2.3 Cherish:BORN TO BE SENA ADHINATHA

2K 153 29
                                    

Segerombolan manusia berseragam biru muda tampak mengerubungi sebuah bangsal dengan seorang pemuda yang terbujur lemah di atasnya. Monitor samping ranjang telah menunjukkan ritme garis yang tak teratur, diikuti pula oleh bunyi suara alarm. Pertanda bahwa sang pasien sedang dalam kondisi kritis.

Salah seorang dokter dengan alat pacu jantung ditangannya segera bersiap mengejutkan pemuda berpipi bulat yang masih terpejam itu. Suasana menegangkan tak terelakkan lagi di ruangan pastel berbau obat ini. Satu hingga tiga kejutan, beserta dinaikkannya tingkat frekuensi pada alat pacu jantung tersebut pun tak kunjung membuatnya bangun.

Para dokter mulai cemas, begitu pula dengan perasaan pria bermata bambi yang begitu setia menunggu di depan pintu ruangan. Ia terus bermondar-mandir disana sebagai bentuk refleks kepanikannya. Jika boleh jujur, Herdian sudah gemetaran sedari tadi. Pikirannya kacau, kepalang takut apabila Sang Kuasa justru tega mengambil raga Sena dari tubuhnya.

Beberapa kali Jaya dan Jaka sudah mencoba menenangkan sang ayah, namun Herdian dengan tegas menolak.

"Bagaimana ayah bisa tenang saat ini, sedang adik kalian tengah dalam kondisi kritis di dalam sana?! Sena sedang sekarat, Jaya!" Sentak Herdian pada si sulung.

Dalam kegusaran pun Herdian menyalahkan dirinya sendiri dengan mata berkaca-kaca.

"Aku tidak akan memaafkan diriku sendiri jika sesuatu terjadi pada Sena. Aku yang telah membuat Sena menderita dengan penyakit bawaan itu. Semuanya salahku." Ucap Herdian. Lirih nadanya, tapi cukup terdengar oleh rungu dua tertua Adhinatha.

"Ayah..."

Jaya dan Jaka jelas tau sesayang apa sang ayah kepada Sena, kendati secara mata terbuka Herdian sama sekali tak pernah membedakan kasih sayangnya kepada para putranya yang lain. Mereka juga tau Herdian telah lama menyimpan rasa bersalah pada Sena sejak anak itu lahir. Maka dengan ucapan Herdian tersebut, perasaan Jaya maupun Jaka sontak terasa begitu pedih.

Melalui pintu kaca, pandangan Herdian terpaku pada wajah pucat Sena di dalam sana. Manakala garis dalam layar monitor itu mulai berganti lurus sepenuhnya, Herdian membelalak. Begitu pula kedua putranya.

Ia lantas membuka paksa pintu kaca tersebut. Menyerobot masuk tanpa permisi hingga membuat Jaya, Jaka serta para perawat terpaksa menahan tubuh jangkungnya.

"T-tidak... Tidak..." Ucapnya dengan mata memanas.

"TIDAK! SENA BANGUN, NAK!" histerisnya dengan tubuh yang terkunci banyak orang.

"APA YANG KALIAN LAKUKAN HAH?! KENAPA DIAM SAJA?! LANJUTKAN DOKTER!" Ucap Herdian lagi saat para dokter tampak berhenti melakukan kompresi. Kini, mereka justru tertunduk lesu.

"SAYA BILANG LANJUTKAN DOKTER! TIDAK! SENA! SENA!"

"Ayah ayah." lirih Jaya mencoba memeluk erat sang ayah.

"AARRGHHH SENAAAAAA"

Semesta, benarkah Kau sengaja memberikan akhir seperti ini untuknya? Setega inikah Kau pada sang pemimpin Adhinatha, meski sebenarnya Kau sendiri tau seberapa rapuh dirinya?

*:..。o○🏠🏠○o。..:*

"Tidak... Sena... Sena... SENAAAAAA...."

Mata bambi itu terbuka, menatap langit-langit putih dengan napas berderu cepat. Tangan kanannya lantas bergerak menutupi kedua mata, mengatur kembali akal sehatnya setelah mimpi buruk baru saja menghantuinya.

Sekelebat mimpi tadi merupakan kisah nyata Sena pada tiga tahun yang lalu, tepat ketika anak itu berusia 15 tahun. Sena sempat dirawat di rumah sakit selama 1 tahun penuh setelah melewati masa kritis dan koma yang cukup panjang. Beruntung semesta masih memberikan keajaiban.

KELUARGA ADHINATHA [ENHYPEN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang