24. Atap

4 3 5
                                    

Hampir saja aku menolak penawarannya, jika tak teringat pada ucapan Kak Nia sebelumnya.

"Hanya lima menit. Aku tak akan memberi kesempatan lainnya," ujarku masih memasang wajah gahar. Kak Rifael mengangguk, dan dia segera memintaku mengikutinya ke arah ruang bawah tanah. Debu yang cukup tebal membuatku beberapa kali terbatuk, tetapi tampaknya Kak Rifael tak terganggu sama sekali.

Tak lama dia berbalik, di tangannya ada sebuah berkas. Aku menaikkan alisku kemudian.

"Apa itu?" tanyaku kemudian.

"Buka aja. Ada jawabanku di sana." Aku terdiam. Menerima berkas kemudian membukanya dengan kebingungan yang menguasai. Sebuah lembar berisi nama dan nomor induk kependudukan serta sepucuk surat.

Surat yang menjadi perhatian utamaku, kubuka kertas yang terlipat dan mulai membacanya.

Untuk Kak Rifael, Keluarga satu-satunya Gia.

Hai, Kak! Ketika melihat kalender hari ini, aku teringat pada satu memori kita. Ketika Kakak dengan gagahnya menggendong aku yang jatuh. Padahal hari itu hari yang penting bagi Kakak, kan? Lantas kenapa Kakak rela mengorbankan waktunya demi aku? Di saat teman-teman Kakak sudah memanggil.

Yah, meski banyak kejadian kita adu argumen, juga saat dirimu tampak muak melihatku, tetapi kamu tetap menjadi pahlawanku.

Selamat ulang tahun! Semoga berkahnya selalu menyertaimu! Jangan lupa nanti traktir adikmu yang imut ini, ya!

Ah, terakhir. Aku punya teman loh selain Cassa. Namanya Arutala. Dia anak yang aku dan Cassa tolong saat masih kecil. Kakak ingat kan, kejadian kami pulang malam-malam? Yah, nanti-nanti kukenalkan, deh.

Salam, dari Gia.

Surat singkat dengan makna ucapan selamat ulang tahun. Tulisan Gia tertoreh di sana, aku memandang Kak Rifael sebentar sebelum mengalihkan pandangan pada kartu keluarga.

"Jadi ... Kakak nggak bohong?"

"Aku tak bohong soal Gia."

Tak bohong, lantas, kenapa diam saja padahal aku mencari dia? "Hah, yang benar saja. Kalau sejak awal Kakak ada hubungannya sama Gia, kenapa nggak langsung bilang! Kenapa hanya menjadi pengamat ketika aku kehilangan arah petunjuk!" Untunglah kami ada di sini, aku tak perlu takut dengan pandangan anak indekos.

"A-aku—"

"Aku apa?! Yang jelas ngomongnya!" Ah, okeh. Emosiku tak terkontrol. Sabar, Cassa.

"Aku hanya menjalankan ucapan terakhir Gia."

"Hah? Apa maksudnya?" Cerita tentang Gia mengalir dari mulut Kak Rafael. Tentang kebenaran keberadaan Gia, dan juga tentang hubungan Aru serta Gia. Jujur saja, aku tak bisa berkat apa-apa saat mendengarnya.

Jadi, untuk apa aku ada di sini?

"Aku tahu kamu pasti tak terima, tapi apa dayaku? Aku hanya menjalankan keinginan terakhir Gia."

"Lantas, soal orang tersayang Kakak itu ... Gia?" Dadaku berdegup kencang, menanti jawaban dari pemuda yang berada di depanku. Kuharap itu bukan dia, kuharap Gia memang pindah, kuharap ....

"Iya, itu Gia." Jawaban yang membuat duniaku hancur seketika. Ah, kenapa kau berharap itu bukan dia ketika jelas-jelas bukti mengarah padanya?

"Sejak ... kapan?" Cairan dari mataku mulai berdesakan keluar, tetapi sekuat tenaga kutahan. Tidak, aku masih bisa tahan pada faktanya, kok.

"Menjelang kenaikan kelas dua SMP." Ah, sekarang aku tahu. Gia ... bukan tak ingin datang, tetapi tak bisa datang. Bodohnya aku.

Meski begitu malah pertanyaan konyollah yang kutanyakan setelahnya. "Kalau begitu, siapa yang mengirim surat padaku setelah kematiannya? Walau lama, tetap ada balasan sampai kelas dua SMP." Kak Rifael terdiam. Dengan jemarinya dia menunjuk diri sendiri.

"Butuh waktu agak lama untuk menyalin tulisannya, dan karena kegiatanku yang semakin sibuk, aku tak bisa membalas lebih banyak." Ah, sialan. Kenapa tak langsung bilang saja, sih.

Meski memiliki batin demikian, aku malah berkata hal yang lain. "Soal Aru. Mereka kan sekelas, kenapa dia bisa lupa pada keberadaan Gia?"

Wajah Kak Rifael datar membalas ucapanku. "Dia hanya sengaja pura-pura. Jelas-jelas dialah pembunuhnya, kamu tak usah percaya padanya.

"Tapi ... ah, lupakan." Perasaanku makin campur aduk. Terpikirkan pada masalah ingatan Aru dan kematian Gia. Perasaan sedihku memang menguasai, tetapi aku tak bisa terpuruk dalam emosi itu. Terlalu banyak celah dalam masalah ini, terlalu banyak beban yang hampir  membuatku tak bisa merasakan perasaan terkejut lagi.

Sekali lagi, meski dia tak ada, dunia tetap berlalu bagi manusia yang masih bernapas. Kenyataan kejam itu selalu membuatku miris ketika mengingatnya.

Apa yang harus kulakukan sekarang? Tujuanku sudah hilang sejak dahulu. Kehilangan motivasi membuatku menyia-nyiakan waktu sampai ujian semester datang. Padahal, baru saja lewat ujian MID, kenapa waktu cepat berlalu?

Dapat kupastikan nilaiku banyak yang turun. Aku tak sempat belajar.

"Kenapa?" Aru bertanya saat aku menghela napas setelah jadwal ujian berakhir. Aku hanya melihatnya sekilas sebelum mengalihkan pandangan.

Ah, perasaanku campur aduk setiap melihatnya.

"Kau kenapa, sih? Apa aku bikin masalah?" Tidak, bukan begitu, Aru. Masalahnya terletak pada ucapan Kak Rifael.

"Kau, benar-benar tak ingat tentang Gia?" Mendengar jawabanku Aru terdiam. Pemuda itu memandangku lekat sebelum mulutnya terbuka.

"Tentu saja, Kau pikir aku mau berbohong, gitu."

"Yah, siapa tahu saja kamu ingin menutupi kenyataan yang bisa membahayakanmu."

"Apa maksudmu?" Pada ucapan Aru aku hanya mengedikkan bahu kemudian berdiri.

"Lupakan, aku hanya asal ngomong." Aru tak terima pada ucapanku, tangannya terulur, menahan diriku yang hendak pergi.

"Kau tak percaya?" tanyanya dengan nada rendah, membuatku terdiam dahulu.

"Maaf saja, kesaksian keluarga korban lebih membuatku yakin padanya. Kau ... ada bukti?" Tangan Aru terlepas.

"Aku memang tak ada bukti ...," ujarnya terdiam, membuatku tetap di tempat untuk menunggu kelanjutan ucapannya. Mendengar tak adanya balasan membuatku segera berlalu.

Ah, terserah! Aku sudah lelah dengan masalah ini.

Meski berniat demikian, di sinilah aku. Berdiri di atap SMP ketika sekolah pulang lebih awal. Memperhatikan langit biru yang sedang bersama awan, membuatku teringat pada ucapan Aru tentang mimpi anehnya.

Jangan bilang ... itu ada hubungannya dengan hilangnya ingatan Aru? Dengan pemikiran tersebut aku membuka ponsel, nama Aru ada di log panggilan. Apakah ini keputusan yang tepat? Aku tak tahu. Tapi, aku harus tahu alasan sesungguhnya Gia tiada. Gadis itu tak bodoh sampai sengaja bunuh diri.

Akan tetapi, alih-alih menekan nomor Aru, tanganku tak sengaja turun ke arah nama Kak Rifael. Aku panik, hendak mematikannya saat suara Kak  Rifael muncul. Ah, cepat sekali dia mengangkat telpon diriku?

Bingung ingin membalas apa, pemikiran aneh membuatku berkata seenak jidat.

"Kakak, bisa ke atap SMP Gia sekarang? Lokasi Gia meninggal."

Setelah menelepon kedua orang yang membuat hidupku tak tenang, aku menunggu sembari sedikit melirik lantai bawah. Terbayang Gia yang ada di sana membuat dadaku nyeri teramat sangat. Aku tak bisa membayangkan betapa sakitnya dia, setelah terjun bebas harus terhempas di tanah keras.

Air mataku kembali mendesak untuk keluar, aku hampir saja menangis jika dobrakan pintu tak menghentikan aksiku. Di sana, berdiri dua orang manusia, saling memberikan pandangan menyeramkan.

Ah, sudah saatnya.

"Aku ingin kalian jujur. Siapa di antara kalian yang berbohong soal Gia?"

****

Limited You [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang