• EPILOG

471 32 4
                                    

EPILOG

"Tepat di hari ini, aku melepas kepergianmu. Berarti di hari selanjutnya aku harus siap menyambut hari-hari penuh rindu."

***

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••

TERNYATA benar, hidup itu tidak melulu sesuai dengan rencana kita. Tidak semua mimpi indah dapat terwujud sebagaimana mestinya. Jangan terlalu bereskpetasi kalau tidak mau jatuh dalam kecewa.

Kalau tidak seperti itu, Nadira tidak mungkin melihat Andra yang tengah memberi pelukan perpisahan pada kedua orangtuanya. Mengucapkan beberapa pesan berharga untuk keduanya. Dan Nadira juga tidak mungkin mengantar Andra ke bandara, melihat sendiri akan keberangkatan Andra ke Inggris. Menekankan hatinya sendiri, bahwa Nadira tidak boleh egois untuk memaksa Andra tetap tinggal. Menahan gejolak rasa sakit yang seolah tidak terima bahwa Andra akan pergi jauh darinya.

"Kamu baik-baik di sana ya, Ndra? Jangan lupa selalu kasih kabar! Jangan nakal, sholatnya jangan ditinggal, makan yang teratur, jangan suka begadang, pergaulannya yang bagus, kalau capek, istirahat! Jangan dipaksa kalau lelah, ya?" Kirana-sang Mama, masih saja terasa berat untuk melepaskan putra semata wayangnya untuk menjumpai negara asing yang akan menjadi tempat tinggalnya nanti selama beberapa tahun ke depan.

"Mama tenang aja. Andra bakalan selalu inget pesan Mama. Jangan nangis lagi ya, Ma." Andra melepas pelukannya dengan Kirana. Selanjutnya dia menatap Sang Papa yang tampak diam saja sedari tadi.

"Pa..."

Andreas memeluk Andra, memberi tepukan kuat di punggungnya. Namun Andra tahu, bahwa Andreas pasti merasa sama beratnya untuk melepas kepergiannya.

"Jaga diri baik-baik!"

"Siap, Pa!"

Terakhir, Andra menatap Nadira yang tampak diam dengan kepala yang menunduk dalam. Dia menghampiri Nadira lalu mendekap gadis itu erat. Mengusap sayang rambutnya, menenangkan Nadira bahwa dia akan secepatnya kembali. Menepati janjinya untuk gadis itu.

"Aku pamit, ya?"

"Hm. Hati-hati."

Andra mengurai pelukan, menatap Nadira yang tampak enggan untuk membalas tatapannya. "Lihat aku."

Nadira merasa payah ketika lagi-lagi netra sayunya bersinggungan dengan corak mata hitam legam di milik Andra. Berapa lama lagi Nadira harus menahan rasa tangis yang sejak tadi dia tahan? Dia hanya tidak ingin tangisannya akan mengganggu keberangkatan Andra nantinya.

"I beg you again, wait for me, okay?"

"Janji akan kembali?" Nadira mengulurkan jari kelingkingnya ke arah Andra.

"Promise, darling..." Andra balas mengaitkan jari kelingkingnya.

"Aku.., cinta Andra." Nadira memejamkan mata, "Sejak dulu, maaf sekali lagi aku bilang kalau aku benar-benar cinta Andra. Aku bakal tunggu Andra buat pulang ke sini. Selamanya.., aku bakal pilih Andra."

Andra merasa sesak melihat Nadira berbicara seperti ini. Rasa sesal di dadanya tidak kunjung hilang. Dia terus-terusan menyalahkan dirinya yang baru sekarang dapat membalas perasaan gadis yang sejak dulu mencintainya. Mengapa bukan sejak dulu saja?

"Kamu tahu, Nad? Sekarang bukan cuman kamu yang bisa ungkap cinta. Tapi aku juga akan lakuin itu." Andra menghirup napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. "Aku cinta kamu Nadira. Maaf udah bikin kamu lama, cuman buat nungguin balasan rasa yang aku sendiri telat buat sadar. I love you, Nadira Ravelia. Forever will never change. Keep it that way."

Nadira merasa lega saat penuturan itu terucap dari mulut Andra. Dia percaya, bahwa Tuhan tidak akan membiarkannya menanti sendirian. Dia percaya, bahwa Tuhan akan mengabulkan permintaannya untuk menumbuhkan rasa cinta di hati Andra.

Nadira percaya, tidak selamanya diam itu kalah. Dia berjuang, tidak pernah letih hanya untuk mengucapkan seuntai doa serta menyelipkan berbagai harapan yang selalu dia ceritakan pada bintang di atas langit malam yang membentang indah.

"Aku pergi, ya?"

"Jangan lupa untuk kembali..."

"Aku janji!"

Andra tersenyum. Dia menatap ketiga orang di depannya secara bergantian, sebelum akhirnya Andra berjalan perlahan menjauhi ketiga sosok yang sangat berarti dalam hidupnya. Langkahnya semakin terasa berat saja, namun inilah hidup. Sedih itu wajar dirasakan ketika dihadapkan oleh sebuah perpisahan.

Nadira menatap sosok Andra yang baru saja memasuki pesawat. Beberapa menit lagi pesawat itu akan lepas landas, dan Nadira harus meneguhkan hatinya sendiri.

Kirana mendekat, merangkul bahu Nadira dengan sayang. "Calon mantu Tante, jangan sedih-sedih. Andra pasti bakal balik lagi. Nadira jangan khawatir, ya?"

Andreas tertawa. "Om tahu betul sifat Andra yang penuh dengan tanggung jawab itu. Tidak pernah mengingkar janji. Tunggu anak Om sampai menyelesaikan studinya, ya?"

Nadira mengangguk mantap. "Aku bakal tunggu. Om, Tante, sampai kapan pun aku bakalan tunggu Andra. "

Kirana dan Andreas saling tatap. Mereka bisa merasakan perasaan cinta yang begitu besar dari sosok Nadira. Mereka yakin bahwa putranya tidak akan salah memilih seorang gadis. Andra tahu dia akan mencintai gadis seperti apa untuk masa depannya nanti.

"Nadira habis ini, kita makan bareng dulu mau? Terus belanja bareng, temenin Tante, ya?"

Nadira tertawa pelan namun tak urung dia mengangguk. "Boleh, Tante."

"Duh, jangan panggil Tante, deh! Mama aja gimana? Mama Kirana, Nadira panggil begitu aja, ya?"

Nadira merasakan wajahnya memanas. "Ma..ma?"

"Nah! Yang begini Mama suka nih, Pa!" Kirana menggandeng lengan Andreas, kemudian merangkul bahu Nadira. Membawa gadis itu berjalan untuk meninggalkan bandara.

Nadira menoleh ke arah belakang. Tepat saat itu pesawat yang ditumpangi Andra telah lepas landas. Terbang perlahan di atas langit yang cerah. Nadira tersenyum tipis.

Segala bentuk perpisahan memang akan menorehkan luka...

Perihal siap tidak siap itu cuma dusta...

Nyatanya, aku tidak pernah siap melihat kepergianmu...

Namun ternyata, yang perlu ku lakukan hanya bersembunyi, menunggumu untuk kembali...

Selamat jalan...

Semoga kamu tidak lupa untuk kembali...

ꌗ ꍟ ꒒ ꍟ ꌗ ꍏ ꀤ

***

NANDRA | TERBIT ✓ |Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang