3.3 Sena and His Behaviour

1.1K 109 13
                                    

"Gimana demamnya?"

Herdian baru saja kembali dari kamar mandi. Setelah menutup pintu, kakinya bergegas melangkah menuju ranjang besar yang sudah ditempati lebih dulu oleh Amira serta Ricky di atasnya. Kala sebuah bunyi dari termometer di tangannya terdengar, Amira menggeleng sejenak dan menjawab,

"Masih sama aja."

Tertera angka 39°C pada alat pengukur suhu tersebut. Sebuah angka yang terbilang sudah melebihi suhu tubuh rata-rata seorang anak. Herdian yang duduk di tepi ranjang berseberangan dengan Amira menghela nafas berat. Netranya menatap nanar pada si putra bungsu yang terbaring lemah dengan plester kompres demam di keningnya.

"Kasian, anak ayah." Jari telunjuknya, ia gunakan untuk mengelus pipi Ricky yang terasa lebih panas dari biasanya.

"Nanti kalau sampai besok belum turun juga panasnya, kita bawa ke dokter." Lanjut Herdian pada Amira.

Perempuan yang sudah siap dengan setelan baju tidur berwarna ungu itu hanya mengangguk sebagai balasan. Bibirnya tersenyum kecil. Entah kenapa, melihat raut Herdian sekarang ini justru membuat Amira sedikit gemas. Mata bambi sang suami terlihat sayu, bibirnya bahkan maju satu senti disertai dengan lengkungan ke bawah.

"Kamu tuh udah sering ngadepin anak-anakmu demam, tapi tiap dihadapin lagi sama kejadian yang sama, kamu ternyata masih kayak perdana jadi ayah ya, mas." Di akhir kalimatnya, Amira terkekeh.

Herdian mendatarkan tatapannya. "Abis tiba-tiba banget Ricky badannya panas dan jadi rewel begitu, gimana aku gak khawatir coba?"

"Kecapean kayaknya si adek mah."

"Mana badannya luka-luka begini." Herdian menyentuh lembut telapak tangan si bungsu, ada sebuah plester dinosaurus yang menempel di sana. "Untung aja aku selalu sediain obat-obatan di P3K."

"Uwh~ ayah siaga~" Amira dengan sengaja menjahili Herdian. Rambut sang suami yang dibiarkan turun menutupi jidat, ia usak dengan gemas.

"Jail ya kamu!" Herdian membalas, sembari menggelitiki Amira. Tentu saja perempuan itu merasa geli. Tawanya keluar. Namun sedikit tertahan, agar tidak membangunkan sang putra.

"Hiks.... Umma..." Namun sayangnya Ricky justru tampak menggeliat tak nyaman. Rengekannya pun kembali terdengar. Hal itu jelas mengagetkan tuan dan nyonya adhinatha.

"Kamu sih!" Padahal Amira yang memulai, tapi selalu saja Herdian yang kena semprot.

Amira kembali menidurkan Ricky. Ditepuknya pelan punggung si bungsu, hingga membuat bocah itu memeluk tangan sang umma teramat erat seolah tak ingin jauh darinya, sedangkan Herdian sendiri hanya menggaruk kepalanya yang tak gatal.

Saat netranya tanpa sengaja beralih menatap pintu, ia menangkap keberadaan seseorang di sana. Ia hendak memanggilnya, tapi terlambat, sosok itu sudah pergi menjauh lebih dulu.

Amira diam-diam turut mengikuti arah pandang Herdian. Ia juga sekilas melihat sosok itu, sebelum akhirnya menghilang begitu saja.

"Kamu... udahan belum sih marahan sama Senanya?" Amira kembali membuka obrolan.

"Aku gak marah?"

"Cuma emosi?"

"Y-ya... Sedikit." Herdian tersenyum canggung.

KELUARGA ADHINATHA [ENHYPEN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang