"Kak, jika aku tidak ada lagi, tolong janji sama aku, ya." Suaranya yang sedang terbaring membuatku mengerutkan kening.
"Ngawur," ujarku sembari mengganti kompres instan yang sudah kering. Gadis manis yang sudah bersama denganku sejak kecil itu terkekeh. Matanya sedikit berair membuat hatiku kelu.
"Aku beneran, loh. Kalau misal ada apa-apa denganku, jangan beritahu siapa pun, ya."
"Konyol, mana mungkin itu terjadi. Orang pasti akan tahu juga nanti." Kusentil sedikit dahinya, membuat dia mengerang. Padahal sentilanku tak kuat, lo.
Setelah itu aku tak menggubris perkataan aneh gadis itu lagi. Tampaknya karena demam tinggi, dia meracau tanpa pikir panjang. Ya, wajar, sih.
"Kak."
"Apa?" Aku melirik pada gadis itu lagi, dia sempat menutup dan membuka mulutnya sebelum sebuah permintaan lainnya keluar.
"Kakak ingat, kan? Surat dari Cassa waktu itu?" Surat? Aku berusaha mengumpulkan kepingan memori, kemudian ketika teringat wajah berseri adikku saat membaca sepucuk surat aku mengangguk.
"Soal teater, 'kan? Kalau Kakak tak salah."
"Iya, pentasnya hari ini. Aku tak bisa pergi, apa Kakak bisa menggantikanku?"
Aku terdiam, sejujurnya, ada beberapa tugas yang harus aku lakukan, tetapi melihat mata berbinar penuh pengharapan itu membuatku membuang napas dan mengangguk.
"Ya, aku akan ke sana. Hanya perlu hadir dan menyapanya saat acara selesai, kan?"
"Yes, terima kasih, Kak El."
Langsung saja, aku segera bersiap-siap. Tanpa sengaja aku melihat seorang memasukkan sesuatu di kotak pos. Dengan penasaran aku keluar, melihat siapa gerangan yang mengirim surat.
Nama Selen tertulis di depan surat, lengkap dengan alamat rumah. Namanya asing, tetapi tampaknya ini surat untuk adikku. Jadi, ketika dia tertidur dan sebelum aku pergi, kuletakkan surat di nakas.
Lamanya perjalanan ke sana meski aku menggunakan kereta cepat tak membuatku bernapas lega. Jujur saja, tugas sekolah masih teringat jelas di pikiran. Seakan-akan mereka hantu yang akan memburuku sampai ke alam baka.
Ketika sampai di depan sekolah yang dituju, suasana ramai menghiasi mataku. Ah, Sial. Rupanya sekolah ini luas juga. Dengan pemikiran tersebut, sembari mengambil pamflet melihat denah yang sangat berbeda dengan di hadapan saat ini.
Suara seseorang tak lama masuk ke telinga ketika aku sedang sibuk melihat pamflet. Gadis kecil seperti anak SD menanyakan tentang keperluanku. Tanpa sadar aku menjelaskan situasinya, sungguh, tujuan kami ternyata sama. Dalam sekejap kami sampai di auditorium. Anak itu segera pergi ke balik layar. Tampaknya dia salah satu anggota teater sekolah ini.
Setelah duduk di bangku yang ditentukan, aku menunggu tirai terbuka. Rasanya sudah lama aku menonton pertunjukan teater. Terakhir kali karena paksaan dari adikku yang keras kepala tersebut. Belum sempat tirai terbuka, ponselku bergetar dalam saku. Nomor adikku. Ada apa, ya?
"Halo? Kenapa?"
"Ah! Benar ini dengan Bapak Rifael?" Suara berat terdengar dari speaker ponsel, membuatku mengerenyitkan dahi. Ini bukan suara adikku, siapa dia?
"Ya. Ini siapa? Ke mana adikku?" Tanpa sadar aku melepaskan suara dingin. Sabar, Rifael.
"Soal itu, adik Bapak ...."
"Adikku kenapa?!" Suaraku sedikit naik, membuat beberapa orang melirik kepadaku.
"Adik Bapak sudah tiada." Duniaku hancur mendengar ucapan tersebut. Apa maksudnya? Bercanda, kan?
"Pak, jangan main-main, ya." Sembari berkata demikian aku bangkit, berjalan keluar auditorium guna melanjutkan percakapan.
Apa maksudnya ini? Kenapa dia malah ada di sekolah? Takdir macam apa ini. Dengan pemikiran tersebut aku melewati waktu dengan penuh kecemasan di dalam kereta cepat. Tak butuh waktu lama untuk sampai di tempatnya. Sebuah sekolah yang sepi karena hari ini anaknya diliburkan sebab rapat. Matahari yang menyengat kulit tak membuatku menghentikan langkah, berjalan makin ke belakang di mana lokasi adikku berada.
Beberapa orang berdiri di sana, mereka memandangku ketika aku sampai. Seorang gadis berada dalam posisi tengkurap. Tanah di sekitar tubuhnya berubah menjadi lebih gelap dari yang seharusnya.
Apa-apaan ini?
Beberapa orang berbicara kepadaku, tetapi suaranya tak melekat di telinga. Alih-alih menangis, aku memandang ke arah langit, pada seorang pemuda yang mengulurkan tangannya dari pagar besi yang rusak. Mata kami bertemu, aku memandang nyalang padanya. Pemuda itu segera mundur, kemudian menghilang dari pandangan.
Ah, tanpa perlu bertanya aku juga tahu siapa dia dan kenapa adikku bisa ada di bawah. Pemuda itu, Arutala Baswara. Dia baru saja membunuh adik tersayangku, Gita Anindya Akshara.
Kedua orang tuaku jelas-jelas kaget saat tahu anak gadisnya meninggal dengan cara mengenaskan. Namun, alih-alih menuntut pertanggungjawaban, setelah Arutala dengan munafiknya menolak tuduhan yang kami berikan, dua insan itu memilih menutup kasus dan pindah ke kota lain. Mereka menutup rapat-rapat fakta bahwa anaknya telah mati, menyamarkannya dengan alasan pindah.
Mereka mengajakku, tetapi aku tak ingin tinggal dengan orang tua yang menganggap reputasi lebih penting daripada keselamatan dan keadilan anaknya. Jadi, kuminta satu hal pada mereka. Aku ingin tetap tinggal di rumah tersebut, dan kuharap bisa membuka indekos agar rumah tak sepi.
Mereka setuju, tampaknya karena kutawari pembagian hasil indekos. Ah, sialan. Orang tua sampah. Dengan dengan begitu, mereka benar-benar pindah, meninggalkan anaknya yang masih berada di bangku sekolah sendirian bersama seorang wanita paruh baya yang ditunjukkan sebagai wali.
Setelah kejadian itu hariku tak pernah berjalan sebagaimana mestinya. Aku yang memang sejak awal pendiam semakin menutup diri, jujur saja, aku lelah pada manusia. Dalam relung hati terdalam juga terdapat dendam pada Arutala, pemuda yang merenggut nyawa Gia.
Barang-barang gadis itu kubawa semua ke dalam kamar, bersama dengan kotak berisi surat dari sahabatnya, Cassa. Sempat beberapa kali surat terbaru Cassa datang, butuh waktu lama bagiku untuk meniru tulisan adikku. Dan surat yang kubalas ialah tentang tak hadirnya Gia saat pentas berlangsung.
Surat tetap datang, Cassa sedikit protes kenapa balasan dari temannya Gia selalu datang berbulan-bulan kemudian. Aku, yang memainkan peran Gia hanya berusaha mengelak semaksimal mungkin. Dan akhirnya, ketika ujian kelulusan dan masuk universitas semakin dekat, aku tak pernah memainkan peran itu lagi.
Meski waktu kematiannya telah cukup lama terlewati aku tak bisa melupakan Gia. Adik manis dengan sifat keras kepala. Pendiam, tetapi juga usil. Gadis yang sangat ingin kulindungi tetapi malah tak bisa kulaksanakan. Ketika kupikir tak ada yang akan mengingatnya lagi selain diriku, gadis itu datang. Ikut tinggal di Indekos dan mencari fakta tentang kepindahan dari sahabatnya, Gia.
Cassandra Anastasia Putri, gadis kelas satu SMA yang rela terpisah dari orang tua demi bisa bertemu dengan sang sahabat. Apa yang harus aku katakan ketika dia menemukan kebenarannya?
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Limited You [✓]
Teen FictionTak datangnya surat yang selalu ia nantikan, membuat Cassandra kalang kabut, penuh dengan pemikiran aneh. Dia selalu mengirim surat ke alamat yang sama, selama dua tahun, untuk memenuhi janjinya. Merasa ada yang ganjil, Cassandra memutuskan untuk da...