1.6 LONGING

1.4K 126 12
                                    

Dengan tangan berbalutkan perban, Juna duduk terdiam di atas hospital bed ruang VIP tempat ia dirawat. Matanya hanya sanggup menatap kupasan kulit apel fuji yang tak kunjung putus hingga sayatan terakhir. Sesekali ia juga akan mencuri pandang pada sosok manusia si pengupas apel di sampingnya.

Padahal ruangan berada pada suhu dingin yang normal, namun sejak sosok itu datang, suhu seolah terasa turun drastis hingga titik minus derajat. Siberia saja mungkin kalah dingin jika bisa Juna ibaratkan. Sorot mata tajam yang terus terfokus pada arah gerak sebilah pisau di tangan, bibir yang mencebik ke depan, serta alis tebal yang ia miliki sejak lahir, menjadikan sosok itu benar-benar persis seperti tokoh kartun angry bird saat ini.

Jika kalian berpikir itu Jaya, maka selamat, jawaban kalian benar.

Sudah hampir setengah jam Jaya di ruangan ini, tetapi dirinya masih setia diam tak bersuara. Juna pun turut bergeming. Beberapa kali anak itu meneguk saliva kala netra kucingnya tak sengaja bertemu dengan netra elang sang abang sulung.

Jaya sedang kesal sekarang. Sudah lewat sehari sejak Jaka mengabari bahwa dua adik termuda mereka terlibat perkelahian dan dilarikan ke rumah sakit, Jaya hanya mau menyambangi si bungsu yang masih terpejam di atas ranjang. Ia selalu saja melewati kamar inap Juna tanpa mau bertegur sapa. Dan baru lah malam ini, si sulung Adhinatha itu bersedia menemui Arjuna.

Jaya terlanjur kesal sekaligus khawatir dalam waktu bersamaan. Ia pun sangat kecewa terhadap tindakan gegabah sang adik yang justru memilih terlibat dalam perkelahian itu.

Perlu digaris bawahi, kekerasan adalah hal yang paling Jaya benci dalam hidupnya. Jaya memang dikenal memiliki sifat pemarah, tetapi Jaya tidak pernah menyertakan kekerasan ketika amarahnya melanda. Paling ia hanya akan diam atau mengorbankan orang lain untuk menerima ocehannya yang penuh ketidakjelasan. Sehingga ketika ia mendengar kabar jika Juna babak belur dan tangan kanannya mengalami patah tulang hasil dari pergelutan dengan bocah tengik itu, Jaya benar-benar murka. Ia murka pada sang adik, ia juga murka pada Ichan.

"Sudah merasa keren dengan muka bonyok-bonyok begitu?" Ucap Jaya dengan nada dingin sembari memotong apel di tangannya. Juna pun dibuat membisu, sebab suara sang abang terdengar begitu menyeramkan.

"Kalau orang tanya itu dijawab! Gunanya mulut kalau bukan untuk bicara, buat apa?!" Tegasnya lagi menyorotkan mata tajam setajam silet.

"Gak"

"Gak apa?!"

"Gak keren."

"Nah... Sakit kan yang ada? Inget gak janji kamu dulu waktu minta bantuan abang buat bujuk ayah biar kamu bisa ikut taekwondo?!"

"Inget. Juna boleh ikut taekwondo asal Juna gak sembarangan gunain kekerasan ke orang lain di luar pelatihan."

Ya, dulu Herdian memang sempat menentang keras keinginan Juna untuk mengikuti Taekwondo. Pasalnya saat itu Juna masih berusia 10 tahun, yang mana pada usia tersebut gejolak emosi seorang anak mulai tidak stabil. Sehingga Herdian takut jika suatu saat Juna justru akan menggunakan kekerasan fisik kepada orang lain terutama teman-temannya dengan sembarangan.

Namun Juna tetap bersikukuh bahwa dia benar-benar menyukai bidang seni bela diri itu dan berakhirlah ia secara khusus meminta bantuan Jaya yang saat itu berusia 15 tahun untuk membujuk sang ayah. Sebagai seorang kakak sulung ditambah lagi kegigihan sang adik yang terlihat tak main-main, Jaya tentu dengan senang hati membantu. Ia mencoba bernegosiasi dengan ayahnya, menambah bumbu-bumbu rayuan agar sang ayah luluh, juga menyuruh Juna untuk mengucap janji sambil menautkan jari kelingking. Jika diingat lagi, janji itu Juna bacakan layaknya sebuah janji siswa pada upacara bendera. Kira-kira isinya terdengar seperti ini:

KELUARGA ADHINATHA [ENHYPEN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang