Nadira Ravelia. Gadis penyuka bintang yang hatinya telah tertambat lama pada sosok Andra Rovalno. Si cowok pemilik lesung pipi dan sorot mata hangat yang begitu indah.
Bertahun-tahun, Nadira hanya bisa memperhatikan dari jauh. Namun, bagai rasa cint...
"Selamat jalan. Sakitmu telah reda bersamaan dengan duka yang aku dapatkan."
***
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
•••
NADIRA tahu, bahwa hidup itu tidak selalu sesuai dengan ekspetasi. Nadira juga tahu, bahwa dia tidak boleh selalu memaksakan kehendaknya. Meski Nadira sudah mempunyai skenario bahagia tersendiri.
Nadira kira, Tuhan akan memberikan waktu sampai Khansa melihat hasil pengumuman hasil ujian kelulusannya nanti. Lalu Nadira membayangkan, jika dia mendapatkan hasil yang bagus, yang Nadira nantikan pertama kali adalah wajah bahagia Khansa. Lalu Nadira mengajak Khansa jalan, bercerita banyak hal, dan menyemangati Khansa ketika dia ingin menyerah.
Tapi itu hanya sekadar bayangannya saja, kan? Kalau tidak seperti itu, mana mungkin saat ini Nadira hanya terduduk diam. Menatap pusara di hadapannya dengan pandangan kosong. Rok sekolahnya kotor oleh tanah gembur. Matanya berkali-kali membaca ulang sebuah nama yang tertulis di papan nisan. Memastikannya bahwa dia sedang tidak salah lihat.
KHANSA ZAFIRA BINTI ABRAHAM
LAHIR : 03 - 08 - 2001 WAFAT : 03 - 05 - 2019
Nadira tertawa perih. Binar matanya meredup bersamaan dengan rasa sesak yang membuat hatinya semakin linu.
"Khansa..?" Suara seraknya bergetar ketika menyebutkan satu nama yang membuat pertahanan Nadira runtuh seketika. Air mata Nadira mulai mengucur deras, namun Nadira tidak terisak. Dia justru tertawa.
"Gue udah selesai ujian loh, Sa! Kemarin lo bilang enggak sabar mau habisin waktu ngobrol bareng gue setelah ujian gue selesai. Gue udah selesai ujian, Sa. Mau temuin lo, mau cerita banyak hal lagi sama lo, terus.., lo ingkar gitu..?" Nadira menelan ludah. Bibirnya bergetar ketika dia seberusaha mungkin untuk menyunggingkan senyumnya.
"Lo beneran pergi, Khansa? Enggak mau nunggu gue buat terima hasil ujian dulu? Kalau nilai gue bagus, lo pasti seneng, kan?" Nadira terisak, mencengkeram rumput dengan tangannya yang bergetar. "Khansa.., lo bilang lo bakal tunggu gue buat datang ke Rumah sakit lagi. Gue enggak mau nemuin lo dalam keadaan kayak begini, Sa..."
Bahu Nadira berguncang hebat. Nadira memeluk papan nisan itu. Badannya meluruh seiring dengan isak tangisnya yang semakin kencang. "Khansa.., tolong.., gue mohon.." Sekeras apa pun tangisan Nadira, sesakit apa pun tamparan realita yang Tuhan berikan padanya, Nadira tidak akan pernah bisa merubah takdir Tuhan.
"Kenapa lo enggak nunggu gue buat sampein salam perpisahan? Kenapa harus tiba-tiba begini? Kenapa?!" Ini mengejutkan. Sungguh kejutan besar dari Tuhan untuknya. Setelah kemarin mereka masih bercanda tawa, menghabiskan waktu bersama, melukis harapan di bawah langit senja, dan tepat pada hari ini, Nadira seolah tersadar. Bahwa Tuhan telah mengambil lagi seseorang yang begitu berharga untuknya.