9. Jangan Dekati Dia

15 10 130
                                    

Jarum jam yang terdengar karena sepinya ruangan, juga cahaya jingga tua yang masuk melalu sela jendela menjadi latar kami saat ini. Pemuda itu masih duduk di sana, sibuk menuliskan sesuatu. Kurang lebih satu menit kemudian dia menutup buku cepat, membuat keluarnya bunyi hentakan ketika segala kertas itu bertemu.

Mencoba mengabaikan tindakannya, aku menutup kedua mata. Kepalaku masih pening, alangkah lebih baiknya bisa istirahat di sini lebih lama lagi.

"Oi, bagun. Sekolah sudah bubar, keluar sekarang, kamu kan sudah istirahat di sini dari tadi." Namun, belum juga terlelap suara seseorang membuatku membuka mata dengan sebal. Pemuda yang sebelumnya memberikan senyum ramah sekarang malah memandangku dengan kesal. Posisinya yang berdiri membuat pencahayaan terhalang.

"Sebentar lagi dong, masih pusing nih," protesku sembari menutup mata dengan lengan, tetapi belum sampai tanganku di atas mata, tarikan kuat membuat pandanganku berubah drastis.

"Hei! Apa-apaan sih!" Pemuda yang menjadi pelaku penarikan tanganku hanya melihat dengan datar. Dia melepaskan tanganku.

"Berdiri sekarang, jangan terlalu manja." Mendengar ucapannya membuatku melotot parah.

Dengan rasa panas yang rasanya menyebar ke seluruh tubuh aku berdiri. "Siapa pula yang manja, kalau bukan karena sakit mana mungkin aku begi-" Belum selesai ucapku keseimbangan tubuh hilang, yakin akan jatuh aku memejamkan mata, lebih baik sakit saat mata tertutup. Namun, alih-alih sakit, tubuhku melayang di udara.

"Hah, merepotkan. Kalau memang tak bisa berdiri ngomong dong." Suara di belakangku berkata demikian. Pemuda itu memegang kerah seragamku, untung saja bajunya tak rusak.

"Apa katamu tadi? Bilang kalau tak bisa berdiri? Halo, siapa di sini yang menyuruh orang sehabis bangun dari pingsan karena terkena bola tepat di mukanya? Anda, kan." Pada ucapan ketusku pemuda itu hanya mendengus. Hah, yang benar saja. Ke mana pemuda ramah sebelumnya?

Tak mendengar ucapanku, pemuda ini malah memapah dan segera membawaku keluar dari ruangan. Dia tak mempedulikan segala protes dariku, tas milikku entah kenapa sudah ada di salah satu bahunya. Dengan begitu, kami pada akhirnya sampai di depan gerbang sekolah.

"Aku hanya bisa mengantarmu sampai sini. Sekarang, panggil orang tuamu." Nada ketusnya masih tak hilang, dengan kesal aku membuka ponsel setelah bisa menyender pada tiang gerbang. Baru akan menekan tanda panggilan, aku teringat bahwa kondisi sekarang hanyalah tinggal sendiri. Jadi, dengan senyum tak enak aku memandang pemuda itu.

"Ah, begini. Bukan bermaksud membuatmu makin marah, tetapi aku merantau dari luar kota."

"Yah, terus, apa masalahku?" Salah satu alisnya naik, membuatku diam karena bingung ingin membalas apa dan malah kembali fokus pada kontak di ponsel.

Beberapa nama terpampang di sana, ketika mataku memandang satu nomor tanpa banyak pertimbangan aku menekan tombol panggilan.

"Ah, halo, Kak? Maaf mengganggu. Kakak sekarang sedang di mana?" Pertanyaanku mendapat respon positif, setelah beberapa kali bertukar percakapan pihak yang di telepon mengiyakan permintaanku untuk di jemput.

"Sudah?" Pemuda itu bertanya setelah melihat arlojinya. Aku mengangguk saja. Cukup lama kami menunggu dalam diam, hingga seorang pemuda tinggi berkacamata datang dengan napas tersengal-sengal.

"Ah, Kak Fael. Maaf merepotkan Kakak," ujarku merasa tak enak lantaran Kak Rifael baru saja pulang dari kelas sorenya.

"Tak apa. Bagaimana kondisimu? Tak ada yang luka parah, kan?" Aku mengangguk, membuatnya mengembuskan napas.

"Syukurlah kalau begitu. Ah, siapa yang membawamu ke sini, aku harus berterima ka-" Ucapan Kak Rifael terhenti saat matanya melihat pemuda ketus di sampingku. Suasana aneh tercipta di antara mereka, membuatku yang merasakannya menjadi tak nyaman.

"Kak Rifael kenal sama dia?" tanyaku karena merasa mereka saling memandang cukup lama.

Menoleh padaku, Kak Rifael menggeleng. "Tidak, ini pertama kalinya aku melihat dia," ujarnya kemudian kembali memandang pemuda ketus. "kuucapkan terima kasih karena mau mengantarkan dia sampai gerbang."

"Ah, tak apa. Kalau begitu aku permisi." Pemuda itu kembali masuk ke dalam sekolah setelah menyerahkan tasku pada Kak Rifael. Pemuda yang umurnya lebih tua dariku memandang aku lekat sebelum berjongkok di depanku.

"Naik ke punggung sini."

"Eh, tak apa kah kak?" tanyaku tak enak hati lantaran harus digendong olehnya.

"Tak apa, udah naik aja." Dengan begitu aku segera naik ke atas punggungnya. Selama perjalanan tak ada yang angkat suara, kami memilih terhanyut dalam pemikiran.

"Pemuda tadi ..," Kak Rifael menggantungkan perkatannya. "Kamu kenal siapa dia?"

Kugelengkan kepala, menyadari Kak Rifael tak bisa melihatnya mulutku membuka. "Tidak, kami hanya kebetulan bertemu karena dia yang jaga UKS."

"Jangan dekat-dekat dengannya." Ucapan mendadak Kak Rifael membuatku heran.

"Kenapa?" tanyaku mencari informasi.

"Dia anak yang berbahaya." Kak Rafael berkata demikian, membuatku makin penasaran.

"Bahaya gimana kak? Di mataku nggak tuh."

"Bahaya, dia dulu aja pernah mau—" Ucapan Kak Rifael terhenti, membuatku yang mendengar keheranan.

"Pernah mau apa? Kalau cerita jangan tanggung-tanggung, Kak."

"Lupakan. Aku hanya salah ucap. Intinya dia terlihat kayak orang yang berbahaya, jangan dekati dia kalau mau tenang." Tak terima aku kembali bertanya lagi, tetapi Kak Rifael tak membalasnya bahkan sesampainya kami di Indekos. Mengingatnya malah membuatku semakin kepikiran dan ingin mencari tahu.

Niatnya sih begitu, tetapi mencari anak remaja laki-laki di sekolah dengan banyak siswa tak membuatku kerepotan. Meski sempat ke UKS untuk menanyakannya, karena cukup banyaknya petugas yang berganti tiap jam membuat kemungkinan bertemu dengannya semakin menipis.

"Hah, kalau tahu begini aku tanya saja namanya kemarin," keluhku sembari mengayunkan kaki. Duduk sendiri di bangku taman ketika jam istirahat ternyata bukan pilihan bagus. Lantaran di beberapa sisi aku tanpa sengaja melihat sepasang muda-mudi memadu kasih.

Oh, ayolah. Tolong kasihani orang jomblo satu ini. Meski membatin demikian, tampaknya tak akan berefek apa-apa. Dengan begitu aku berdiri dari duduk, hendak beranjak ke kelas saja ketika tanpa sengaja melihat pemuda yang kucari dari kejauhan. Sigap aku berlari mengejarnya. Kupanggil beberapa kali, tetapi tak menolehnya dia membuatku gemas sendiri.

Berjalan cepat aku segera menendang lipatan kakinya kuat, membuat pemuda itu kehilangan keseimbangan.

"Heh! Apa-apaan sih—"

"Salah sendiri dipanggil nggak dijawab," ketusku kemudian, menyilangkan kedua tangan di dada.

"Hei, apa maksudmu—"

"Lupakan. Ada yang ingin kukatakan." Belum juga angkat bicara kepalaku dipukul dengan kepalan tangan, membuatku mengaduh kesakitan. "Kenapa malah—"

"Makanya, kalau orang lagi ngomong jangan dipotong." Perkataan datarnya membuatku terdiam. Kuelus saja kepala, sembari melayangkan tatapan tajam yang tampaknya tak berefek pada pemuda ini.

Lama kami terdiam, pemuda itu memandangku. "Jadi, apa yang mau kau katakan?" Belum juga aku membuka mulut bel berbunyi. Membuat pemuda itu membuang napas. "Temui aku di atap gedung pulang nanti." Dengan begitu dia berlalu pergi, meninggalkan aku dan kepalaku yang masih berdenyut akibat pukulannya.

****

Limited You [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang