[P] Obrolan di Jalan Pulang

13 5 8
                                    

Jalan pulang bareng Raily kali ini beda dari yang sebelumnya. Sebelumnya nggak canggung sama sekali, lah ini canggungnya sampe bikin sesak. Mau ngomong takut salah ngomong atau keceplosan kayak tadi. Tapi ya, diem-dieman gini sangat menyiksa.

Aku melirik Raily di samping, dia terus berusaha menyamai langkahku yang lebih panjang darinya. Iya, aku tinggi. Kaget?

Hmn. Mungkin aku bisa ungkit topik itu kalau sama Raily. Aku yakin orang kayak dia nggak bakal nge-judge.

Aku pun berdeham guna menarik perhatian cewek di samping. Langkah kaki kupelankan lagi supaya nggak ngos-ngosan. "Rai, kamu masuk jurusan mulmed kenapa?"

"Hmn?" Raily noleh sebentar terus fokus lagi ke depan. "Biar tujuanku tercapai. Aku pengen bikin rumah produksi atau kayak studio gitu."

Seketika aku menganga kagum. "Keren banget."

Tiba-tiba Raily menoleh terheran-heran. "Gak ... ketawa?"

Alisku tertekuk sedikit. "Kenapa kamu ngira aku bakal ketawa? Tujuan keren gitu masa diketawain." Aku kembali natap ke depan, masang senyum masam. "Harusnya aku yang diketawain, soalnya aku nggak punya tujuan."

"Heee ... Peter masuk jurusan ini dipaksa ortu?"

"Nggak kok. Aku masuk karena mauku sendiri." Kok bisa dia mikir gitu. Jurusan multimedia kan banyak diincar anak-anak zaman sekarang, malah banyak yang ditentang ortu.

Raily memiringkan kepala ke kiri. "Terus kenapa bisa nggak punya tujuan? Biasanya yang masuk multimedia pengen jadi influencer, ngincar jurusan DKV pas mau kuliah, atau yang berhubungan sama perfilman."

Kayaknya bakal nyaman ngomong soal ini sama Raily.

Aku memasukkan tangan dalam saku jaket. "Soalnya aku sekolah di sini biar jauh dari rumah."

"Peter ada masalah di rumah?"

Buset, nih cewek pikirannya udah ke mana-mana.

"Nggak kok," jawabku kalem, "cuma nggak suka daerah situ."

"Nggak banyak temen di sana?" tanya Raily lagi. Manisnya dia. Biasa kalo udah gini, orang-orang bakal milih diem atau ganti topik.

Aku ketawa kecil. "Banyak lah. Aku bukan anak nolep."

"Kita beda dong. Aku anak nolep," jawab Raily yang gak bikin kaget sama sekali. Dia pun melirikku. "Nggak kaget?"

Lagi-lagi aku ketawa. "Nggak, soalnya aku ngerasain aura-aura nolep dari pertama kali kita ketemu."

Raily ikut ketawa. Astaga, manisnya nggak tertolong. Aku kangen dia ketawa gini. Dari yang kekurangan asupan manis-manis, sekarang jadi overdosis.

"Bisa-bisanya, ya. Peter memang beda."

Aku tahu apa maksudnya. Di kelas dia hampir selalu menebar aura positif, bersikap ramah, juga sangat bersahabat. Orang-orang pasti gak nyangka dia anak nolep. Aku nggak termasuk dalam kebanyakan orang itu.

"Rai, kamu mau bikin rumah produksi, kan. Nanti mau bikin apa? Animasi, komik, film," tanyaku begitu sadar pembicaraan soal tujuanku sudah selesai.

Gak pake lama Raily langsung jawab, "Apa aja. Aku pengen buat cerita-cerita yang bikin orang kagum, nangis, bahagia, merinding-pokoknya bikin orang-orang terpukau!"

Keren.

Saking kagumnya sama Raily yang punya ambisi kayak gitu, aku sampai nggak bisa berkata-kata. Tatapanku fokus pada, nggak merhatiin sekitar. Tahu-tahu tanganku ditarik sama Raily yang berseru, "Awas!"

Matanya yang beberapa saat lalu berbinar-binar sekarang terbuka lebar memancarkan ... ketakutan. Itu karena aku hampir ditabrak motor. Karena terpukau, aku jadi gak perhatiin sekitar, turun dari trotoar ke jalan raya pas lagi rame-ramenya.

My One of a Kind Crush [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang