• GUILTY FEELING

310 69 0
                                    

GUILTY FEELING

"Ketika aku, kau dan dia terapung pada rasa yang sama."

***

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••

BERSANDAR diambang pintu, Nadira menatap Sania yang tengah merapikan bajunya di lemari dan beberapa barang lainnya. Dua hari setelahnya, Tamara dan Sania benar-benar menginjakkan kaki di rumah Nadira, bersama Andrew tentunya.

Kamar yang ditempati Sania saat ini sebenarnya kamar asistennya yang sudah teranggur lama, dikarenakan beliau berhenti bekerja dan berpamitan pulang ke kampung. Kalau ditanya apa ada kamar yang lain dan lebih luas? Ada. Tentunya ada. Jadi, karena ini rumah Nadira, dia berhak menentukan kamar mana saja yang akan ditempati saudara tirinya ini.

Sania berhenti dengan aktivitasnya sebentar. Terusik melihat Nadira yang sedang memperhatikannya. Dengan mata sembab, dia menghampiri Nadira.

“Kenapa gue di kasih kamar pembantu, hah? Ada kamar yang lebih luas dan gue mau, tapi kenapa gak boleh gue tempatin? Lo seegois itu? Sejahat itu?” Sania berteriak tidak terima. Baru masuk ke rumah ini saja Sania sudah diperlakukan seperti ini.

“Lo, jawab! Jangan diam aja!”

Nadira terkekeh. “Bacot! Turutin aja semua kemauan gue. Babu, babu aja. Jangan banyak tingkah!” Malas menanggapi lebih lanjut, Nadira memilih pergi.

Sania mencak-mencak, tapi dia tidak kuasa untuk melawan.

Nadira menghentikan langkah. Menatap Andrew yang sedang menyesap kopi hangatnya. Lalu Nadira melihat Tamara yang sedang bersantai di sofa. Membaca buku dengan anggunnya. Kesal, kesal! Kenapa di sini seolah Tamara yang menjadi tuan rumahnya?!

“Tante, Tante...” Nadira memanggil. Duduk di sudut sofa. Mengukir sunggingan ramah, ketika Tamara balas menatapnya. “Apa tugas Tante santai-santai aja? Aku lapar, loh! Di rumah ada sih, makanan, tapi aku malas masak. Tolong masakkin aku makanan, ya. Untuk aku aja. Kalau kalian mau makan, silakan beli di luar.”

Andrew menatap jengah kelakuan putrinya. “Nadira kamu—“

“Papa, aku lagi ngomong sama Tamara. Bukan sama Papa. Jadi Papa mending diam. Oke, oke?” Nadira kembali memusatkan pandangannya ke arah Tamara.

“Iya, sayang. Nadira lapar, ya? Sebentar Tante masakkin dulu.” Tamara buru-buru beranjak dari duduknya. Menaruh buku di meja dan bersiap melangkah hendak ke dapur. Tapi perkataan Nadira membuat Tamara berhenti.

“Satu lagi. Ada cucian kotor aku, nanti Tante sekalian cuciin. Cukup baju aku sama Papa aja yang dicuci pakai mesin cuci.” Nadira diam sebentar, lalu mengukir senyum jahat.

NANDRA | TERBIT ✓ |Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang