14. Bercabang

3 4 7
                                    

Rasanya deja vu. Duduk di ayunan tunggal bersama dengan seseorang tanpa adanya tukar kata. Angin sore yang berembus pelan menerbangkan anakan rambut.

Sungguh, aku benci situasi ini. Namun, apalah daya, aku tak bisa memaksa Aru. Tak ingin pemuda itu berubah pikiran dan mengulang perpisahan seperti aku dan Gia dulu.

"Jadi, aku menemukan ini di dalam kamar." Aru angkat suara, disodorkannya kertas berwarna biru, mengisyaratkanku untuk membukanya.

Untukmu, Apollo. Sang mentari yang menyinari duniaku.

Terima kasih, Apollo, telah menyinari hari-hariku yang gelap. Kau membuatku berkhayal, membayangkan apa yang terjadi jika kita bersanding.

Tapi Apollo, sepertinya keinginan ini tidak bisa terlaksana. Dunia tidak menghendaki adanya dua penuntun dalam satu waktu.

Kau, dengan sinar terikmu yang menyilaukan, menuntun dunia untuk menggapai mimpi. Senyumanmu membuat para jiwa yang kehilangan arah kembali mendapatkan arti sebuah kehidupan.

Sedangkan aku, aku hanyalah sang rembulan, yang menyinari lelapnya manusia setelah lelah berusaha. Kehadiranku hanyalah sebagai penenang hati yang resah.

Kuharap kau tak memendam perasaan benci padaku, Apollo. Percayalah, jauh dilubuk hati, aku selalu senang mengenalmu. Jadi, mari kita berteman, bahu membahu menciptakan dunia yang indah. Berdekatan, tetapi tidak bersama.

Salam dari Dewi bulan yang merebut hatimu, Selen.

"Kau ... sejak kapan menyimpan surat seperti ini?" tanyaku sembari masih memandang isi surat. Ini ... tulisan Gia, tak mungkin aku salah melihat. Masalahnya, kenapa ada di Aru?

"Kamu pernah tukaran surat dengannya! Lalu, kenapa mengaku tidak kenal?"

"Aku enggak pernah bilang gitu."

"Kamu—"

Tidak, dia benar. Dia tidak pernah mengaku mengenali Gia. Dia juga tidak bilang jika dia tidak mengenalnya, bahkan ketika aku bercerita.

"Jujur saja, sampai kau bercerita pun waktu itu, memoriku tak pernah menyatakan bahwa aku kenal pada Gia." Aru berkata demikian. Pemuda itu dari sudut mata kulihat mulai mengayunkan ayunan pelan.

"Kalau kamu pernah menerima surat darinya, artinya kamu pernah sangat dekat dengannya. Iya, 'kan? Kenapa bisa lupa?" Setelah mengatakan itu aku memandang Aru tajam, tak habis pikir pada alasannya kali ini. Sedang Aru, pemuda itu mengerutkan keningnya cukup lama.

"Aku ... tak tau. Aku tak ingat pada Gia, juga fakta bahwa seperti katamu 'aku bertukar surat dengannya'. Hanya ini yang bisa kuberitahukan, karena aku pun sekarang sedang kebingungan."

Jujur saja, walau sudah beberapa kali Aru mengatakan hal semacam itu, rasa ragu masih hinggap di hati. Namun, apalah daya, setelah membuang napas aku kembali membuka mulut.

"Apa tak ada yang kau ingat tentang Gia? Apapun itu tak apa."

"Aku ... aku yakin kami teman, tapi aku tidak ingat interaksi kami seperti apa."

"Coba ingat lagi, interaksi semacam apa yang kalian lakukan?" Kudesak dia, berusaha semakin mengorek informasi. Aku tak bisa kehilangan petunjuk sedikit pun tentang Gia.

"Kami ...." Aru terhenti, dia terlihat memegang kepalanya, membuatku segera menyelipkan surat di saku baju sebelum mendekat dengan panik yang melingkupi.

"Kau tak apa? Aru? Hei! Sadarlah!" Aku mengguncang bahunya cukup keras, membuat pemuda itu tak lama kemudian memfokuskan pandangannya padaku.

Aru menggelengkan kepalanya. "Maaf, maaf. Aku enggak apa-apa, ini hal yang biasa kok."

"Biasa apanya?" tanyaku dengan nadanya yang sedikit naik, Aru terdiam sebentar sebelum sebuah kekehan keluar darinya.

"Yah, biasa. Ketika aku terlalu memaksakan diri mengingat sesuatu, pasti pusing. Itu hal yang normal, kan?"

"Mana ada, aku biasa aja, tuh," celetukku tak melihat situasi. Ketika menyadari Aru memandang dengan aneh, kubersihkan tenggorokan dan mengalihkan topik. "Jadi, kamu ingat sesuatu?"

"Sayangnya, tidak." Jawaban Aru membuat dadaku yang semula melambung tinggi jatuh ke permukaan dengan drastis.

Mendapat petunjuk untuk kembali ke awal. Sudah berapa kali aku merasakan ini?

Sedikit terkekeh, aku menepuk bahu Aru sebentar. " Tak apa, tak perlu memaksa diri. Jika ada hal yang aneh lagi, bisa beritahu aku?"

Aru mengangguk, merasa tak ada yang perlu dibicarakan aku izin pulang lebih dulu. Malamnya, Kak Rifael masih belum pulang. Niat ingin segera memberitahu kandas di tengah jalan.

Hari esok juga tak semakin membaik. Kak Rifael tampak jelas menghindariku. Entah apa yang membuatnya berlaku demikian, tetapi hal ini cukup menggangguku. Chatku bahkan tak dia balas sejak kemarin. Ada apa, sih?

Tak bisa begini, aku harus mengambil tindakan. Dengan pemikiran begitu kutarik kak Rifael yang baru saja keluar dari kamar mandi. Wajahnya jelas terlihat sangat kaget. Lagi pula, gadis mana yang tiba-tiba menarik pemuda ketika baru keluar kamar mandi?

"Cass, apa-apaan, sih?"

"Kakak yang apa-apaan! Aku mencoba menghubungimu tapi kau hiraukan."

"Kapan?"

"Dari kemarin! Masa Kakak nggak pernah cek handphone, sih? Jelas-jelas terakhir online wanya beberapa menit yang lalu!" Panik melingkupi, aku sudah berada di ambang batas. Enak saja, setelah mengabaikan pesan orang lain dia malah pura-pura tak tahu.

"Chat-mu ketimbun, maaf."

Ha, oke. Mari langsung ke inti saja. "Yah, gapapa, Kak. Aku ingin memberitahukan sesuatu."

"Apa?"

"Kemarin aku ketemu Aru. Dia—"

"Kok masih ketemu! Kan udah kubilang—!"

"Biarkan aku selesaikan omonganku dulu." Melihat tak ada penolakan aku kembali angkat suara. "Dia kasih surat, tulisannya sama dengan Gia. Kakak ingat kan Gia, aku udah berapa kali tanya sama kakak sebelumnya tapi kakak pura-pura tak dengar."

"Ah."

"Lupakan. Aku sudah tahu dan sengaja tak memperhatikannya."

"Jadi, ada apa dengan isi tulisannya?" Nada Kak Rifael terdengar mendesak, membuatku sedikit heran.

"Intinya sih tentang penolakan. Gia menolak Aru di dalam surat itu. Kayaknya, Aru dan Gia ada hubungan dekat, deh. Buktinya mereka—"

"Nggak. Mana mungkin begitu. Kamu pasti salah paham."

"Maksudnya? Kok kayaknya kakak yakin banget Aru tak ada hubungannya dengan Gia?"

"Kamu salah!"

Rifael menutup mulutnya segera setelah ia membentak, terlihat lebih terkejut dibanding aku yang dibentak.

"... Pokoknya, kamu salah. Jangan sembarangan asumsikan hubungan orang hanya dengan secarik surat." Seolah menutup percakapan kami, Kak Rifael pergi.

Menyebalkan, padahal selain dia, aku tidak tahu harus menceritakan soal temuanku kepada siapa. Kalau ke orang lain, aku harus menceritakan semuanya dari awal. Melelahkan.

Apa sulitnya mendengarkanku sampai akhir? Sikapnya seolah dia punya hubungan dengan Gia saja, sensitif sekali.

... Ah, atau ...?

Ah, atau mereka memang punya ada hubungan? Hubungan apa?

Ah, sial. Temuanku soal Gia dan Aru malah menuntun ke masalah lain yang sama-sama membingungkan.

Sebenarnya, ke mana akhirnya akan berlabuh? Kenapa semakin dicari, makin rumit masalah ini. Seakan-akan semakin aku mencari jalan pulang ke rumah, jalan yang awalnya ada satu bercabang menjadi tiga

Gia, sebetulnya, apa yang terjadi? Apa hubunganmu dengan Kak Rifael dan Aru? Aku harap kamu dapat menjawabnya, aku kesulitan sekarang.

****

Limited You [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang