27. Saatnya berdamai (Aru)

9 3 11
                                    

Saat Kak Rifael datang, kutelan ludah. Sudah saatnya mengatakan hal yang terjadi kemarin. Meski berkata perasaanku kosong, sedikit rasa bersalah menyentil hati nuraniku. Bagaimana pun kenyataannya, tindakanku membuat orang yang menyayangi Gia kehilangan sosoknya.

"Cassa tadi bilang kamu ingin mengatakan sesuatu soal kemarin, jelaskan saja sekarang." Suara dingin Kak Rifael makin terasa saja, meski begitu aku membersihkan tenggorokan kemudian membuka suara.

***

"Kamu tak apa?" Aku memandang gadis itu lama, dia sedang berjongkok sembari memegang perutnya. "Apa kubilang, jangan makan yang pedas kayak tadi. Udah berlebihan banget tau," lanjutku kemudian, dibalas tawa kecil sang gadis.

"Ya maaf. Habisnya kelihatan enak, dan pas dimakan, walau pedas enak, loh." Aku mengabaikan perkataannya, malah menyodorkan sebotol air mineral yang segera gadis itu minum sampai tandas.

Cahaya sore menyinari wajahnya yang tersenyum saat menyerahkan botol mineral. Aku menerimanya tanpa sadar. Ah, gadis ini manis.

"Kamu tau nggak sih, menghabiskan waktu denganmu itu sangat menyenangkan," ucap gadis itu demikian. Aku, yang melihatnya hanya dapat menahan rasa malu menjalar sampai ke wajah. Ah, tidak. Tahan, Aru, tahan serangannya.

"Yah, aku tau, Gia," jawabku setelah membersihkan tenggorokan. Percayalah, meski berkata seakan-akan tak memedulikan ucapan Gia, selama dua hari berturut aku selalu kepikiran akan dirinya.

Sudah lama sejak kami bertukar pesan dan ternyata gadis itu tahu tentang pengirim surat itu. Jujur saja, aku malu kala mengetahuinya. Sikapnya yang semula enggan berangsur menerima. Tentu saja, aku senang, dengan begitu aku akan mendapatkan satu lagi teman. Namun, perasaan apa ini? Rasanya jantungku selalu bertalu kencang saat melihatnya bahagia. Ah, gawat. Apa aku terlalu senang mendapatkan teman?

Meski hatiku selalu laksana naik roller coaster, aku tetap berada di dekatnya, semaksimal mungkin ada kala dia butuh sandaran. Lama-lama, perasaanku makin kuat terhadapnya, semuanya berada di batas normal, hingga aku kemudian mewakili sekolah bersama Gia untuk mengikuti  lomba.

Siapa duga, kami membawa pulang mendali. Menjadi kebanggaan satu sekolah. Kami juga semakin dekat, terbukti dengan gadis itu yang lebih dulu mendekatiku. Sungguh, tak ada yang lebih sempurna daripada ini.

Apa ini sudah saatnya? Menyampaikan segala perasaan yang kupendam. Kepadanya, sang pujaan hati. Dengan pemikiran itu aku kembali menulis surat padanya, dengan segala pemikiran dan kata-kata indah semampuku. Kusampaikan perasaan, berharap akan terbalas dengan hal yang sama.

Akan tetapi, alih-alih mendekat, setelah balasannya Gia benar-benar menghindar. Penolakan ada di dalam suratnya. Hal tersebut memang membuatku patah hati, tetapi aku tak ingin hanya karena itu persahabatan yang lama kami bangun hancur seketika.

Saat itu semester dua kelas satu, aku dan dia kembali mendapatkan kesempatan sebagai perwakilan sekolah. Namun, tak sengaja aku melihatnya, gadis itu berada di kondisi lemah. Dia semakin mudah sakit dibandingkan semester lalu. Cemas dengan fakta tersebut, tanpa memberitahunya aku menggunakan posisi sebagai anak donatur untuk memberikan kesempatan kepada orang di bawah kami.

Pada akhirnya, Gia tak jadi ikut lomba bersamaku. Walau kulihat wajahnya kecewa, aku tak bisa membuatnya malah jatuh sakit. Namun, apa ini? Kenapa gadis ini tahu tentang kejadian di balik panggung tersebut?

Gia, sehari sesudah lomba meminta bertemu denganku di atap sekolah. Wajahnya merah padam, pakaiannya sedikit acak-acakan. Dia tahu, fakta bahwa aku bermain di balik punggungnya.

"Kenapa?" tanyanya dengan suara parau. Ah, dia sakit, ya?

"Apanya yang kenapa?" Aku berusaha tak tahu apa-apa, tetapi hal itu malah membawa bencana.

"Tak usah sok tak tahu! Kau, kan?! Yang membuatku tersingkir dari posisi wakil lomba untuk sekolah?!"

"Ah, itu?" Aku, masih berusaha jadi orang yang tak bersalah. "Ya, memang aku, sih. Bukan apa-apa, kamu posisinya gampang sakit. Kau kira aku mau berpartner dengan orang yang bisa saja tiba-tiba jatuh sakit? Nggak dong." Maaf, Gia. Kali ini aku harus berlaku begini.

"Tetap saja! Apa karena penolakanku kau jadi begini!" Ah, sial. Kenapa dia mengungkit penolakan itu? Aku tak ingin jadi memberi alasan begitu.

Namun, meski begitu aku tersenyum dan mengangguk. "Ya, terus, kenapa? Masalah?" Maaf, aku harus menghancurkan benang yang sudah rapuh ini.

"Kau—!" Belum sempat dia berkata, Gia mundur ke belakang. Tubuh gadis itu kehilangan keseimbangan saat menyadari sudah terlalu tepi, tumbuhnya menabrak pagar besi, aku terlalu lama merespons. Tanganku baru terulur saat suara keras dan tubuhnya bertemu tanah. Terpaku pada pemandangan di bawah sana, ketika aku menyadari seseorang memandang tajam diriku, aku segera turun.

Akan tetapi, belum juga menapak pada anak tangga, badanku limbung. Ah, apa aku akan mati?

***

"Bohong." Kak Rifael menjadi pihak yang menyangkal ceritaku. Kulihat Cassa diam. Ah, gadis itu, pasti berat untuknya. Siapa pula yang tak merasa berat karena dibohongi selama bertahun-tahun? Kalau aku yang jadi dia, pasti sudah meledak sejak kemarin.

"Aku tak berbohong. Kakak sendiri kata Mama sudah lihat rekaman CCTV, kan?" Aku berkata demikian, Kak Rifael terdiam. Ah, dasar, terimalah kenyataan. Tolong, jangan membuat orang salah paham lagi.

"Aku—"

"Jadi, Kak Rifael melihat rekaman CCTV dan masih menyalahkan Aru?" Cassa memotong ucapan Kak Rifael. Kulihat wajah gadis itu, berkerut dua belas.

"Ya, aku memang melihatnya, tapi kan bisa saja dia ...."

"Bisa apa? Bisa memanipulasi rekaman CCTV? Kakak kebanyakan nonton drama misteri-thriller." Oh, bagus, Cassa. Kudukung dirimu dari sini.

"Kuharap kalian tak memperpanjang masalah ini. Seharusnya, aku sebagai pihak yang dibohongi yang melakukan penolakan. Bukan orang yang jelas-jelas melihat bukti kuat. Kumohon, relakan dia. Kalian tak ingin melihat dia terbebani oleh tindakan kalian sekarang, kan?"

"Tidak Cassa, dia itu—"

"Kak Rifael! Relakan! Aku tahu, berat. Tapi kakak lebih tahu, kan? Akulah pihak paling tak rela saat ini." Cassa tampaknya menahan nangis saat ini. Kak Rifael dan aku hanya diam saja.

"Aku ... tak menduga, tujuanku ke sini sudah tak ada. Niatku ke sini untuk bertemu dengannya lagi. Menjalani kehidupan SMA dengan tawa. Namun, lihat sekarang? Saat kutahu dia tak ada lagi, kalian yang jelas-jelas tahu faktanya dari dulu memilih masih terbelenggu dalam nestapa dan rasa curiga. Bisa kalian bayangkan bagaimana Gia saat ini? Jadi, tolong. Relakan."

Tangisnya pecah setelah menyelesaikan kata-katanya. Aku tetap diam saat tangisan itu makin besar. Cassa memanggil nama Gia beberapa kali. Gadis itu, yang kehilangan temannya, kuharap hidupnya tak akan lebih menderita daripada saat ini.

Yah, kita, tak bisa terus terbelenggu dalam masa lalu. Dengan begitu kupandang Kak Rifael, yang sama-sama sedang menatapku.

Sudah saatnya merelakan, ya.

****

Limited You [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang