[R] Apa pun yang Menanti

15 2 10
                                    

Hari pertandingan basket yang kami tunggu-tunggu akhirnya tiba. Ujungnya sekelas diizinin ikut karna kebetulan wali kelas kami itu guru olahraga. Aku sendiri kurang ngerti apa hubungannya, tapi ya, yang penting kami bisa nonton Peter tanding.

"Cowok-cowok kalo main basket barbar banget, ya," komentar Rika dengan pandangan terkunci pada lapangan yang mereka gunakan buat tanding.

Aku mengangguk setuju, lalu beralih menyikut Yoni. "Hei, Muka Kuda. Gak ada niatan ikut lomba olahraga apa gitu?"

Yoni balas menatapku dengan pandangan tersakiti. "Aku itu gak bisa—"

Rika berdecak, "Alay."

"Heh!' Yoni melotot. "Biarin aku menikmati momen, bisa gak?"

"Momen apanya? Momen alay-alay?" cibir Rika dengan tangan terlipat di depan dada.

Sementara aku menikmati momen bersama temen-temen baru yang beneran asik, dapat kurasakan tatapan menusuk dari samping belakang. Dari siapa lagi kalau bukan si Fafa yang masih aja nempel sama Lika. Aku gak paham apa lagi masalah mereka. Hubunganku sama Peter kan emang cuma temenan, gak berubah sampai sekarang. Aku juga udah move on setelah beberapa minggu.

Ngomong-ngomong, kami udah di penghujung semester. Habis pertandingan ini, kami bakal disibukkan sama persiapan ujian akhir semester. Aku harus dapat nilai bagus semester ini, setidaknya masuk sepuluh besar. Pasti aku gak bakal tembus lima apalagi tiga besar. Kenapa? Karna lima besar udah dikuasai sama si ketua kelas yang aku lupa namanya, si cewek otak encer yang juga aktif, Yoni, Rika, dan Peter. Yep, aku menyebutkannya berdasarkan urutan peringkat tengah semester satu ini.

Tiba-tiba semua orang bersorak—hampir semua orang. Aku yang baru aja tenggelam dalam pikiran langsung keseret balik ke kenyataan.

"Oh, udah selesai?" Menoleh ke samping, kudapati Rika dan Yoni tertunduk lesu. Melihat itu aku langsung tahu apa artinya. "Sekolah kita kalah, ya ...."

Aku menepuk-nepuk punggung mereka berdua. "Yok, siap-siap ngehibur Peter."

"Meredakan amukannya." Yoni meralat.

"Habis ini kita balik lagi ke sekolah, kan?" tanyaku mengalihkan topik. Setelah mendapat respons berupa anggukan, aku melanjutkan, "Pulang nanti singgah makan, yuk."

"Es di puskot? Panas-panas gini enaknya makan es."

"Kalau pulang nanti gak hujan."

"Ish, jangan bilang gitu! Ntar hujan beneran, loh."

"Kalo beneran hujan, ya makan yang lain aja. Miedal atau bakso misalnya."

Setelah menunggu agak lama sampai tim basket sekolah kami selesai ngumpul, akhirnya batang hidung si Peter keliatan. Dia mau datang kemari tapi dicegat sama Fafa yang ditemenin Lika kayak biasa. Ngeliat itu mendadak aku kesal. Rika juga.

Fafa ngasih sebotol minuman dingin sambil senyum-senyum yang kemudian diterima oleh Peter. Cowok itu gak mau basa-basi, kayaknya cuma bilang makasih terus datang hampirin kami.

"Si Fafa itu masih aja," ucap Rika yang masih ngasih tatapan tajam ke orang yang dimaksud.

Yoni menatapnya heran. "Kok kamu yang kesel. Naksir Peter?" Dia menggoda dengan cengiran setan khasnya.

Sontak Rika nginjak kaki Yoni dengan segenap jiwa raga. Jiwa barbarnya gak pernah ditahan kalo bareng kami. "Nggak. Aku cuma ada dendam kesumat sama dua orang itu. Busuk."

"Udah, udah." Aku berusaha menenangkannya. "Gak usah dipikirin. Cuacanya udah panas banget, nih." Mengalihkan pandangan ke sekitar, kudapat beberapa murid dari kelas kami lagi makan es krim. Spontan aku nunjuk om-om yang jualan es di belakang mereka. "Beli es, yuk!"

Gak pake nunggu, kutarik tangan Rika, nyeret dia ke tempat yang barusan kutunjuk. Peter sama Yoni tentunya ngekor. Kami sama-sama beli es krim. Aku sama Yoni beli rasa coklat, Rika beli rasa vanila yang ada chocochips, terus Peter beli yang rasa stroberi.

Dengan senyum jahil Rika berceletuk, "Cieeee, yang sama-sama beli rasa coklat." Beralih pada Peter, senyum jahilnya itu belum luntur. "Gak kusangka kamu suka rasa stroberi," ujarnya sambil nepuk-nepuk lengan Peter.

"Kenapa? Karna gue cowok?" sahut Peter sinis.

Oh, iya. Makin lama kami makin akrab dan Peter gak lagi nutup-nutupin sosoknya yang asli. Dia masih berusaha berubah, sih. Pelan-pelan.

"Oh, iya, Pet." Aku menoleh pada si pemilik nama. "Pulang sekolah nanti singgah makan di puskot, yuk. Kalo duit kurang ntar ditambahin Yoni." Aku nyengir sambil ngarahin jempol ke cowok yang kuberi julukan Muka Kuda.

Peter beralih menatap Yoni dengan senyum miring. "Sekalian traktir lah. Duit gue sisa ongkos pulang."

Rika yang gak mau ketinggalan nyelip di antara dua cowok itu. "Jangan pilih-pilih kasih, Yon. Kalo Peter ditraktir, aku sama Rai juga dong biar adil."

"Iyain aja kagak, woy!" seru Yoni mengambil satu langkah mundur dari kami yang mulai menuntut traktiran.

Walau marah-marah, ujungnya Yoni iyain. Aku sama Rika pun bersorak gembira sementara Peter nepuk-nepuk pundak Yoni. "Gitu dong," ucapnya.

***

Sepulang sekolah, kami berempat sama-sama jalan ke puskot. Capek banget tapi demi menghemat duit. Yoni juga gamau traktir kalau ke sananya naik ojek. "Kalau mau ditraktir, harus berjuang dikit.." Begitu katanya tadi.

Lemes kakiku pas nyampe di lokasi. Panas banget pula. Banjir keringat. Untuk pake seragam olahraga.

Hari ini tergolong damai buatku. Gak ada masalah yang bikin sakit kepala. Soal masalahku di rumah, itu udah gak terlalu kupikirkan. Kesepakatannya biar gak pindah sekolah, aku harus dapat nilai bagus terus sampai lulus. Soal itu aku gak terlalu khawatir karena aku dikelilingi anak-anak rajin dan ambis. Meski buat mereka gak ada hari tanpa kebobrokan.

"Udah kubilang, kan! Gak bakal hujan," ujar Yoni bangga kayak dia baru aja ngusir hujan biar kami bisa makan es bareng.

Rika yang baru aja nyerahin pesanan kami ke pelayan mencibir, "Gik bikil hijin."

Yep, pertengkaran antara dua makhluk itu gak bisa dihindari lagi.

"Nge-chat siapa, tuh?" tanyaku kepo karna Peter sendiri sibuk sama ponselnya.

Tanpa menoleh, dia menjawab, "Balas chat-nya Tian. Udah tau gue capek malah ngajak ikut berantem sore ini."

"Ooooh ...."

Iya, mereka berdua kontakan. Peter kadang-kadang ikut geng Tian berantem. Aku gak pusing soal itu. Toh, itu pilihan Peter sendiri. Berantem itu caranya meluapkan emosi. Mungkin besok dia bakal pergi berantem karna kesel hari ini kalah tanding padahal udah susah-susah latihan selama ini.

"Hei, hei, besok belajar bareng di rumah siapa?" Rika menoleh padaku. "Di rumahmu bisa gak, Rai? Sesekali aku mau ke sana."

Aku mengibas-ngibaskan tangan sambil tersenyum canggung. "Gak bisa, sori."

"Ke kafe pamanmu gimana?" Peter memberi usul.

Sontak Yoni menatapku dengan mata berbinar. "Pamanmu punya kafe?!"

"Iyaaaa, pamanku punya kafe."

Sementara Yoni asik sendiri mikirin menu dessert apa aja yang tersedia di sana, aku dan Peter bertukar pandang, lalu sama-sama tersenyum tipis. Aku baru ingat. Kafe itu tempat kami pertama kali mengakrabkan diri.

Kembali merhatiin yang lain, aku jadi kepikiran ide cerita baru. Cerita fantasi tapi, bukan teenfic. Aku dapat ide buat bikin tokoh-tokoh utama yang bobrok.

TAMAT, DEH :D

My One of a Kind Crush [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang