Harapanku gak terwujud. Ada-ada aja masalah yang muncul, padahal ada masalah yang lebih penting dari ini. Sumpah, aku gak peduli sama yang namanya circle. Aku udah muak sama yang begituan, tapi terlanjur terjerumus.
Untungnya Fafa milih cara yang agak damai buat ngamuk. Aku tahu kalimat itu kedengeran aneh, tapi aku udah kehabisan kata-kata buat memberi tahu situasi ini secara ringkas.
Fafa gak ngamuk di kelas di depan banyak orang. Dia milih buat ngajak aku keluar kelas pas jam istirahat. Lokasinya di depan toilet gak kepake, deket kelas. Dia juga gak teriak-teriak. Kayak biasa, bicaranya kalem tapi kata-katanya menusuk.
"Kamu itu aneh banget jadi orang," ujar Fafa ketus sambil bersedekap. Tatapannya sinis.
Gamau ada masalah panjang, aku cuma jawab, "Ya."
Itu malah bikin Fafa tambah jengkel. "Nah, itu." Kedengeran banget dia berusaha nekan suaranya biar gak didenger orang lain di kejauhan atau yang duduk dekat jendela di dalam kelas. "Udah aneh dari sananya, tapi gak sadar-sadar. Saking anehnya jadi bego."
"Hah?" Alisku terangkat, pun mataku terbuka sedikit lebih lebar dari biasa. Pasalnya aku hampir gak pernah denger Fafa bicara kasar begitu. Sesinis apa pun dia.
Tangan gadis itu terkepal erat. Dia juga menggigit bibir bawahnya sampai pada titik hampir terluka. "Dari dulu aku membencimu. Sekarang makin benci karna ... karna ...." Fafa kembali menggigit bibir.
Anak ini kenapa?
Pengen nyahut sekarang tapi masih ada yang mau dia katakan. Karena mood-ku belum rusak, kutunggu dia mau bicara apa.
Kepala Fafa tertunduk, entah enggan menatapku atau lagi nahan amukan. "Karna dia sukanya sama kamu."
Peter.
Aku langsung tahu siapa yang dimaksud. Memang belakangan ini tanda-tanda Fafa naksir Peter itu jelas., apalagi waktu cowok itu jadi topik hangat satu kelas bahkan guru-guru. Hari itu kudengar Fafa berani basa-basi sama Peter, walau katanya keliatan gugup banget.
Kalau suka ambil aja.
Satu sisi pengen bilang gitu, sementara sisi lain tetep gak rela lepasin Peter.
"Karna itu doang?" tanyaku pas dia udah gak berkata-kata lagi.
Tiba-tiba Fafa angkat kepala, menatapku nyalang. "Doang?!" Mukanya udah merah, entah malu atau marah besar sampai-sampai gak nahan suaranya.
Fafa maju sambil mendorong-dorongku mundur. "Muak banget aku sama orang aneh macam kamu. Herannya bisa ada yang suka." Dia baru berhenti saat punggungku menyentuh dinding yang berperan sebagai pengaman supaya gak ada yang jatuh ke bawah. "Padahal aku lebih baik darimu. Aku lebih pintar, aku lebih cantik, dan aku normal. Bukan orang aneh."
Percaya diri banget.
Aku baru tahu sisinya yang seperti ini. Sisi angkuhnya. Mentang-mentang Rika gak ada, lagi bicara sama Lika, orang ini seenaknya.
Yah, meski kesal aku gak bisa apa-apa selain bicara dan memanen bahan overthinking buat malam nanti atau besok malam atau buat seumur hidup.
Tunggu. Barusan Fafa meninggikan suaranya. Dan setahuku, yang duduk di dekat jendela itu ... Peter sama Yoni.
Timing-nya bagus banget. Aku noleh ke kiri pas Peter melangkah keluar diekori si Yoni. Kami bertukar pandang selama dua detik penuh, baru dia bergegas menghampiri, lantas memisahkan kami.
"Kalian ngapain berantem di sini? Sampai dorong-dorong juga. Bahaya." Peter menatap Fafa sinis, sontak membuat gadis itu tersentak pun matanya mulai berkaca-kaca. Menyadari itu Peter langsung gelagapan, menoleh padaku mengharapkan jalan keluar. Namun, sayangnya aku juga gak tahu harus apa.
Kayak di cerita yang ada genre romantis. Selain pasangan yang saling jatuh cinta dan udah dari sononya ditakdirkan buat bersama, pasti ada tokoh lain yang cemburu. Pasti ada tokoh lain yang pengen misahin pasangan yang disorot ini.
Mirip sekali dengan kasus ini. Bedanya, aku sama Peter memang saling jatuh cinta, tapi entah kami ditakdirkan untuk bersama atau nggak.
Di depan kami Fafa menitiskan air mata, kemudian membalikkan badan. Pastinya cewek angkuh ini gak mau ada yang lihat sisi lemahnya, apalagi Peter selaku cowok yang disukainya.
Peter masih saja menatapku. Dia menatap dengan ekspresi terheran-heran.
Oh, mungkin dia gak denger atau gak peka soal Fafa yang naksir sama dia. Ini buruk.
Peka dong, biar kamu yang ngomong ke dia. Dia naksirnya ke kamu. Bilang apa kek.
Peter yang gak peka malah mendekatiku terus berbisik, "Si Fafa kenapa?"
Rasanya aku ingin meledak. Gemes banget.
Aku menarik lengan seragamnya sampai aku dapat berbisik tepat di samping telinganya.
"Fafa naksir kamu."
Cowok bucin ini gak butuh waktu lama buat ngeproses informasi, dia langsung narik tubuhnya, lalu mengambil satu langkah mundur. Sesaat dia menatapku dengan ekspresi kusut, lebih kusut dari benang wol yang kujejalkan ke dalam lemari Sabtu kemarin. Sesaat kemudian dia menoleh pada Fafa yang masih membelakangi kami, lalu kembali menoleh padaku, lalu pada Fafa, lalu padaku lagi. Itu berlangsung sampai lehernya pegal. Mungkin.
Peter bungkam. Kali ini pandangannya terkunci pada punggung Fafa yang keliatan rapuh banget. Kayak bakal hancur kalau kutendang sekarang.
"Fa," panggil Peter singkat, membuat cewek itu menoleh. Jeda sebentar baru Peter bertanya, "Kenapa?" Ekpresinya itu campuran heran, terharu, senang, dan gak terima. Entah, aku hanya menjabarkan apa yang kutangkap.
Oke, sekarang aku yang jadi tokoh sampingan.
Aku melirik ke kiri. Yoni masih berdiri di depan pintu kelas, menonton kami—eh, tepatnya menonton drama di antara Fafa dan Peter. Dari tatapan yang ditujukannya padaku, kayaknya dia paham perasaanku sekarang. Yoni mengibas-ngibaskan tangan dengan pelan, isyarat agar aku turun dan ikut menonton dari kejauhan bersamanya.
Perlahan tapi pasti aku menyelinap keluar dari TKP. Ini urusan mereka berdua. Dalam masalah ini, aku hanya ... peran sampingan. Ya, dalam masalah mereka aku hanyalah peran sampingan yang kebetulan sangat berpengaruh.
Gak butuh waktu lama aku udah berdiri di samping Yoni. Kami sama-sama nonton drama yang tengah berlangsung di depan toilet gak kepake itu. Ada Fafa yang malu-malu rubah sama Peter yang keliatannya lagi gak mood.
Tiba-tiba Yoni nyenggol. "Rai, kamu gak cemburu mereka berduaan gitu? Mana suasananya macam romantis."
Aku mengembuskan napas kasar, mengalihkan pandangan ke lapangan di bawah sana. "Kalau ditanya, ya, aku ... agak cemburu," jawabku dengan suara pelan supaya gak kedengeran sama dua manusia di depan sana.
Dengan mood jelek, aku beranjak menjauh, berdiri berhadapan dengan pagar pengaman di area pendopo kelas sebelah. Yoni ngikut terus ngelipat tangan di atas pagar.
Kenapa aku jadi kebayang adegan dalam komik?
"Second male lead gak terduga," gumamku tanpa sadar. Pas sadar aku malah bengong ngeliatin Yoni yang ikutan bengong. Kami saling tatap, sama-sama bengong sesaat.
Cepat-cepat Yoni menggelengkan kepala terus ketawa kecil. "Apasih, kayak orang bego aja kita," ujarnya terus lanjut ketawa.
Anak ini biasanya terkesan SKSD, tapi yang barusan rasanya nggak. Rasanya kayak kami emang udah deket.
Mungkin bukan masalah kalau aku nambah satu temen cowok. Yoni keliatan kayak anak baik-baik sejauh ini.
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
My One of a Kind Crush [✔]
Teen FictionCerita tentang Peter dan Raily yang saling menyukai. Peter yang berusaha melarikan diri dari masa lalu dan Raily yang punya obsesi tak wajar terhadap cerita fiksi. Mereka sungguh saling menyukai, tetapi ada saja masalah yang timbul. Sebenarnya merek...