1.4 Found U: BORN TO BE RICKY ADHINATHA

1.4K 127 17
                                    

Amira tidak berbohong dengan ucapannya jika Ricky adalah keberkahan bagi Keluarga Adhinatha. Meski fakta berkata Ricky bukanlah anak kandungnya, ia akan tetap menyayangi Ricky sama seperti anak-anaknya yang lain.

Jika bukan karena Ricky, mungkin ia tidak akan pernah kembali tertawa.

Jika bukan karena Ricky, mungkin ia akan terus merasa terpuruk.

Dan jika bukan karena Ricky, mungkin senyuman pada bilah bibirnya tidak akan pernah secantik sekarang lagi.

Semua terangkum pada 14 tahun yang lalu. Saat dirinya dinyatakan mengalami depresi postpartfum pasca melahirkan.

Depresi postpartfum sendiri ialah keadaan dimana seorang ibu merasakan rasa sedih, bersalah, dan bentuk umum depresi lainnya dalam jangka waktu yang lama setelah melahirkan. Dalam kasus Amira, hal itu terjadi sekitar 3 bulan sampai ia menemukan sendiri penawarnya.

Kisahnya...

Langit cerah kala itu nyatanya tak mengindahkan Keluarga Adhinatha. Warnanya yang biru sangat kontras dengan perasaan mereka yang kelabu. Hidup mereka terasa begitu monokrom kala itu, kecuali mungkin satu orang, Arjuna, si batita yang masih berusia 1 tahun.

Siang itu, Keluarga Adhinatha berduka. Mereka baru saja kehilangan anggota keluarga baru mereka yang seharusnya diperkirakan akan lahir dalam kurun waktu 2 bulan lagi. Hal itu berawal dari kejadian nahas yang menimpa Amira, hingga dokter memutuskan untuk segera mengeluarkan janin dalam rahimnya.

Amira tanpa sengaja terpeleset di kamar mandi dengan pantat yang menghantam lantai cukup keras. Saat dilarikan ke rumah sakit, dokter mengatakan bahwa calon anak mereka itu sudah tidak bernyawa lagi di dalam sana. Amira bahkan mengalami pendarahan yang cukup hebat. Tidak ada pilihan lain selain dokter mengharuskan untuk membedahnya sekarang juga jika tidak ingin resiko yang lebih besar terjadi.

Mau tidak mau Herdian harus ikhlas demi Amira. Ia sudah kehilangan sang putra, ia tentu tidak ingin pula kehilangan Amira dalam hidupnya.

Operasi pun berjalan lancar selama kurang lebih 3 jam. Setelahnya, Amira dibiarkan istirahat dengan obat bius yang masih bekerja. Herdian sangat bingung kala itu. Pikirannya bercabang, salah satunya tentang bagaimana ia harus mengatakan pada Amira perihal buah hati mereka.

Tak lama, Amira terbangun. Kemudian pandangannya turun pada perutnya yang rata. Ia meraba, lalu menangis sembari bertanya pada Herdian,

"Mas, anak kita?"

Lidah Herdian seolah kelu untuk menjawab pertanyaan dari Amira.

"JAWAB MAS! DIMANA ANAK KITA?!"

"Amira... maaf." Cicit Herdian yang lantas memeluk kepala sang istri teramat erat. Membiarkan Amira meraung dibalik dada bidangnya.

"Gak—GAK MUNGKIN! Kamu bohong kan?! Iya kan?!" Amira nampaknya masih sulit untuk percaya.

"Maafin aku."

"KAMU BOHONG! ANAKKU MASIH HIDUP! ANAKKU DIMANA MAS?!"

Tangisan itu semakin menjadi, hingga Amira memberontak di tempatnya.

Para dokter dan perawat pun segera datang, setelah Herdian membunyikan tombol darurat di samping ranjang sang istri. Amira yang semakin hilang kendali terpaksa mendapatkan satu suntikan penenang dari dokter. Di sisi lain, Herdian diam-diam meneteskan air matanya. Sungguh... ia tidak tega melihat Amiranya yang seperti ini.

Dua minggu berlalu. Meski sudah diperbolehkan pulang, Amira masih sering melamun. Terkadang kecemasan menyelimutinya tanpa sebab. Emosinya pun naik turun, hingga membuatnya menangis seorang diri.

KELUARGA ADHINATHA [ENHYPEN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang