, mungkin saja dengan begitu akan lebih tenang." Kugelengkan kepala, percuma.
"Orangtuaku tak mengizinkannya. Selama aku masih SMP, aku tak bisa keluar dari kota ini."
"Orangtuamu cukup keras, ya," ujarnya kemudian terkekeh. Aku yang mendengar hanya tersenyum simpul.
"Yah, berbeda dengan orangtuamu, Tera." Gadis itu memanyunkan bibir saat mendengar balasanku.
"Kamu ini, kan sudah kubilang jangan bahas mereka," gerutunya sembari memalingkan muka. Tera adalah anak pindahan di kelasku waktu itu, meski pada awalnya dia selalu mengatakan ucapan kelewat sopan, akibat sering bergaul denganku dan anak kelas lainnya kekakuan dalam bertutur katanya mulai berkurang. "Ah, belnya sudah berbunyi, saatnya ke kelas, Cass." Yah, meski demikian sifat ambisius dalam belajarnya tak pernah berubah, sih.
Enam bulan lewat tiga hari, pagi itu ada surat datang. Sontak aku segera berlari ke kotak pos dan melihat pengirimnya. Gia, gadis itu akhirnya membalas suratku!
Tak bisa membendung euforia, aku lantas berlari kencang ke lantai dua, kuabaikan teriakan Mama, juga gerutuan Adikku karena kamarnya berada tepat di bawah tangga. Pikiranku hanya terfokus pada membuka surat dan membalasnya segera.
Maaf balasanku lama. Beberapa bulan ini, aku sangat sibuk sampai tak bisa membalas suratmu. Kabarku baik-baik saja.
Alasanku tak datang waktu itu karena kondisiku yang tiba-tiba drop sampai masuk rumah sakit. Aku minta maaf ya, padahal kamu pasti menungguku di gerbang.
Ah, hanya segini yang bisa kutulis sekarang, maaf singkat. Aku ada urusan. Kuharap kamu sehat-sehat saja di sana.
Salam dari Gia.
Satu kata yang membuatku berkerut ketika membaca suratnya. Aneh. Tulisan Gia kali ini tampak berbeda. Bukan berarti sepenuhnya beda, tetapi ada beberapa hal yang tak berada di posisi seharusnya.
Sebagai orang yang membaca suratnya setiap hari selama hampir setahun, sekali lihat saja aku paham ada sesuatu yang berbeda, tetapi aku menepiskan fakta itu. Kuambil pena dan kertas, sudah saatnya kembali membalas surat dari Gia. Syukurlah, dia tak apa-apa.
Surat yang kukirim kembali tak mendapat balasan. Meski demikian sebulan kemudian balasan kuterima. Isinya tetap sama, dia sedang sibuk dan tak bisa membalas sering-sering. Jarak antara kami makin menjauh seiring berkurangnya interaksi membalas surat.
Meski begitu, semua harus tetap maju, kuputuskan tak lama-lama bermurung, lagipula saat SMA aku bertekad akan menemuinya.
Aku ... akan tinggal di kota Gia.
"Kau ingin melanjutkan pendidikan di SMA kota sebelah?" Suara Ayah membuatku tersentak sejenak. Kupilin baju yang sedang kukenakan, kepalaku tak berani terangkat meski aku ingin.
"Ya, Yah. Di sana itu ada SMA yang memiliki pendidikan lebih baik dari kota kita. Lulusan sana juga lebih mudah masuk ke universitas unggulan karena sistem belajarnya yang baik." Sebenarnya, ini hanya alasan saja. Tujuan utamaku bersikeras bersekolah di sana hanya karena ingin menemui Gia.
Kepalaku yang masih menunduk mengintip ayah yang mengambil cangkir teh. Bagus, biasanya kalau begini ayah setuju.
"Ayah izinkan. Tapi, buat indekos biar ayah yang carikan. Kebetulan teman ayah tinggal di kota sebelah." Mendengar ucapannya kepalaku naik seketika, senyum terbit dan secara refleks aku berdiri dan memeluk ayah, membuat cangkir tehnya hampir jatuh.
"Terima kasih, Ayah!"
"Sama-sama."
Kelas tiga dan sebentar lagi lulus, itulah predikatku saat ini. Dengan berat hati kutinggalkan kegiatan teater dan fokus pada pelajaran. Aku berjuang mati-matian agar diterima di SMA tersebut, dan berkat bantuan Tera akhirnya aku mengamankan satu bangku di sana.
Tera sendiri lebih memilih kembali ke tanah kelahirannya untuk melanjutkan pendidikan. Pada akhirnya kami berpisah, meski demikian gadis itu berpesan agar tak melupakannya.
Anak teater kali ini terlalu manis. Mereka sengaja mengadakan acara kecil-kecilan untuk melepas angkatanku. Tak dimungkiri beberapa menangis tersedu sembari memelukku. Hei, padahal aku tak ingin dilepas dengan begini, loh.
Meski begitu, aku malah ikutan menangis. Memori selama berada di sini membuatku tanpa sadar ingin memutar waktu lagi, semua terlalu indah dan meski ada beberapa hal tak mengenakkan, tetapi kejadian itu yang membuatku tetap maju.
Saat bulan Maret datang, aku benar-benar dinyatakan lulus. Banyak teman seangkatan yang saling berfoto ria, ada pula yang menangis karena harus berpisah. Ya, perpisahan itu hal yang tak bisa dihindari, bukan?
"Kau tak ingin berfoto denganku? Besok aku udah nggak di sini, loh." Tera datang dengan senyum lebarnya. Gadis itu membawa kamera polaroid di tangan kanan, sedang tangan kiri memegang dua buah bando berbentuk telinga kucing.
"Kau ... serius mau pakai bando itu? Nggak cocok dengan pakaian kita, loh."
"Biarin, aku ingin berfoto dengan bando ini." Kuembuskan napas, sebelum memberikan senyum.
"Ya sudah, terus, siapa yang akan memotret?" Menjawab pertanyaanku, Tera menarik seorang siswa yang tak jauh dari kami. Dengan wajah sedikit tak suka pemuda itu mengarahkan kamera, menekan tombolnya kemudian sebuah lembar foto keluar, kembali mengulangi hal serupa sampai beberapa lembar foto terkumpul.
"Nah, karena ada empat, masing-masing ambil dua. Aku ambil yang ini." Tera segera mengambil foto tak siapku
"Ah, jangan!"
"Nggak, pokoknya aku mau simpan yang ini."
Begitulah perpisahan SMP-ku berlangsung, ketika esok datang, aku sudah harus pergi dari rumah. Karena Ayah hanya akan mengantar sampai depan indekos, lalu aku harus berjuang sendiri selama tiga tahun di sana.
Tak apa, aku bisa. Dengan begitu, aku pergi. Mama sempat hampir menangis, tetapi dia tetap tersenyum. Adikku yang masih SD hanya memandang mobil yang ayah kemudikan. Sedang ayah, dia terlalu fokus pada jalanan sampai tak mempedulikan anak gadisnya yang duduk di samping.
Gia, tunggu saja. Aku akan menemuimu.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Limited You [✓]
Teen FictionTak datangnya surat yang selalu ia nantikan, membuat Cassandra kalang kabut, penuh dengan pemikiran aneh. Dia selalu mengirim surat ke alamat yang sama, selama dua tahun, untuk memenuhi janjinya. Merasa ada yang ganjil, Cassandra memutuskan untuk da...