3.7 Not okay

988 80 8
                                    

Langit oktober tepat pukul 3 dini hari waktu Swiss tampak begitu gelap dan sunyi. Kabut menyertai dengan tetesan air di atas dedaunan sisa hujan yang semalaman tuntas membasahi bumi. Dingin menyapa, menutupi seluruh tubuh dengan bedcover putih dan terlelap dalam sepi sampai pagi adalah sebuah kenikmatan yang hakiki. 

Seharusnya memang begitu,  namun tidur lelap Amira terpaksa harus terusik oleh suara air keran di kamar mandi yang terdengar gemerisik. Matanya terbuka perlahan, lantas termenung sejenak sembari memulihkan kesadarannya pada satu titik. 

Bising suara yang menandakan ketidaknyamanan kembali hadir dari arah kamar mandi selaras dengan bunyi cipratan air. Amira bergegas menyibak bedcover-nya, melangkah tergesa untuk memastikan ada apa gerangan. Sosok sang suami berdiri disana, tepat di depan sebuah wastafel. Badannya membungkuk lemas dengan isi perut yang terus menerus dimuntahkan.

Tanpa berkata apapun, Amira segera mendekat, memijat pelan tengkuk Herdian. Dikatakan terkejut, jelas Amira terkejut, namun yang lebih dominan saat ini justru rasa khawatirnya. Wajah Herdian begitu pucat. Suhu tubuhnya bahkan terasa semakin panas saat ia sentuh.

Setelah selesai, Amira lantas menuntunnya menuju ranjang. Membaringkannya dengan perlahan dan kembali memastikan suhu tubuh Herdian dengan punggung tangan, benar-benar panas. Suara batuk pun sesekali terdengar dari Herdian. 

"Tuh kan sakit, udah dibilang jangan banyak minum kopi dingin ngeyel sih!" 

Kebiasaan ibu-ibu pada umumnya sekali. Dahulukan mengomel adalah sebuah kewajiban.

"Uhuk... Uhuk..."

"Kamu mau minum?" Tanya lembut Amira yang dijawab dengan anggukan lemah dari Herdian. 

Mendapat sinyal tersebut, Amira bergegas mengambil sebotol air mineral di atas meja. Namun belum sempat Amira menyerahkan botol di genggamannya, Herdian justru kembali bangkit dari ranjang dengan tergesa. Kamar mandi yang ia tuju dan kembali memuntahkan sisa isi perutnya. 

Beberapa menit berselang, Herdian tampak sangat lemas di ranjangnya. Wajahnya pucat dan matanya sayu khas orang sakit. Perasaan tak tega hadir menyelimuti Amira. Pantas saja Herdian sangat manja hari ini. Tipikalnya benar-benar mirip sekali dengan Sena ketika merasa tak enak badan. 

Amira mengompres Herdian dengan memanfaatkan handuk kecil yang sudah tersedia di kamar ini sebelumnya. Badannya panas namun Herdian bilang rasanya menggigil, sehingga Amira menyelimutinya dengan kain yang tidak terlalu tebal.

"Kita ke rumah sakit dekat sini aja mau?" Jujur, Amira khawatir saat ini.

"Jangan..." Jawab Herdian lemah.

"Badan kamu panas banget, Mas."

"Disini aja... Uhuk... Istirahat sebentar nanti juga baikan."

"Tapi—"

Ucapannya tak terselesaikan sebab sang lawan bicara lebih memilih menutup matanya lebih dulu. Begitulah Herdian ketika sakit, jargon andalannya seperti ucapan ia barusan "Istirahat sebentar nanti juga baikan." Amira kesal rasanya setiap kali mendengar hal tersebut dari mulut Herdian. Kalau bisa pun, ia ingin segera menyeret paksa Herdian saat ini. Namun otaknya masih terlalu jernih, berdebat dan membuat keributan dengan orang sakit itu sangatlah tidak etis.

Amira mengalah. Ia lantas berdiri dari tempatnya. Mengambil mantel dan melangkah keluar dari unit apartemen sewaannya. 

"Excuse me..." Ucap Amira manakala ia sampai di depan meja keamanan tepat di lantai satu. 

Lampu menyala sedikit temaram disini, udara di luar pun tampaknya terasa begitu dingin, dan Amira masih belum mendapat sautan sama sekali dari orang di depannya. Orang itu terduduk pada sebuah kursi di sudut dalam meja keamanan. Matanya terpejam rapat dengan dua tangan dilipat di depan dada, juga kaki yang diselonjorkan dengan nyaman. 

KELUARGA ADHINATHA [ENHYPEN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang