[R] Renggang tapi Dekat

6 2 6
                                    

Sudah satu minggu berlalu dan Peter gak pernah ngungkit perihal chat-ku waktu itu. Dia bertingkah biasa saja. Nggak biasa juga, sih. Aku merasa dia mulai memperlebar jarak denganku. Di sisi lain aku malah mengikis jarak dengan Yoni.

Kalau ini gak kayak sinetron, aku gak tau harus nyebut ini kayak apa lagi.

Pagi ini aku datang lebih cepat dari biasanya dengan harapan Rika atau Peter udah di kelas. Apa aku pernah bilang kalau aku gak terlalu merhatiin mata pelajaran umum selain bahasa Indonesia dan bahasa Inggris? Kalau belum, sekarang kalian tahu. Dan karena itu, aku lupa ngerjain tugas sejarah.

Aku gak deket sama orang paling pinter dan paling diandalkan di kelas, tapi aku dekat dengan Rika dan Peter yang terbilang aktif di kelas. Mereka berdua itu tipe anak rajin nan ambisius. Mereka adalah harapanku sekarang.

Penuh semangat aku berlari menaiki tangga menuju lantai tiga, lantai paling atas. Aku hampir terpeleset kala menapakkan kaki di permukaan lantai tiga. "Anjir! Kok licin, sih?" omelku terus belok ke kelas.

Napasku gak beraturan ditambah dada agak sesak. Mataku menangkap keberadaan Rika di depan kelas. Cewek itu lagi nyapu sendiri, padahal setahuku hari ini bukan jadwalnya piket. "P-pagi," sapaku supaya dia noleh.

Rika angkat kepala. Senyum miring terukir pada wajahnya. "Pagi juga, Rai. Tumben datang cepet. Sampai ngos-ngosan pula."

Tanpa melepas ransel lebih dulu aku menghampiri Rika. Dengan kedua telapak tangan dipertemukan aku berkata, "Rik, aku lupa ngerjain tugas sejarah. Pinjam bukumu boleh, ya?"

Senyum Rika tau-tau luntur. Dia menatapku datar sebentar, lalu kembali menyapu seakan-akan barusan aku gak bicara sama dia.

"Rikaaaaa! Pinjam buku sejarah!" Gak nyerah gitu aja, aku beranjak nempel ke punggungnya. "Aku udah bela-belain datang jam segini, loh."

Gak noleh dan masih terus nyapu, Rika nyahut, "Nah, mumpung masih pagi, kerjain sendiri. Sana. Kan ada Google."

"Habis kuota ...."

"Mustahil seorang Raily kehabisan kuota. Seorang Raily itu gak bisa hidup tanpa internet."

Rika gak salah, tapi sekarang ini aku terlalu malas buka ponsel. "Aku mau ngurangin liat layar hape, tahu. Nanti mataku minus."

"Raily pake kacamata pasti lucu." Rika mendongak menatap dua cowok yang baru masuk kelas. "Iya, kan, Pet."

"Hah? Apa?" Peter yang matanya keliatan sayu kebingungan menanggapi Rika.

Di sisi lain, Yoni malah nyengir kuda. "Rai mah kalo pake kacamata bakal keliatan bulet banget kek bola."

"Apasih, Muka Kuda," cibirku spontan. Hei, aku benar-benar serius pas bilang lagi ngikis jarak dengan si Yoni. Sekarang aku udah ngikis sampai jarak antara kami begitu dekat.

"Heh, aku kan muji. Malah dikatain-lagian, masa muka seganteng ini dikatain mirip kuda." Yoni menyibak poni dengan tangan satunya bertengger di pinggang.

"Cih." Aku dan Rika memasang ekspresi serupa: jijik.

Melirik ke samping, Peter berlalu tanpa banyak komentar. Biasanya dia bakal ngomong sinis atau ikut ngejek Yoni. Kuperhatikan lagi, posturnya gak setegap biasa. Dia agak bungkuk waktu jalan ke bangkunya. Pas nyampe juga dia langsung nyandarin kepala di atas meja.

Peter kenapa?

Tadi aku sempat lihat, bagian bawah matanya menghitam. Apa dia begadang? Tapi matanya gak bengkak. Biasanya kalau begadang, mataku bengkak pas bangun.

Yoni yang menyadari arah pandanganku pun ikut ngelirik Peter, lantas berkata, "Oh, panda kurang gizi itu katanya gak bisa tidur semalem. Ngerjain tugas sejarah yang panjang banget."

Lupakan fakta bahwa Yoni baru aja nyebut Peter panda kurang gizi. "T-tugasnya panjang? Panjang banget?" Bisa kurasakan bagian atas tubuhku kekurangan pasokan darah.

Yoni ngangguk. "Gak bikin?"

Seketika badanku retak, dalam imajinasi. Dengan lesu kujawab, "Iya ... kelupaan. Baru inget tadi pagi."

"Sudah kudugong." Yoni tersenyum miring sambil bersedekap. "Mau liat punyaku?"

Menyingkir dari Rika yang pelit, aku mendekati Yoni dengan mata yang kuyakin berbinar menurut pandangannya. "Beneran? Duh, makasih banyak, Muka Kuda!"

"Hoi! Jangan sembarangan ngasih julukan! Gak jadi kukasih, nih," ucap Yoni ketus terus buang muka ke samping. Kedua tangannya kini memegang pinggang.

Aku pura-pura batuk buat bersihin tenggorokan yang kuyakin gak kotor. Lagi-lagi aku mempertemukan kedua telapak tangan. Kali ini ada jarak antara jari-jari yang berpasangan. "Yoni yang ganteng banget kayak Squidward versi ganteng, bisa tolong pinjamin anak pelupa ini buku sejarahmu?"

Lagi-lagi Yoni nyengir kuda. "Yoni yang apa?"

Sambil menahan rasa jengkel aku menjawab, "Yoni yang ganteng."

"Hehehe ... gitu dong," ujar Yoni sambil merogoh ranselnya. Habis grasak-grusuk cukup lama, dia ngeluarin buku khas anak sekolahan bermotif kotak-kotak dan ada tulisan 'campus' di bawah logo apalah itu. "Ini. Jangan sampai kusut kertasnya."

Aku baru buka halaman pertama buat mastiin ini buku sejarah atau bukan langsung mangap. "Tulisanmu rapi banget." Aku ngangkat kepala sambil nutup bukunya. "Gak kayak orangnya yang keliatan kek gak mandi pas ke sekolah."

"Hei!" Keliatannya dia mau ngancam tapi gak jadi karna terlanjur ngasih buku catatannya yang berharga. "Pokoknya jangan sampai kusut," ujarnya ketus, berderap ke bangku kosong di samping Peter yang keliatannya udah tidur pulas.

Aku juga cepat-cepat ke tempat dudukku yang jauh banget dari mereka. Pelajaran sejarah Indonesia memang masih lama-sebelum bel istirahat kedua. Tapi katanya panjang jadi lebih cepat lebih baik. Bodo amat kalau tulisanku dikatain cakar ayam, yang penting selesai.

Aku emang bilang mau nulis cepet-cepet, tapi mataku gamau fokus ke buku-buku di atas meja. Sesekali melirik ke samping, merhatiin Yoni lagi isengin Peter yang masih ngebo.

Dia kenapa? Jangan-jangan susah tidur karna mikirin aku?

Buru-buru aku cubit pipi sendiri.

Rai, jangan geer! Peter pasti punya masalah pribadi ... kayak aku. Kayak semua orang.

Ah, lebih baik aku fokus nulis. Tapi ya, pas lagi fokus-fokusnya si Fafa lewat bukannya nyapa malah sengaja nyenggol mejaku. Mana pura-pura gak sadar. Urat kesabaranku hampir putus pas liat dia dengan kalemnya duduk di bangkunya terus main ponsel.

Oke, kalau lebih dari ini, urat kesabaranku bakal putus beneran. Dari dulu cewek itu nyebelin karna omongan sinisnya, ditambah dia itu suka banget ngegosip di circle lama kami. Sekarang dia makin nyebelin karna ada dendam kesumat sama aku. Padahal bukan salahku Peter naksirnya sama aku bukan sama dia.

"Urgh ... stres," gerutuku sambil menulis. Ya, dari tadi tanganku gak berhenti nulis. Pas disenggol pun aku masih nulis. Ngelirik dia juga masih nulis. Nah, kalo dia ngejek baru aku berhenti nulis buat balas ejek sambil nahan tangan biar gak kelepasan nonjok dia.

Baru seperempat yang selesai kutulis, bel tanda waktunya apel udah bunyi. Nggak, penghuni kelas nggak langsung berhamburan keluar. Mereka masih malas-malasan, jadi aku lanjut nulis. Ntar turun kalo udah disamperin guru piket atau kalau kelas kami udah disebut sama guru piket lain pake toa.

Bersambung ....

My One of a Kind Crush [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang