• PAINFUL

461 95 7
                                    

PAINFUL

"Ini menyakitkan. Ketika aku terus-menerus memantapkan hati, berkata bahwa ‘baik-baik saja’, di saat hatiku terluka untuk ke sekian kali."

***

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••

NADIRA hanya berdecak jengkel ketika melihat Khansa yang sedang berguling-guling sambil memeluk handphone seperti kesurupan. Sudah dua belas menit gadis itu hanya duduk di meja belajar Khansa, memperhatikan sahabatnya yang tengah cengar-cengir lalu berteriak-teriak kencang sedari tadi.

Ini hari libur. Nadira harusnya bisa bersantai. Namun tiba-tiba Khansa mengiriminya pesan tadi, menyuruhnya untuk segera ke rumah gadis itu. Katanya penting. Namun yang Nadira lihat sekarang hanya Khansa yang tersenyum-senyum salah tingkah, jungkir balik, roll depan, roll belakang, lalu loncat-loncat seperti melakukan atraksi.

Nadira berdesis, lantas melempar Khansa dengan bantal, membuat si empu sasaran meringis terkejut. Lalu sedetik kemudian gadis itu kembali mengukir cengiran menyebalkan.

“Lo ngapain nyuruh gue datang ke sini, hah? Buat nontonin lo untuk simulasi jadi orang gila?” Nadira berkata ketus.

Khansa mendelik, lantas tertawa. "Tenang aja, sih! Jangan marah-marah gitu, ah! Gue minta lo ke sini, buat bantuin gue." Khansa menaik-turunkan alisnya penuh maksud.

"Apa?"

"Oke, jadi gini..." Khansa bangun dari posisi tidur, kemudian duduk bersila di kasur. “Andra ajakkin gue jalan nanti malam. Lo tahu? Ini kencan pertama kami setelah resmi jadian."

"Terus?"

"Terus gue mau minta tolong ke sahabat gue yang paling modis ini, untuk bantuin gue buat milih-milih pakaian yang cocok dan bagus, enggak kelihatan gembel buat nanti malam. Sekaligus tolong dandanin gue jadi feminin, ya? Andra type cowok yang suka cewek feminin soalnya." Khansa tertawa. "Mau ya, bantuin gue?"

Nadira mengangguk mengiyakan. "Sekarang mending lo mandi, deh! Siap-siap dulu, udah jam lima. Jalannya jam berapa emang?"

"Jam tujuh. Yaudah gue mandi dulu, ya." Khansa mengambil handuk, kemudian berbalik badan ke arah Nadira. "Makasiiih banyak Nadiraaa," teriaknya sambil berlari, mengacir ke kamar mandi.

Nadira memperhatikan sekeliling kamar Khansa. Dari dulu Khansa memang type anak yang tidak mau ribet. Berpakaian asal yang penting nyaman untuk di pakai. Tidak suka make up, atau hal ribet semacamnya. Berbanding terbalik dengan Nadira yang sangat memperhatikan penampilan.

Tapi untuk dunia luar atau semacam dunia malam dalam pertemanan remaja seumurannya, jelas Khansa lebih paham ketimbang dirinya. Nadira hanya anak rumahan yang hanya keluar kalau ada hal-hal yang sangat penting.

Sambil menunggu Khansa selesai mandi, Nadira menghampiri tempat-tempat baju Khansa, guna memilih pakaian apa yang cocok untuk dikenakan gadis itu. Beberapa menit setelah Khansa selesai mandi, Nadira langsung menyuruh Khansa untuk memakai pakaian yang sudah dipilihnya.

Selanjutnya dengan telaten, Nadira mendandani Khansa sesuai dengan tipikal wajah gadis itu. Tidak menor dan sangat pas dengan kulit Khansa yang kuning langsat.

Selesai sudah semua. Nadira menatap Khansa yang sejak tadi gugup. Berulang kali membuka layar handphone untuk melihat jam berapa, menit ke berapa, membuat Nadira terkekeh pelan. Dia mengerti kegelisahan apa yang sahabatnya rasakan. Nadira mungkin juga seperti itu jika di posisi Khansa. Atau bahkan lebih.

"Nad, Nad, gimana ini? Andra jadi datang, kan? Penampilan gue gimana? Aneh, enggak? Cocok enggak di kulit gue? Pakaian-pakaian? Bagus, kan? Enggak kelihatan aneh di gue?" Nadira menghentikan lamunannya ketika mendengar Khansa yang mencerocos dengan wajah panik. Berulang kali ke kaca untuk memastikan penampilan dirinya sendiri.

Nadira tersenyum geli. "Itu udah perfect, Sa. Keep calm, ayolah! Enggak ada yang aneh dari penampilan lo."

Khansa menoleh. "Seriusan??"

Nadira mengangguk meyakinkan.

Khansa menarik napas, kemudian membuangnya perlahan. Terus berulang kali sampai kegiatannya itu memancing tawa renyah Nadira. Gadis itu geleng-geleng sendiri melihat tingkah sahabatnya.

"Udah yuk, tunggu di bawah. Andra sebentar lagi mau sampai. Jangan bikin dia kelamaan nunggu. Sama kayak lo, dia pasti juga gak sabar buat jalan sama lo." Nadira mengukir senyum tulus, menatap lembut Khansa dengan mata sayunya.

Khansa menunduk, kemudian menatap Nadira dan mengangguk. Meski tadi dia gelisah, namun hanya karena senyuman menenangkan milik Nadira, membuat gadis itu ikut tenang. Sedari dulu, jika Khansa panik atau gelisah semacam ini, senyuman Nadira sangat berguna untuk dirinya.

Derum motor dari bawah terdengar dari arah jendela. Nadira dan Khansa kompak menoleh. Tanpa basa-basi Nadira mengamit lengan Khansa, menarik pelan gadis itu keluar. Menuruni undakan tangga, lalu sebelum sampai ke depan pintu utama, Nadira menghentikan langkah. Hal itu membuat langkah Khansa ikut terhenti. Khansa mengernyit heran ke arah Nadira.

Seolah mengerti pikiran Khansa, Nadira tersenyum lembut. “Lo keluar, ya. Pangerannya udah siap jemput Tuan putri.” Nadira berbisik, lalu tertawa pelan dengan rasa sesak yang tumbuh lagi di dadanya.

“Lo gak mau antar gue sampai depan?”

Nadira menggeleng, masih dengan senyum manisnya. “Enggak. Lo sendiri aja sana. Hati-hati, Sa. Jangan pulang larut.”

“Lo tetap jadi nginap hari ini, kan? Besok libur juga.”

Lagi, Nadira mengangguk. “Gue tetap nginap, kok! Nanti pulangnya jangan malam-malam, oke?”

Khansa tersenyum lantas memeluk Nadira erat. “Makasiih udah buat gue makin cantik hari ini, sampai rela datang ke sini dan nginap demi gue. Sayang banget sama lo, Nad!”

“Sama-sama, Khansa.” Nadira melepas pelukannya, lantas mendorong pelan Khansa ke arah pintu. Khansa melambaikan tangannya, kemudian membuka pintu dan keluar.

Nadira melangkah menuju jendela di samping pintu, lalu mengintip dari balik gorden. Di luar sana ada Andra dengan motor besarnya. Cowok itu sangat tampan berkali lipat dengan baju santai dibalut jaket hitam, lalu dipadukan dengan celana jeans panjang.

Nadira mengeluarkan handphone-nya, hendak memotret candid Andra. Sudah menyalakan kamera, bersiap untuk mengambil gambar, namun tindakannya itu terhenti ketika melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana perlakuan manis Andra terhadap Khansa.

Nadira menurunkan ponsel. Dia memutuskan untuk tidak jadi mengambil gambar Andra. Menatap lurus dua pasangan di luar dengan pandangan nanar. Sudah tahu membuat hatinya terluka, namun Nadira masih memilih bertahan di posisinya saat ini, tidak memilih pergi sama sekali.

Sakit. Tapi mau bagaimana lagi, kan?


***

NANDRA | TERBIT ✓ |Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang