[R] Masalah yang Menghantui Raily

4 2 8
                                    

"Papa rasa udah cukup lari-lariannya." Pria yang merupakan ayahku bersedekap. Beliau duduk di kursi kayu ruang tengah, berhadapan denganku yang hobinya melarikan diri dari kenyataan ini.

"Jujur, Papa kecewa sama kamu yang milih masuk jurusan multimedia di SMK."

Aku menunduk makin dalam. Rasanya lebih sesak daripada habis lari keliling lapangan tiga kali.

Pengen kabur, tapi aku gabisa terus-terusan kabur. Tapi ini sulit dihadapi.

"Semester dua nanti. Papa kasih waktu sampai saat itu buat kamu mikirin masa depanmu." Beliau bangkit berdiri, menatap mataku lekat-lekat. "Dan kalau nilaimu semester ini bagus, apa pun keputusanmu, Papa bakal terima.," ujarnya terus melangkah pergi meninggalkanku sendiri di ruang tamu.

Kalau udah begini, rasa cemas yang menghantuiku jadi lebih menakutkan. Masalah perasaanku aja belum selesai. Ya, karna masalah perasaan itu aku jadi melupakan masalah paling penting dalam hidupku.

Mungkin aku dipandang sebagai anak yang beruntung karena bisa masuk ke jurusan yang mendukung minat dan bakat. Tapi sebenarnya aku ini gak seberuntung yang mereka pikir. Hidupku dihantui perasaan cemas akan masa depan yang mungkin gak sesuai perkiraanku, dihantui rasa bersalah karena udah mengecewakan orang tua, pun diikuti bisikan-bisikan jahat yang gak pernah lelah mengekoriku ke mana saja dan kapan saja.

Beban orang tua.

Anak aneh.

Sampah masyarakat.

Orang gak tahu untung.

Gak waras.

Aku menggeleng-gelengkan kepala dengan cepat, berharap dapat mengusir bisikan-bisikan itu. Gak berhasil, tapi setidaknya suaranya jadi samar.

Harus tenang. Gak boleh mikirin yang aneh-aneh gitu.

Sambil ngatur napas aku berdiri, lalu beranjak kembali ke kamar. Aku menjatuhkan diri di atas kasur, bergelung di atasnya. Tanganku meraba-raba sekitar, mencari ponsel yang tadi kutinggalkan di sini.

Biasanya jam segini baru pulang habis jalan sama Peter.

Ngomong-ngomong soal Peter, hubungan kami masih belum membaik. Kalau memang aku harus pindah sekolah nanti pas ganti semester, aku mau memperbaiki hubungan ini dulu. Masih ada waktu dua bulan sebelum semester satu berakhir. Masih ada banyak waktu.

"Oh, iya!" Aku tersentak bangun, ganti posisi dari tengkurap jadi duduk. Kubuka aplikasi kalender di ponsel, kemudian menggesernya hingga tampak kalender bulan selanjutnya. Selain peringatan hari guru dan hari ayah, ada satu tanggal yang kutandai.

Aku menandainya supaya gak lupa kalau pada hari itu Peter bakal ikut tanding basket. Pertandingannya diadakan hari Jumat di sekolah lain. Katanya bakal dipilih beberapa orang buat ikut ke sana sebagai supporter.

Sontak aku ketawa kecil. Ini kayak cerita teenfic di Wattpad aja.

Entah berapa batas orang yang boleh ikut, tapi akan kupastikan aku termasuk. Katanya dipilih, sih ... tapi semoga gurunya berubah pikiran terus nanya siapa yang mengajukan diri. Lebih bagus kalau kelas kami dibolehin ikut semua.

Ya, sampai hari itu tiba, aku akan terus berusaha memangkas jarak dengan Peter. Sambil belajar giat tentunya. Aku perlu buktiin kalau masuk ke jurusan multimedia itu gak sia-sia atau buang-buang waktu kayak yang Papa bilang.

Tadi sempat down tapi entah kenapa sekarang jadi semangat buat ngerjain tugas-tugas yang sempat numpuk—yang paling numpuk itu tugas mata pelajaran umum. Sebelum mulai, aku bikin list tugas-tugas yang belum dikerjain. List-nya kubikin di sticky notes terus kutempel di meja belajar.

My One of a Kind Crush [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang