2.5 Hang In There

1.3K 109 1
                                    

Amira melangkah menyusuri lorong rumah sakit dengan menenteng sebuah papper bag coklat. Ia hendak menuju ruang inap Sena untuk membawakan putra gemasnya itu beberapa dessert box buatannya sendiri.

Sekarang pukul 7 malam dan ia sebenarnya datang bersama Herdian. Namun karena Herdian sempat bertemu dengan koleganya di depan tadi, ia memilih untuk masuk lebih dulu sembari menunggu Herdian menyelesaikan urusannya di cafetaria rumah sakit.

Langkahnya semakin dekat. Dibukanya pintu abu ruang inap Sena lantas melangkah masuk dengan senyum yang siap terpatri.

"Senaaa~ Umma bawa des-SENA!!!"

Senyumnya luntur seketika, tergantikan oleh raut cemas di wajahnya. Amira melangkah dengan sangat tergesa setelah meletakkan papper bag coklat itu ke atas meja.

Sang putra keempat Adhinatha tampak meringkuk diatas ranjang pesakitannya. Tangan Sena meremas kuat di bagian dada sebelah kiri. Erangan demi erangan yang terdengar menyakitkan memenuhi isi ruangan. Peluhnya menetes tiada henti bercampur dengan air mata pada bilah manik rubahnya.

"Arghh... Hiks sakiitt" Suara memilukan itu terdengar begitu menyakitkan untuk Amira.

"S-sena t-tunggu ya... Sebentar" Bohong jika Amira tidak kalut. Ia memang sudah beberapa kali menghadapi kambuhnya penyakit Sena yang seperti ini, namun mencoba bersikap setenang apapun dirinya, tentu masih akan ada celah kecemasan yang turut menyeruak dalam benak.

"Umma... Aak... S-sakit... Hiks... Ini sakith sek-ali.."

"Iya nak iya. Bertahan ya, dokter sebentar lagi datang."

Napas Sena mulai tersenggal. Ia terus saja menangis sembari menggenggam kuat tangan Amira, begitu pula sang Nyonya Adhinatha yang merasakan telapak tangan Sena tak lagi hangat, terasa begitu dingin akibat suhu tubuhnya yang menurun. Ia juga sudah menekan tombol darurat samping ranjang sang putra berkali-kali dengan jantung yang tak hentinya berdetak cepat.

"Permisi, ibu. Tolong minggir sebentar."

Seseorang bersneli putih akhirnya datang bersama beberapa perawat. Penanganan demi penanganan diberikan dan semuanya terlihat jelas di mata berair Amira.

Beberapa menit kemudian Sena tak lagi mengerang seperti sebelumnya. Nafas telah kembali normal, namun mata sayu dan bibir pucat nya masih terukir jelas disana.

"Dokter, bagaimana?"

"Kondisinya drop, ibu. Padahal tadi pagi Sena masih terlihat baik-baik saja. Yang ingin saya tanyakan, apa Sena sering kambuh-kambuhan seperti ini, Bu?" Dokter perempuan itu bertanya dengan nada tenang pada Amira.

"Sebelumnya tidak seperti ini, dokter. Sena rutin meminum obat-obatnya. Baru akhir-akhir ini saja penyakitnya kambuh karena kesalahan saya. Saya kurang memperhatikan konsumsi obat Sena selama disini, dokter." Jujur Amira merasa bersalah.

"Baiklah, silahkan ibu keluar dulu, biar saya lakukan pemeriksaan lanjutan kepada Sena ya."

Amira tak kuasa untuk menahan tangisnya. Di depan pintu ruang inap Sena, dia tidak berhenti mondar-mandir hanya untuk melihat Sena melalui kaca bening pintu ruangan.

Dari tempatnya berdiri, dia melihat tubuh tegap Herdian berjalan cepat ke arahnya. Segera sebuah pelukan hangat menangkup tubuh Amira yang bergetar.

"Sena..." Herdian mengangguk sembari menuntun istrinya untuk duduk. Pelan, ia elus punggung sang istri, memberikan ketenangan agar tangis Amira mereda.

Raut khawatir sudah tercetak di wajahnya sejak dia melihat Amira berdiri sejauh netranya memandang, Herdian pun sudah menduga apa yang telah terjadi. Pasti sesuatu tentang putra keempatnya.

KELUARGA ADHINATHA [ENHYPEN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang