• UNGKAPAN RASA

278 53 31
                                    

UNGKAPAN RASA

"Semakin besar rasa suka ku, semakin besar pula rasa sayang ku. Jadi jangan salahkan aku yang terlalu mencintaimu. Tuhan yang memberikan rasa dan aku yang hanya menjalani alurnya saja."

***

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••

SETELAH waktu di mana matahari menghilang di bawah garis cakrawala di sebelah barat, warna merah di langit pada waktu matahari terbenam berubah menjadi warna biru dengan hamburan rayleigh dan tingkat kepadatan atmosfer bumi. Malam sudah mulai menampakkan kecantikannya dari ubun-ubun temaram, hingga ke kaki bumi.

Merasa sudah puas telah menghabiskan waktu terbenamnya matahari di taman kota, Nadira dan Andra segera beranjak pergi dari tempat indah itu. Setelah menghabiskan waktu bersama hingga malam hari, tempat terakhir yang dikunjungi mereka adalah Tugu Monas. Menikmati kota Jakarta yang sangat indah dengan pancaran cahaya di mana-mana. Tampak berkilau dan memukau.

Nadira dan Andra berdiri berdampingan. Saling mendongak, menatap langit. Rembulan bercahaya terang. Angin meliuk-liuk berembus pelan dan tenang, dengan hawa dingin yang terasa menusuk di kulit.

Diselimuti keheningan malam, Nadira dan Andra sama-sama tidak ada yang bersuara. Keduanya sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing. Menikmati suasana yang indah sembari menghirup udara segar.

Andra menoleh, menatap sosok gadis di sampingnya. Hembusan angin menerpa wajah Nadira, membuat beberapa helai rambutnya beterbangan. Kulit pucatnya tampak berseri-seri melihat pemandangan malam. Andra tersenyum, kemudian kembali menatap bintang yang sangat memesona.

“Tujuh tahun itu lama banget, kan?”

Eh?

Nadira menoleh. Ekspresi terkejutnya tidak dapat di sembunyikan ketika mendengar perkataan Andra barusan. Tujuh tahun? Maksudnya?

"Tujuh tahun itu pasti berat banget, kan?" Andra kembali bersuara. Tidak memedulikan tatapan terkejut Nadira yang semakin menjadi-jadi.

"Kenapa lo enggak pernah bilang?"

"Maksud lo, Andra?"

Nadira sudah tidak tahan untuk bertanya. Hatinya langsung diselimuti rasa takut dan gugup dengan segala kemungkinan yang Nadira pikirkan.

"Selama tujuh tahun ini.., suka sama gue, kan?"

Nadira terpaku. Pikirannya langsung kosong dengan degup jantung yang semakin menggila. Tungkai kakinya lemas, Nadira berusaha tetap menopang tubuhnya untuk berdiri. Mata Nadira panas, seperti jatuh dari ketinggian, Nadira bahkan sangat tidak mampu untuk menjawab semua pertanyaan Andra.

Andra tersenyum. Memutar tubuhnya ke samping, menghadap Nadira. Mata Nadira menyayu, tubuhnya dia balikkan, tidak ingin menghadap Andra dengan kondisi hatinya yang sangat kacau seperti ini.

Entah rasa sesak dari mana, Nadira langsung terisak pelan. Sungguh! Pertanyaan Andra sangat membuat hatinya sakit. Nadira tidak tahu mengapa dia bisa menangis seperti ini.

"Hei..."

"A-andra."

"Apa? Sini balik badan dulu."

"Lo, tahu dari mana, Andra? Gue, gak pernah bilang apapun tentang perasaan gue ke lo. Gue.., gue minta maaf. Maaf kalau bikin lo risih dan gak suka disukain sama orang kayak gue. Gue minta maaf, Andra. Tolong.., jangan benci gue."

Bahu Nadira terguncang. Matanya terpejam dengan rasa takut yang menyelimuti hati. Bagaimana kalau Andra membencinya? Bagaimana kalau Andra menjauhinya?

Sebuah tangan terulur ke depan, memeluk perut Nadira erat. Mata Nadira terbuka dengan tubuh yang langsung membeku saat Andra menumpukan dagunya pada bahu Nadira. Pelukan hangat yang dirasakan Nadira dari belakang, membuat laju air matanya semakin deras.

"Lo.., padahal enggak perlu setakut ini." Andra tersenyum. Kepalanya bergerak ke samping, menatap Nadira dengan jarak yang begitu dekat. Tangan Andra bergerak, merapikan beberapa helai rambut Nadira yang basah karena air mata. “Cantik banget. Kenapa harus nangis?”

Andra melepas pelukannya. Dengan pelan, dia membalikkan tubuh Nadira agar menghadap ke arahnya. Nadira menurut meski dengan kepala yang menunduk dalam. Gadis itu tampak enggan membalas tatapan Andra.

"Gue enggak pernah benci sama lo, apalagi tentang perasaan lo."

"Ndra..." Suara Nadira tercekat. Dia merasa susah untuk berbicara.

"Tujuh tahun itu, rasa lo buat gue pasti susah banget, kan? Apalagi sebelumnya gue gak tahu tentang ini. Disaat yang lain terang-terangan nyatain perasaannya di depan gue, lo malah milih buat sembunyi. Pilih untuk ngeliatin gue dari jauh. Serahasia itu ya, Nad, lo sembunyiin semuanya?" Andra meringis. "Seharusnya enggak perlu. Lo enggak perlu setakut ini saat gue tahu tentang perasaan lo. Selama ini, lo udah cukup buat sembunyiin semuanya. Jadi sekarang, biarin gue buat tahu, ya?"

"Izinin gue.., untuk balas perasaan lo." Andra tersenyum, menepuk-nepuk pelan puncak kepala Nadira.

"Andra.., lo enggak sebercanda ini, kan?" Nadira menatap Andra dengan sorot mata terkejut.

"Masa serius gini dibilang bercanda, sih? Gue sangat serius! Seenggaknya gue bukan lakuin hal yang sia-sia. Hal berharga yang mau gue wujud in untuk seseorang yang punya rasa tulus sama gue. Itu enggak akan pernah gue sia-sia in."

Nadira terisak lagi. Dia benar-benar tidak salah menjatuhkan hatinya pada sosok cowok yang begitu baik. Bahkan Nadira merasa tidak mampu untuk bersanding dengannya. Cowok ini.., bagaimana bisa? Sebaik itu ingin membalas perasaan Nadira?

"Lo nangis terus?" Andra tertawa. "Kalau gitu, izinin gue buat peluk lo lagi, ya?"

Tanpa mendengar persetujuan dari Nadira, Andra langsung menarik gadis mungil itu ke dalam dekapannya. Nadira menenggelamkan wajahnya di dada Andra. Gadis itu mencengkeram erat kemeja cowok yang sekarang sedang mengelusi rambutnya dengan halus.

"Andra, tolong.., jangan. Jangan lakuin hal yang enggak lo suka. Jangan buang-buang waktu lo cuman buat cewek kayak gue. Banyak yang suka sama lo. Andra bisa cari cewek yang bener-bener Andra suka." Nadira tersenyum getir. “Gue gak masalah kalau lo gak balas perasaan gue. Jangan ngerasa gak enakkan ya, Ndra? Jangan buang-buang waktu lo."

Andra menumpukan dagunya di atas kepala Nadira. Mendongak sedikit, menatap bintang yang berkilau, terlihat cantik sekali.

"Lo tahu, Nad? Gue enggak pernah ambil keputusan yang bakal buang-buang waktu gue. Jadi.., tolong izinin gue, ya? Gue bakal coba, Nad!"

Dalam pelukan Andra, Nadira mengangguk. Mengizinkan cowok itu untuk membalas perasaannya.

"Kasih waktu gue sampai kelulusan nanti, ya?"

"Sampai waktu kapan pun, itu terserah lo Andra. Makasih udah sebaik ini. Makasih udah lakuin hal yang berharga buat gue. Maaf, Andra. Maaf kalau gue makin suka sama lo. Kalau lo ngerasa risih, gakpapa gue yang ngejauh. Tapi tolong jangan benci sama gue.”

Andra tertawa lepas. "Nad, itu enggak akan pernah jadi masalah buat gue. Mau lo nyatain cinta seratus kali, gue enggak akan pernah benci. Jadi, gak perlu malu-malu lagi buat ucap 'suka' ke gue, ya? Gue seneng, loh!"

"Hm. Gue suka Andra." Nadira memejamkan matanya rapat.

"Apalagi, hayoo? Masa cuman bilang suka doang?"

"G-gue dari dulu suka sama Andra. Bener-bener suka. Gue kagum sama Andra. Gue selalu suka lihat Andra senyum, apalagi kalau Andra ketawa. Gue.., bener-bener sesuka itu." Nadira meringis pelan.

Andra tertegun. Cowok itu merenggangkan sedikit pelukannya dengan Nadira, demi melihat wajah gadis itu. Wajah Nadira terlihat merona dengan semburat merah yang tampak muncul samar-samar. Andra dapat melihat jelas di bawah rembulan yang indah.

"Ciee, suka sama gue...”

"Andra, jangan suka godaiin gue! Gue selalu benci setiap pipi gue merah! Gue enggak tahu itu kenapa. Terus juga jantung gue detaknya cepet banget. Itu kenapa, Ndra..." Nadira melirih.

Andra kembali memeluk Nadira erat. Sangat gemas dengan gadis yang didekapnya saat ini. "Itu namanya salah tingkah." Andra berbisik pelan.

Nadira mengerjap. "Berarti gue salah tingkah?"

"Hm."

"Pantes! Gak enak banget! Kaki-tangan gue selalu panas-dingin. Mana gemeter terus kayak orang tipes. Jadi ngeri." Nadira tertawa.

"Bilang 'I love you' nya nyusul nanti, ya?"

***

NANDRA | TERBIT ✓ |Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang