[R] Pilih Jalan yang Mana?

5 3 8
                                    

Udah kutanya lewat chat. Gak pake basa-basi. Tinggal tunggu dibalas.

Sekitar tiga menit kemudian baru Peter online. Iya, aku mantengin chat room dia dan masih kupantengin. Dia ngetik bentar terus berhenti, terus ngetik lagi.

You
Seandainya aku deket terus jadian sama cowok lain gimana?

Peter Bukan Peter Pan
Gpp. Lagian aku bukan siapa2nya kamu

You
Rela? Gak sakit hati?

Peter Bukan Peter Pan
Sakit lah Rai
Tapi kita emang gak cocok. Aku gamau nyakitin kamu nantinya
Jadi biar sakit aku gapapa
Gak usah pikirin aku

Enteng banget dia ketik itu. Peter gak tahu, tapi aku masih menyukainya saat aku juga menyukai cowok lain. Ini membuatku bingung. Pengen logout aja dari nih hidup.

Karena gatau harus balas apa, chat-nya gak kubalas. Gak enak sih karna mungkin dia bakal kepikiran terus gabisa tidur, tapi aku mau balas apa?

"Hoaaam ...."

Aku mengantuk. Berburu bahan tadi menguras tenaga.

Tanpa mikirin ini-itu lagi aku matiin data seluler, taroh ponsel di meja, balik ke kasur terus rebahan narik selimut. Mungkin aku akan bermimpi malam ini. Biasanya aku dapat mimpi jelas kalo tidur pas lagi capek-capeknya.

***

Sementara mengenakan jubah merah bertudung aku berlari menghampiri Ibu di depan pintu rumah. Karena buru-buru, aku mengambil keranjang yang dipegang Ibu terus langsung pamit. Meski aku sudah agak jauh, Ibu masih menyerukan agar aku berhati-hati.

Makin dalam memasuki hutan, kakiku mulai payah berlari. Kuturunkan tudung jubah sambil melangkah pelan menyusuri jalan setapak yang jarang ditempuh orang.

Mungkin kalian sudah bisa menebak aku jadi siapa di mimpi kali ini.

Yap, si Gadis Bertudung Merah. Sebentar lagi pasti aku akan bertemu dengan si serigala. Aku hafal betul jalan cerita dongeng ini. Salah satu versinya.

Burung-burung berkicau, para tupai ke sana kemari mengungsikan kacang yang jatuh dari pohon, pun aku melihat kelinci yang mengintip dari balik semak-semak. Suasana damai ini sungguh menipu. Aku tahu, si serigala pasti sedang mengintaiku.

Tapi toh, ini cuma mimpi. Udah berkali-kali aku mati dalam mimpi. Sekarang kalau aku harus mati diterkam serigala, aku gak takut. Mati di dalam mimpi gak sakit. Palingan cuma syok pas bangun nanti.

Udah lebih dari lima menit aku jalan, tapi si serigala belum nongol juga. Seingatku dia harus muncul menemui Gadis Bertudung Merah sebelum pergi ke rumah si nenek dan melahap beliau.

Apa lucid dream ini sama kayak yang Peter Pan? Gak sesuai alur asli, tapi ngambil pemikiran dan perasaanku sebagai dasar. Kalau benar begitu, aku jadi cemas. Siapa yang akan jadi si serigala? Lalu si penebang kayu? Apa peran nenek di cerita ini bakal diambil NPC gak dikenal kayak peran ibu?

"Eh?" Jalan setapak ini rupanya bercabang. Aku gak tahu harus ke mana. Aku gak ingat soal ini. Ke kiri atau ke kanan? Di sini gak ada petunjuk ataupun suatu pertanda.

Aku mematung di depan dua cabang jalan tersebut. Gimana kalau dua jalan ini mencerminkan pilihan yang harus kuambil di dunia nyata? Apa jadinya kalau aku salah pilih di sini?

Kugeleng-gelengkan kepala dengan cepat sampai pusing. Gimana juga ini cuma mimpi. Gak akan berpengaruh besar pada kehidupanku di dunia nyata. Paling tinggi memengaruhi pilihanku nanti.

Oh, iya. Akhir-akhir ini aku bingung milih antara apa, ya?

Masih kebingungan, aku asal melangkah sambil tutup mata. Aku tahu, meski tutup mata, aku tetep sadar yang mana kiri dan yang mana kanan.

Aku melangkahkan kaki ke jalan yang kiri. Kutempuh jalan ini dengan perasaan was-was. Apa pun yang menanti di ujung jalan ini, aku harus menghadapinya.

Ujung jalan setapak sudah di depan mata. Bukan rumah si nenek melainkan area terbuka yang ditumbuhi rumput hijau nan segar juga bunga warna-warni. Di tengah-tengahnya ada seseorang ... dengan telinga dan ekor serigala.

Kayaknya aku kebanyakan liat gambar-gambar anime di Twitter.

Langkahku tersendat bersamaan dengan menolehnya orang itu.

"Peter!" seruku refleks karna wajah orang itu sama persis dengan wajah Peter yang kukenal di dunia nyata.

Peter Serigala menatapku terheran-heran sebelum beranjak mendekat. Perlahan aku mengambil tiga langkah mundur. Pengen lari tapi kakiku kayak ketempel di permukaan tanah ini.

Manusia jadi-jadian berwajah Peter ini makin dekat dan dia gak ngerti apa yang namanya menjaga jarak. Jarak antara wajah kami hanya dua senti. Setelah jeda canggung, dia tiba-tiba mengendus.

"A-APA—NGAPAIN?"

Seketika hal yang tadinya menahan kakiku hilang, membiarkanku melangkah mundur, kembali memperlebar jarak.

Peter Serigala tampak keheranan. Baru satu langkah dia ambil, aku berteriak, "Jangan mendekat!" Ajaibnya dia menurut.

Sekarang aku kelewat bingung dan panik buat berkata-kata. Mau lari tapi aku penasaran sama sosok ini. Di sisi lain, aku juga penasaran apa yang menungguku di jalan yang satu lagi. Rumah si nenek? Kurasa bukan.

"Kenapa ... takut?" Peter Serigala tampak sedih.

Aneh sekali rasanya karna mukanya mirip Peter. Apa pun yang nyiapin mimpi kali ini gak kreatif. Main jiplak muka orang yang kukenal di dunia nyata.

Peter Serigala menunduk, meratapi cakar hitam panjang yang kelihatan begitu tajam. "Aku mengerti," gumamnya. Jeda sebentar baru dia mengangkat kepala. "Aku bisa saja menyakitimu ... dengan cakar ini."

Ah, aku tahu apa maksud mimpi ini.

"Aku tahu!" seruku geram seraya melempar keranjang berisi roti ke sembarang arah. "Aku udah tahu! Gak perlu dikasih mimpi kayak gini!"

Walau cuma mimpi, ini beneran nyebelin. Aku udah sadar, gak perlu ditampar lagi sama kenyataan. Di dalam mimpi pula. Ini menyedihkan.

Aku masih menyimpan rasa suka pada Peter meski tahu hubungan kami kalau pacaran gak akan berjalan lancar. Peter juga sadar itu. Kami gak ditakdirkan untuk bersama, tapi takdir seneng banget mempermainkan manusia, jadilah kami dipertemukan di persimpangan jalan.

Kenapa harus dipertemukan kalau gabisa bersatu? Karna begitulah hidup. Konyol.

Peter Serigala beranjak memungut keranjang serta roti yang kulempar, kemudian mengembalikannya padaku. "Kamu salah jalan ... harusnya ke kanan."

Menghindari kontak mata dengannya, aku menerima keranjang tersebut. Tanpa berkata-kata lagi, aku memutar badan terus berjalan meninggalkannya. Aku kembali ke jalan yang bercabang tadi, lantas menyusuri jalan yang satu lagi.

Pikiranku kosong. Gak ada yang kupikirkan. Gak ada pemikiran aneh yang menyelonong masuk ke dalam benak. Benar-benar kosong.

Di tengah perjalanan, aku tersandung terus jatuh mencium tanah berbatu tanpa merasakan apa pun. Untuk sesaat pandanganku menggelap, barulah aku terbangun di kamarku dengan jantung berdebar kencang.

Sunyi. Sunyi sekali sampai aku bisa mendengar degup jantung yang lebih kencang dari biasanya.

Bersama Peter bukan pilihan yang tepat.

Bersambung ....

My One of a Kind Crush [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang