3.6 Hello, Swiss!

740 60 3
                                    

Terakhir kali merasakan nuansa menghabiskan waktu berdua, rasa-rasanya seperti sudah sangat lama bila diingat kembali. Amira bahkan sulit mengira-ngira kapan tepatnya itu. Hari-harinya sudah terlalu sering ia habiskan sebagai ibu rumah tangga, mengurus rumah beserta keenam putranya. Pekerjaan Herdian yang cukup sulit untuk ditinggal pun terkadang hanya mempertemukan mereka ketika menjelang tidur.

Amira rasa, pola hidupnya bersama Herdian sudah sangat berubah sejak Jaya hadir dikehidupan mereka. Waktu yang biasanya dihabiskan berdua, mau tidak mau mengendur sebab Jaya harus ada di tengah-tengah mereka. Sejalan dengan lahirnya kelima putranya yang lain, kata kerja menyenangkan bagi kaum kasmaran berjudul "Pacaran" pun semakin jarang ditemukan lagi dalam kamus hidup Amira dan Herdian.

Ada kalanya waktu untuk berdua, tapi tidak pernah lagi seintens seperti saat menjadi pasutri baru dahulu kala. Paling hanya diisi perbincangan kecil terkait rutinitas masing-masing, yaa... Meski sesekali ada saja ujaran kalimat manis dari mulut Herdian. Dasarnya mantan playboy, mulutnya lihai bermain kata yang mampu membuat jantung berdebar tidak karuan. Namun di lain sisi, hal seperti itu lah yang membuat hubungan keduanya tetap lengket sampai sekarang.

Saat Jaya memberi tawaran untuk pergi berlibur ke Swiss hanya berdua dengan Herdian, Amira menolak mentah-mentah. Sebab itu artinya ia akan meninggalkan keenam putranya sendirian di rumah. Ia tau para putranya sudah tidak lagi berada di usia kanak-kanak, tapi tetap saja. Jiwa seorang ibu sudah terlalu melekat dalam dirinya. Herdian juga sempat menolak dengan berbagai alasan;

1. Pekerjaan
2. Para putranya yang sendirian
3. Penolakan yang diberikan Amira

Pikirnya, Amira saja tidak mau, untuk apa dipaksa?

Namun Jaka rupanya tidak kehabisan akal, bujuk rayunya yang diucapkan dengan kalimat selembut sutra kemarin sore berhasil membuat Amira tergugah. Ia bilang,

"Aku tau membesarkan enam anak itu susah dan melelahkan, jadi yang dibutuhkan umma dan ayah sekarang tuh hanya istirahat sejenak. Jaka dan yang lain nyiapin ini semua karena kita sayang sama umma ayah, tanda terimakasih juga karena udah jadi orang tua yang hebat buat kita. Jdi please... mau yaa ke Swiss berdua~"

Ditambah lagi bujukan dari kelima putranya yang lain, tidak ada yang bisa Amira sanggah setelahnya. Sehingga berakhirlah ia menuruti semua kemauan sang putra, Herdian sendiri hanya mengikuti Amira saja. Jika Amira iya, maka dia pun Iya. Jika Amira tidak, maka dia pun akan menjawab tidak.

"Udah dibilang tunggu sini aja juga. Kemana tuh orang sekarang?"

Amira celingak-celinguk seorang diri. Memindai sekitar untuk mencari keberadaan Herdian. Ia baru saja keluar dari toilet. Sebelumnya ia sempat ijin pada Herdian dengan menitip titah agar sang suami menunggu dirinya di dekat toilet sebentar, serta jangan kemana-mana. Namun nyatanya yang terjadi tidaklah demikian.

Bukan Amira tidak mandiri, tetapi ia dan Herdian baru saja landing beberapa jam yang lalu dan ini bukan negaranya sendiri. Amira mana paham wilayah di sini?

Ia bahkan baru pertama kali menjejakkan kakinya di Swiss. Berbeda dengan Herdian yang dulu sudah pernah kemari untuk perjalanan bisnis selama 1 bulan penuh. Kakinya kini menjejak beberapa meter. Tidak terlalu jauh juga. Ia takut hilang arah. 

Di saat netranya asik menyusuri sekitar, Amira dikejutkan  oleh rasa dingin yang menjalar pada pipi kanannya secara tiba-tiba.

Ah menyebalkan! Itu Herdian!

"Kamu tuh! Kaget tau!" Cerca Amira sembari meninju pelan lengan laki-laki bersetelan coat coklat muda di depannya itu.

Herdian sendiri? Ia hanya terbahak di tempat. Seperti biasa, baginya Amira itu menggemaskan.

KELUARGA ADHINATHA [ENHYPEN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang