[P] Berusaha Menyembunyikan

9 3 9
                                    

Aku bohong sama Raily juga. Kubilang ke dia kalau waktu itu aku dikeroyok pas jalan pulang. Karena itu hari ini kami ngambil jalan lain buat balik ke rumah. Jalan ini muter. Kecil kemungkinan si Tian dan gengnya muncul di sini, tapi aku gak bisa gak was-was.

Selama jalan mataku awas. Takut mereka ada di sekeliling dan duluan lihat kami. Raily tentunya sadar akan tingkahku yang aneh. Dia rupanya anak yang peka, cuma kadang pura-pura nggak peka. Ini antara menguntungkan dan merugikan.

"Kalau liat mereka kita langsung lari." Mataku masih awas.

Raily ngangguk paham. Gak lama kemudian dia mendongak. "Pegangan tangan? Biar aku gak ketinggalan kalo lari nanti."

"H-hah?"

Dalamku memang bucin, tapi di luar sifat cool juga mengintimidasi ini gak bisa hilang.

Bukannya menjelaskan, Raily malah nunjuk ke samping kananku. "Cowok-cowok itu keliatan kayak berandalan."

Sontak aku noleh ke arah yang dia tunjuk. Benar saja! Itu Tian dan gengnya.

Sebelum diciduk oleh mereka, aku narik tangan Raily terus lari ke samping warung terdekat. Mereka gak bisa liat kalau kami sembunyi di sini. Kuharap mereka gak sempet liat pas kami lari, tapi itu gak mungkin. Kalau bukan Tian, pasti salah satu anak buahnya yang liat.

"Hei, Peter ...." Raily berbisik menarik perhatianku.

Pas noleh kudapati pipinya merona dan telinganya memerah. Beberapa detik berlalu baru aku menyadari sesuatu.

Kami masih pegangan tangan.

Langsung saja kulepas tangannya, ikut malu.

Udah lama keadaan gak jadi canggung di antara aku dan Raily. Ini lebih parah dari yang sudah-sudah. Kami baru aja pegangan tangan, meski gak kulakukan dengan niat romantis.

Argh ... tapi kenapa gak langsung kulepas? Bodohnya. Salting sendiri kan-eh, berdua. Salting berdua lebih parah dari salting sendiri.

"Kayaknya mereka udah pergi, deh," kata Raily yang ternyata ikut ngintip.

Dia benar. Tian dan gengnya pergi ke arah kami datang tadi. Pasti mereka mau pergi berantem lagi. Ah, jangan-jangan jelmaan iblis itu nyari aku di warung lagi.

Hari ini aku sengaja pulang telat bareng Raily biar gak ketemu mereka. Kupikir mereka udah pergi. Mungkin jam berantem mereka diundur atau semacamnya.

Diselimuti kecanggungan, aku dan Raily jalan lagi. Pertama aku ngantar dia pulang baru aku pulang sendiri. Bakal ngelewatin rumahku, sih. Semoga Ibu sama Ayah gak lihat. Kalau keciduk aku bakal diserbu pertanyaan pas pulang.

Pas lewat rumah, kami jalan di seberang. Gak mungkin aku jalan bareng Raily tepat di depan rumahku. Jadilah kami jalan di sisi ini dan aku di sebelah kiri biar gak terlalu kentara kalau ini seorang Peter.

"Itu yang ada warung rumahmu, ya?" Perhatian Raily sebentar tertuju pada warung itu. Entah siapa yang lagi jaga.

Aku ngangguk iyain. "Rumah kita ternyata gak jauh-jauh amat jaraknya. Kenapa sebelum masuk SMK aku gak pernah liat kamu keluar?"

Raily ngembusin napas kasar. "Udah pernah kubilang. Aku ini nolep. Mana ada nolep sering keluar rumah, Peter. Ini juga aku ada di luar rumah karna harus sekolah."

"Nolep sejati, ya."

Pengen ngungkit yang waktu itu tapi nanti suasananya jadi jelek. Udah cukup tadi canggung karna pegangan tangan yang aku gaada tujuan romantis sama sekali.

"Hmn ... besok-besok kalau mau beli aku ke warung kamu aja deh."

"Katanya nolep."

Raily bersedekap. "Nolep gini aku juga perlu ke warung, tau. Makanan sama kebutuhan lain gak dateng sendiri ke kamarku."

"Terus kenapa mau ke warungku?" Menggodanya sedikit gak apa-apa, kan.

"Karena ada kamu di situ. Aku pernah liat kamu jaga warung."

Sering aku mau godain dia. Sering juga aku malah dibikin salting. Bucin-bucin gini aku masih bisa salting. Ya, karena aku bucin di dalam doang.

Tiba-tiba Raily ketawa. "Bikin Peter salting itu asik juga, ya."

Mukaku kerasa lebih panas pas dia ngomong gitu. Aku emang lagi salting, tapi masa aku ngaku. Gak keren. "Siapa juga yang salting. Kamu terlalu PD."

"Aku PD karena tahu aku bener." Raily memasang senyum lebar penuh kemenangan.

Iya, kamu menang. Kamu udah memenangkan hatiku.

Sumpah, kalau ini suara-suara hati keluar, pasti bakal cringe banget. Cringe gak tertolong.

"Eh, kamu gak perlu antar sampai ke rumah, ya," kata Raily sambil terus menghadap depan. "Sampai depan lorong aja."

Oke, sekarang kesempatanku buat balas dendam. Mungkin.

"Kalau aku mau antar sampai ke dalam gimana?" balasku dengan tangan di dalam saku celana. Pandanganku juga lurus ke depan.

"Mau pulang dikejar anjing?"

"Gak."

"Makanya sampai depan lorong aja."

Sial, aku gagal ngerebut poin.

Pada akhirnya, aku beneran ngantar dia sampai depan lorong doang. Ogah pulang-pulang celana sobek.

"Dadah," ucapnya sambil melambai pelan.

Kubalas lambaiannya. "Dah."

Raily masuk ke lorong yang bakal nuntun dia ke rumah. Baru beberapa langkah dia berhenti terus balik badan menghadapku. Dengan senyum manis dia berkata, "Makasih udah mastiin aku gak kenapa-napa. Kamu juga jangan sampai kenapa-napa pas balik, ya."

Aku ikut tersenyum, tipis. "Iya." Dengan begitu, kami pun berpisah untuk hari ini.

Ini bukan hari terbaik dalam hidupku, juga bukan hari terburuk. Setidaknya kami gak ketemu geng sialan itu. Raily gak menjauh. Dia juga gak kenapa-napa. Bukan waktu yang tepat, tapi aku senang. Aku lega.

***

Sejak hari itu, aku jadi terkucil di kelas. Gak juga, sih. Temen-temen cowok yang dicap bandel sama guru-guru gak menjauh, malah makin deket. Di sisi lain, sisa penghuni kelas terang-terangan menghindar.

Kenapa? Karena ternyata beberapa manusia gaada akhlak ini punya relasi orang di daerahku. Dari relasi itu mereka tahu kalau aku berantem bareng geng Tian. Otomatis aku dianggap sebagai bagian dari geng jahanam itu.

Biasanya cowok gak cerewet, tapi sekarang dunia udah kebalik. Informasi itu bocor ke temen-temen kelas yang lain karena mulut mereka itu kayak ember bocor. Alhasil, aku makin dijauhi. Raily juga diseret buat menjauhiku.

Takdir gak ngasih izin buat senang-senang terlalu lama. Ada aja masalahnya. Kurang asem.

Aku udah biasa dijauhi, tapi kasus ini berbeda. Saat ini aku punya orang yang kusukai dan dia juga menyukaiku. Aku punya orang yang harus kulindungi selain ortu. Dia juga yang bikin aku senang sekaligus ngelupain masalah yang bersangkutan dengan Tian.

Setelah dapat sosok yang berharga, dengan bodohnya aku kembali terlibat dengan geng laknat itu. Kupikir bakal selesai kalau kuhindari sekalian menjauhkan Raily dari mereka. Ternyata nggak segampang itu.

Raily menjauhiku, diseret oleh teman-temannya. Dan karena itu dia bakal pulang sendirian. Habis turun angkot dia bakal jalan sendirian ke rumahnya. Selama Tian gak tahu hubunganku sama Raily sih gapapa. Tapi aku jadi was-was karena dia punya relasi sampai ke kelas ini.

Tian bakal ngelakuin apa aja biar aku gabung sama geng mereka. Ngelakuin sesuatu sama Raily bukan pengecualian. Malah kurasa itu hal pertama yang bakal dia pikirin kalau sampai tahu soal Raily.

Bersambung ....

My One of a Kind Crush [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang