2.1 Belle Âme

1.9K 140 16
                                    

Delapan belas tahun yang lalu menjadi saksi bisu kehadiran Sena untuk Keluarga Adhinatha. Kehamilannya tak terduga, begitu pula kelahirannya.

Saat itu, baik Amira maupun Herdian sebenarnya belum memiliki niat untuk menambah momongan setelah kelahiran putra ketiga mereka. Namun ternyata Amira justru kebobolan. Yang mau tidak mau, suka tidak suka Amira harus menerima sang embrio di dalam rahimnya.

Jujur saja, Amira bahagia dengan kehadiran si jabang bayi. Meski di tengah-tengah kehamilannya tersebut, ia masih harus mengurus tiga putra kecilnya yang masih berusia sangat muda. Jaya 3 tahun, Jaka 2 tahun, dan Satya 1 tahun.

Ketiganya sangat aktif kala itu. Jaya dan Jaka masih senang-senangnya bermain, sedangkan si bungsu Satya begitu rewel dan manja. Saat perutnya semakin membesar, Amira akui bahwa dirinya juga sempat merasa kuwalahan akan hal tersebut. Rasa-rasanya perempuan itu hanya ingin menangis dan berteriak saja sebagai pelampiasan, tetapi semesta seakan menghadang dan justru kembali mengingatkannya pada kodrat dirinya sebagai seorang ibu.

Herdian yang mengerti dengan kesulitan sang istri, lantas menyewa seorang pengasuh sementara. Yang mana kehadirannya benar-benar cukup membantu Amira. Mbak Juju—begitu panggilannya, ditugaskan untuk mengurus keperluan sehari-hari 2 tertua Adhinatha. Tentu saja dengan bantuan Amira, walaupun dirinya juga masih harus mengurus keperluan Satya.

Namun terkadang, ada saat dimana Jaya dan Jaka menginginkan kasih sayang lebih dari Herdian ataupun Amira. Maka tidak jarang pula keduanya akan bermanja demi mendapatkan sebuah perhatian. Hal itu benar-benar cukup menguji kesabaran mereka sebagai orang tua.

Seperti yang terjadi saat kandungan Amira memasuki usia 7 bulan. Badai konflik menerpa Keluarga Adhinatha secara tiba-tiba.

Malam itu, Herdian yang sudah disibukkan dengan urusan kantor merasa cukup jenuh mendengar rengekan anak-anaknya tiap kali ia pulang ke rumah. Emosinya tersulut hingga tanpa sengaja menciptakan cekcok dengan sang istri. Padahal masalahnya berawal dari hal sepele. Herdian dipinta Amira untuk mengambilkan dot susu pada rak dapur, sementara istrinya tersebut tengah membersihkan bekas poop Satya sebelum tidur. Namun Herdian yang biasanya selalu berbicara dengan lembut, nadanya sontak berubah. Terdengar kasar dan meninggi.

"Ayah, tolong ambilkan dot susu Satya di dapur dong. Ada di dekat rak samping kulkas."

"Kamu kan bisa ambil sendiri, Sayang." Suara Herdian yang tengah bersantai di sofa terdengar begitu ketus.

"Tapi aku lagi bersihin poop, Satya. Tolong ambilkan sebentar aja mas." Pinta Amira sekali lagi meski matanya hanya tertuju pada sang putra.

"Tck aku capek, Sayang. Biarin aku istirahat aja dulu kenapa sih?!"

"Ya Allah, Mas Ian... Aku cuma minta tolong ambil dot doang, ke dapur juga gak ada lima menit. Kamu balik, nanti bisa istirahat lagi."

"Sama aja nguras tenaga. Kalau kamu tau ke dapur gak ada lima menit, kenapa gak kamu aja?"

"Ya udah, jagain Satya sebentar ya."

"Amira, aku tadi bilang apa? Aku mau istirahat. Urusan di kantor tadi banyak banget, aku pusing. Kalau kamu minta aku jagain Satya, terus tiba-tiba dia nangis, aku stress yang ada."

"Astaghfirullahalazim mas, tega banget kamu bicara seperti itu. Cuma sebentar. Aku nitip gak lama, tapi kamu seolah menganggap Satya menjadi beban buat kamu. Kalau kamu bicara soal capek, aku juga capek. Dari pagi ketemu malem aku ngurusin rumah, ngurusin anak-anak. Badanku juga pegel, tapi aku gak pernah tuh sekalipun menganggap anak-anakku seperti apa yang kamu katakan tadi."

Amira berkata apa adanya. Sejak pagi, ia memang baru bisa beristirahat ketika Satya tidur siang. Selebihnya ia harus membersihkan rumah, memasak, serta bermain bersama para putranya. Belum lagi perutnya sempat merasa kram. Hingga membuat Mbak Juju yang biasanya bekerja dengan jadwal setengah hari, ia relakan full karena khawatir pada sang majikan.

KELUARGA ADHINATHA [ENHYPEN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang